Menuju konten utama

KPK Dalami Kasus Suap Atase KBRI Malaysia

KPK terus menyidik kasus suap di KBRI Malaysia menyusul ditetapkannya Dwi Widodo sebagai tersangka. Atase KBRI itu diduga memungut upeti dari perusahaan yang menjadi calo pengurusan paspor dan visa calling.

KPK Dalami Kasus Suap Atase KBRI Malaysia
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - KPK terus mendalami kasus dugaan suap di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Malaysia yang menyeret nama Atase Imigrasi Dwi Widodo. Dwi diduga menerima suap miliaran rupiah dari perusahaan agen pengurusan paspor dan calling visa WNI di Malaysia.

"KPK sudah melakukan pendalaman terhadap peran-peran tersangka dalam pengurusan paspor dengan metode reach out dan calling visa sebagaimana disangkakan," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Senin, (27/2/2017).

Mantan atase imigrasi KBRI Kuala Lumpur Tahun 2013-2016 ini sudah dua kali melakoni pemeriksaan dalam kasus itu. Pemeriksaan pertama dilakukan pada Selasa, (7/2) dan pemeriksaan kedua pada Senin, (27/2) ini.

Menurut KPK modus yang dilakukan oleh Dwi adalah dengan meminta pihak agen perusahaan atau makelar untuk memberikan sejumlah uang atas pembuatan paspor baru bagi Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia di atas tarif resmi. Perusahaan tersebut membantu mengurus pembuatan paspor baru yang hilang atau rusak dengan metode reach out (petugas Imigrasi mendatangi langsung pemohon).

Menurut Febri, metode itu lazim dilakukan oleh perusahaan Malaysia yang mempekerjakan tenaga kerja Indonesia (TKI). Namun perusahaan yang menyuap Dwi tidak memperkerjakan TKI. Perusahaan itu diduga hanya menjadi makelar dalam pengurusan paspor dan visa para TKI.

"Modus yang dilakukan oleh Dwi Widodo adalah dengan meminta perusahaan sebagai agen atau makelar untuk memberikan sejumlah uang," jelas Febri Diansyah.

Atas bukti permulaan yang dinilai kuat itulah KPK menetapkan Dwi Widodo sebagai tersangka dalam perkara suap ini pada 7 Februari lalu. Sejak itu pula Direktorat Jenderal Imigrasi langsung mencopot Dwi Widodo dari jabatannya.

Dwi dijerat dengan Pasal 12 a atau Pasal 12b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah ke dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia diancam dengan sanksi pidana 4-20 tahun penjara dan denda senilai Rp200 juta-Rp1 miliar dengan hukuman subsider enam bulan penjara.

Dihubungi secara terpisah melalui sambungan telepon, Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Kuala Lumpur Andreno Erwin membantah bahwa Dwi Widodo dicopot dari jabatannya. Ia mengatakan status Dwi Widodo masih menjabat sebagai Atase KBRI untuk Malaysia karena masa kerjanya baru berakhir sekitar September 2017.

Selain itu, Andreno menilai penerbitan paspor dengan metode reach out sebenarnya tujuan awalnya bagus, namun sayangnya Dwi Widodo tidak amanah dalam menjalankan program tersebut.

"Mengenai sistem yang dibangun oleh kami tidak ada yang salah. Sistem ini sendiri telah dibicarakan oleh semua pihak termasuk saya, termasuk dubes kekonsuleran lainnya untuk melindungi imigran di Malaysia yang mostly TKI dan pelajar. Sayang rekan kami patut diduga dia tidak amanah,"jelas Andreno Erwin kepada Tirto, Senin (27/2).

Setelah Dwi ditetapkan sebagai tersangka, kata Andreno program reach out dan calling visa dihentikan sementara dan belum diketahui kapan akan digulirkan kembali.

"Belum tahu. Doakan saja. Yang jelas program ini sebenarnya efektif kok untuk memudahkan TKI biar enggak usah bolak-balik dari sini ke kediamannya," jelasnya.

Kasus dugaan suap ini terendus saat Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC) melakukan inspeksi pelayanan publik terkait penerbitan paspor dan visa di Malaysia. Dari hasil inspeksi itu MACC menemukan indikasi suap dari perusahaan di Malaysia kepada Dwi Widodo.

MACC yang bekerjasama dengan KPK langsung mengusut kasus ini sejak pertengahan tahun 2016 silam.

MACC menangani perusahaan Malaysia selaku pemberi suap, sedangkan KPK menyidik Dwi selaku PPNS yang menjabat sebagai atase imigrasi.

Baca juga artikel terkait KBRI KUALA LUMPUR atau tulisan lainnya dari Dimeitry Marilyn

tirto.id - Hukum
Reporter: Dimeitry Marilyn
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Agung DH