tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini belum bisa menemukan keberadaan saksi kunci di kasus suap pengadaan monitoring satelite di Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI.
Saksi itu ialah Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi yang dianggap oleh KPK memegang informasi penting mengenai para pejabat Bakamla penerima suap di proyek senilai Rp400 miliar itu. Fahmi sudah tiga kali dipanggil ke persidangan kasus ini sebagai saksi tapi tak datang.
"Kami sudah ke rumahnya Ali Fahmi tapi tidak ada, tidak tahu dia di mana. Kami lihat penetapan hakim ini seperti apa, dan kami akan berkoordinasi dengan penyidik tindak lanjutnya seperti apa," kata Jaksa KPK untuk perkara ini, Kiki Ahmad Yani di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Jumat (21/4/2017) seperti dilansir Antara.
Dalam sidang untuk dua terdakwa, yang merupakan pegawai PT Merial Esa, Hardy Stefanus dan Adami Okta pada Jumat hari ini, Jaksa KPK memanggil Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo dan Ali Fahmi sebagai saksi. Namun keduanya tidak datang.
Jaksa Kiki mengatakan Arie tak datang sebab sedang tugas dinas ke Australia. Sementara Ali tak diketahui keberadaannya.
Meskipun sudah tiga kali tak hadir, KPK belum menetapkan Ali dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). "Kita juga evaluasi ketidakhadiran Ali Fahmi. Selanjutnya seperti apa jika tidak hadir terus," kata Jaksa Kiki.
Sementara itu, terkait pemanggilan Arie, menurut Jaksa Kiki, KPK sudah berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
"Puspom TNI sangat kooperatif dengan kami, surat pemanggilan dibuat karena kami beda institusi dan yurisdiksi maka pemanggilan itu langsung dilakukan pimpinan, memakai surat pengantar Pimpinan KPK kepada Panglima TNI. Selain ke Panglima TNI, juga ditembuskan ke Puspom, ke KSAL, lalu ke Pomal (Polisi Militer Angkatan Laut) karena Pak Arie Sudewo (pejabat) Angkatan Laut," kata jaksa Kiki.
Ali dianggap memiliki informasi kunci mengenai kasus ini sebab dia pernah disebut menawarkan proyek ini ke salah satu terdakwa dan pemberi suap di kasus ini, yakni Direktur Utama PT Merial Esa, sekaligus Direktur Utama PT Technofo Melati Indonesia, Fahmi Darmawansyah.
Di persidangan, Fahmi mengaku Ali meminta dia menyerahkan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan sebagai syarat memenangkan tender pengadaan monitoring satelit di Bakamla. Menurut Fahmi, kepada dirinya Ali mengatakan fee itu untuk dibagikan kepada sejumlah pejabat Bakamla dan beberapa anggota DPR RI.
Di perkara ini, Adami, Hardy dan Fahmi didakwa menyuap mantan Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) TA 2016 senilai 100 ribu dolar Singapura, 88.500 ribu dolar AS dan 10 ribu euro.
Penerima suap lain yang disebut di dakwaan ketiganya ialah Direktur Data dan Informasi Bakamla merangkap Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Bambang Udoyo sebesar 105 ribu dolar Singapura. Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan disuap 104.500 dolar Singapura dan Kasubag TU Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono diberi fee Rp120 juta.
Adami dan Hardy di dakwaan juga disebut memberikan 6 persen dari anggaran awal yaitu Rp400 miliar atau senilai Rp24 miliar ke Ali pada 1 Juli 2016 di hotel Ritz Carlton Kuningan Jakarta. Sedangkan Arie dalam dakwaan disebut pernah meminta jatah 7,5 persen dari total anggaran pengadaan proyek monitoring satellite Bakamla.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom