tirto.id - Seorang pejabat senior Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada hari Rabu, (2/3/2016), mengatakan bahwa jumlah korban meninggal dunia dalam perang saudara yang berlangsung selama dua tahun di Sudan Selatan telah mencapai setidaknya 50.000 jiwa.
Jumlah tersebut naik lima kali lipat jika didasarkan pada laporan yang diberikan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan pada beberapa bulan awal konflik.
“50.000 orang tewas, mungkin lebih, 2,2 juta mengungsi dan tergusur, kelaparan muncul dan meningkat hanya dalam beberapa bulan,” kata pejabat senior PBB yang tidak ingin disebutkan namanya kepada sekelompok kecil wartawan, seperti dikutip oleh kantor berita Antara dari Reuters.
Ia mengatakan bahwa sulit untuk melihat kemungkinan diterapkannya kesepakatan damai yang disepakati pada tanggal 26 Agustus 2015.
Seperti yang telah diketahui, perang yang dimulai pada Desember 2013 tersebut dipicu oleh perselisihan politik antara Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan mantan wakilnya, Riek Machar, yang telah membuka kembali perseteruan kesukuan antara kelompok etnis Dinka yang mendukung Kiir dan kelompok etnis Nuer yang mendukung Machar.
PBB mengatakan bahwa pihak yang berperang di Sudan Selatan telah membunuh, menculik dan menggusur warga dan menghancurkan properti pada bulan Februari kemarin meskipun retorika damai antara Kiir dan Machar telah disepakati.
Setelah berbulan-bulan perundingan yang tidak efektif dan gencatan senjata yang gagal, kedua pihak sepakat pada Januari untuk berbagi posisi di pergantian pemerintahan, dan pada Februari, Kiir mengangkat kembali Machar ke bekas jabatannya sebagai wakil presiden.
“Sampai di manakah kita dalam penerapan perjanjian damai? tidak ada kemajuan.”
“Kami melihat kekerasan menyebar dalam perseteruan etnis di bagian lain Sudan Selatan, yang telah terhindar sejauh ini,” kata pejabat senior tersebut.
Sebuah panel PBB yang memantau konflik di Sudan Selatan untuk Dewan Keamanan menyatakan pada bulan Januari bahwa Kiir dan Machar masih sepenuhnya bertanggung jawab atas pasukan mereka dan karena itu secara langsung mereka layak untuk disalahkan karena membunuh warga sipil.
Saat ini pasukan perdamaian PBB melindungi hampir 200.000 orang di enam lokasi perlindungan di Sudan Selatan.
Pekan lalu, Angola mengatakan bahwa mereka telah mengusulkan agar Dewan Keamanan PBB memberlakukan embargo senjata di Sudan Selatan, tetapi Rusia yang memiliki hak veto mengatakan pihaknya menentang upaya itu karena tidak percaya hal tersebut akan membantu menyelesaikan konflik.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry mengatakan Kiir dan Machar akan menghadapi sanksi individual jika mereka tidak mencapai kesepakatan damai.
Konflik di Sudan Selatan, yang memisahkan diri dari Sudan pada 2011 dan yang telah lama mendapat dukungan dari Amerika Serikat, telah mengoyak negara termuda di dunia itu.