tirto.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mendorong pelaksanaan rekomendasi hasil evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat. Evaluasi ini dinilai menjadi awalan yang baik untuk perbaikan tata kelola sawit.
"Akan semakin berdampak jika komitmennya dilanjutkan dengan pelaksanaan rekomendasinya," ucap Alex dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Kamis (25/2/2021).
Hasil evaluasi perizinan kelapa sawit Provinsi Papua Barat tersebut disampaikan dalam rapat koordinasi "Hasil Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Papua Barat" di Manokwari, Papua Barat, Kamis.
Lebih lanjut, ia menyatakan KPK menyambut baik evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit tersebut dan diharapkan dapat diperluas ke evaluasi izin-izin sektor lain yang berbasis lahan (land-based).
"Bahwa pemanfaatan ruang yang bisa mengoptimalkan pendapatan daerah dan negara tidak harus mengorbankan lingkungan apalagi dibaliknya ada perilaku koruptif," kata Alex.
Evaluasi tersebut merupakan salah satu program Rencana Aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) KPK, yang merupakan upaya terhadap perlindungan Sumber Daya Alam (SDA) dan pemberdayaan masyarakat adat di Papua Barat.
Evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat dilakukan kepada 24 perusahaan pemegang izin. Sebanyak 24 perusahaan tersebut memiliki total luas wilayah konsesi 576.090,84 hektare.
Dari total luas wilayah tersebut, terdapat 383.431,05 hektare wilayah yang bervegetasi hutan yang masih bisa diselamatkan dalam konteks penyelamatan SDA. Perusahaan tersebut berlokasi di delapan kabupaten, yaitu Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Manokwari Selatan, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Maybrat, dan Fakfak.
Evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit tersebut telah dimulai sejak Juli 2018 dengan berlandaskan tiga instrumen kebijakan, yaitu Deklarasi Manokwari, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit), dan GNP-SDA.
"Dari hasil evaluasi, mayoritas perusahaan belum beroperasi. Artinya, perizinan yang diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut masih belum lengkap dan belum melakukan penanaman. Dari sejumlah perusahaan tersebut, terdapat wilayah-wilayah konsesi yang secara legal berpotensi untuk dicabut perizinannya," ungkap Alex.
Menurutnya, pencabutan izin tersebut bisa dilakukan karena sejumlah perusahaan tersebut melakukan pelanggaran kewajiban berdasarkan perizinan yang diperoleh, khususnya Izin Usaha Perkebunan. Selain itu, sejumlah perusahaan tersebut juga belum melakukan pembukaan lahan dan penanaman sama sekali.
"Sehingga terbuka kesempatan untuk dapat menyelamatkan tutupan hutan di tanah Papua. Jangan sampai dibalik pelanggaran kewajiban tersebut ada unsur tindak pidana korupsi dan pemberi izin melakukan pembiaran dan tidak menegakkan sanksi sebagaimana seharusnya," ujar Alex.
Sementara Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan menyatakan hasil evaluasi perizinan itu adalah upaya Pemprov Papua Barat dalam perlindungan hutan dan perbaikan tata kelola dalam memaksimalkan upaya pemanfaatan SDA yang berkelanjutan, lestari, dan berpihak kepada masyarakat adat.
"Kami berharap tindak lanjut dari proses ini bisa mendorong peran masyarakat adat secara signifikan dalam pengelolaan SDA di Papua Barat," kata dia.