tirto.id - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melaporkan telah menangani sebanyak 348 perkara di sepanjang 2000-2016. Adapun dari angka tersebut, sebanyak 245 di antaranya merupakan perkara tender, 55 perkara nontender, dan 8 perkara keterlambatan notifikasi merger.
Adapun perkara yang ditangani tersebut merupakan hasil seleksi dari 2.537 laporan yang masuk ke KPPU di periode tersebut.
“Dari 2.537 laporan, tidak semuanya masuk kompetensi KPPU, sehingga tidak kami teruskan. Kami juga kadang terima surat kaleng, ada nama pengirim, tapi alamat pelapor tidak jelas. Kecuali kasus itu berdampak pada hajat hidup orang banyak, akan kami inisiasi sendiri,” jelas Direktur Penindakan KPPU Gopprera Panggabean saat jumpa pers di kantornya, Selasa (30/5/2017).
Lebih lanjut, Gopprera mengungkapkan untuk bisa ditindaklanjuti, laporan ke KPPU harus memiliki kejelasan. “Ada alat bukti pendukungnya, maka akan kami lanjutkan ke proses penyidikan. Dalam proses ini apabila kami tidak menemukan bukti yang cukup, maka tidak bisa kami tindaklanjuti,” ujar Gopprera.
Untuk tahun ini sendiri, KPPU menyatakan telah menerima 24 laporan perkara. Tujuh di antara perkara tersebut pun diklaim telah diputuskan, di mana dari tujuh perkara tersebut terdiri dari 5 perkara tender dan 2 perkara nontender.
“Sampai April kemarin, keputusan yang sudah inkracht di pengadilan itu Rp462 miliar dan Rp303 miliar sudah disetorkan ke kas negara. Tahun ini, Rp96 miliar sudah disetorkan ke kas negara,” ungkap Gopprera.
Masih dalam kesempatan yang sama, Gopprera pun sempat menjelaskan perihal denda sebesar Rp96 miliar tersebut. “Itu kami terima dari kartel SMS dan putusan (terhadap perusahaan) ban. Ini dari pengusaha besar yang tingkat kepatuhannya lebih tinggi, karena ada 6 operator yang dihukum,” ucap Gopprera lagi.
Sementara itu, Ketua KPPU Syarkawi Rauf yang turut hadir dalam jumpa pers menyebutkan dari sebanyak 2.537 laporan yang masuk, sebanyak 73 persen di antaranya terkait pengadaan barang dan jasa.
Oleh karena itu, Syarkawi telah berencana agar KPPU dapat bersinergi dalam kinerjanya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Ini berkesesuaian dengan KPK juga, karena 80 persen perkara yang mereka tangani adalah berkenaan dengan pengadaan barang dan jasa. Pada Desember 2016, kami mengadakan diskusi dengan KPK (membahas) bagaimana untuk melaksanakan enforcement pengadaan barang dan jasa dari daerah dan pusat,” jelas Syarkawi.
“Untuk pengadaan barang dan jasa yang ada di pusat, KPPU tidak banyak masuk karena pengadaan itu didasarkan pada peraturan menteri yang mengacu pada Undang-Undang, jadi ini merupakan pengecualian. Sehingga KPPU lebih banyak masuk ke proyek infrastruktur yang ada di pemerintah daerah,” tambah Syarkawi.
Berdasarkan catatan KPPU, setidaknya sebesar 83 persen sumber perkara dari KPPU berasal dari laporan masyarakat. Sementara itu, untuk inisiatif dari KPPU ada sebesar 14 persen, dan yang merupakan merger sebesar 3 persen.
Sedangkan apabila dilihat berdasarkan sektornya, sebesar 27 persen berasal dari sektor jasa konstruksi, 5 persen migas, 5 persen alat kesehatan, 5 persen peternakan, dan 34 persen lainnya.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Agung DH