tirto.id - Koalisi Bersihkan Indonesia (KBI) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menguatkan vonis bebas Samin Tan.
Koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari Auriga, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Samin Tan sempat didakwa secara alternatif menggunakan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor atau Pasal 13 UU Tipikor. Ia dituduh memberikan gratifikasi sebesar Rp5 miliar kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih. Gratifikasi tersebut dilakukan sebanyak tiga kali, melalui Tata Maharaya staf Eni Saragih.
Pemberian gratifikasi diduga dilakukan sebagai balas jasa kepada Eni yang telah membantu PT Asmin Koalindo Tuhup (PT AKT) yang merupakan subsidiary dari perusahaan milik Samin Tan, PT Borneo Lumbung Energi & Metal (PT BLEM).
Izin PT AKT diketahui dicabut oleh Kementerian ESDM karena diduga menjadikan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3, sebagai objek jaminan pinjaman kepada Standard Chartered Bank.
Dalam pertimbangan majelis hakim pengadilan tingkat pertama, Samin Tan dibebaskan karena tidak memenuhi dakwaan jaksa sebagai pemberi gratifikasi kepada Eni Saragih.
Dasar pertimbangannya adalah, karena UU Tipikor tidak mengatur secara khusus pasal mengenai pemberi gratifikasi, tidak seperti pasal pemberi suap yang diatur secara jelas.
Majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung kemudian menguatkan putusan tersebut dan menyatakan bahwa Samin Tan adalah korban pemerasan Eni Saragih.
Koalisi menilai rangkaian putusan terhadap Samin Tan tersebut dapat berakhir menyesatkan. Pasalnya, Samin Tan bukanlah orang pertama pemberi gratifikasi yang dijerat menggunakan UU Tipikor.
"Simon Gunawan Tanjaya dalam kasus korupsi yang menjerat Mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, serta M. Bukhori dan Harjanto sebagai pemberi gratifikasi kepada Mantan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman merupakan beberapa contoh pemberi gratifikasi yang dijerat dengan UU Tipikor," ujar Ketua YLBHI Muhammad Isnur melalui tertulis dikutip Senin (20/6/2022).
Koalisi juga menilai majelis hakim tidak benar-benar mendalami kepentingan Samin Tan dalam pengurusan pencabutan izin PT AKT. Diketahui, Samin Tan merupakan ultimate beneficial owner dari PT AKT yang akan menerima keuntungan jika izin PT AKT dikembalikan.
Untuk itu, koalisi mendesak penegak hukum mengarusutamakan beneficial ownership (BO) sebagai sebuah pendekatan dalam membangun penyelesaian kasus korupsi.
BO sendiri telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Perpres tersebut mengatur tentang definisi korporasi dan beneficial onwership, kewajiban korporasi untuk melaporkan BO-nya, kriteria BO, dan akses informasi BO untuk instansi terkait dan publik.
"Sehingga, seharunya penegak hukum dalam kasus ini maupun kasus lain serupa, harus memfokuskan Samin Tan sebagai ultimate beneficial ownership," jelas Isnur.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky