tirto.id - Rumah Anindya Shabrina, 23 tahun, didatangi dua polisi pada Selasa, 21 Agustus 2018. Salah satu dari polisi itu menyebut bahwa surat yang mereka antarkan berisi kabar pemanggilan. Anindya membuka surat itu, ternyata isinya berbeda dari keterangan polisi.
“Bukan surat pemanggilan tapi tembusan pemberitahuan mulai berjalannya penyidikan,” ungkap Anindya melalui sambungan telepon kepada Tirto, Selasa, 21 Agustus 2018.
Surat itu berasal dari Polrestabes Surabaya yang ditujukan ke kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Perak Surabaya. Anindya mendapat tembusan surat itu karena status dirinya sebagai terlapor. Ia dituding melakukan pencemaran nama baik dengan jeratan Pasal 45 ayat (3) juncto 27 ayat (3) UU ITE.
Permasalahan itu berawal dari operasi yustisi yang menyasar Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan No. 10, Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juli 2018. Hari itu sekitar pukul 20.30 WIB, Camat Tambaksari bersama beberapa anggota Kepolisian bersenjata laras panjang, TNI, dan Satpol PP Kota Surabaya mendatangi Asrama Mahasiswa Papua. Jumlah aparat gabungan itu diperkirakan ratusan. Anindya, Isabela, bersama seorang pengacara publik LBH Surabaya mendatangi aparat gabungan itu.
“Saya tanya surat tugas. Mereka tidak bisa menunjukkan. Camat Tambak Sari bilang enggak perlu surat. Mereka maksa masuk,” tuturnya.
Saat dialog, suasana berangsur makin tak kondusif. Sebab orang-orang yang tak terlibat dialog meneriakkan berbagai macam hujatan ke tiga perwakilan mahasiswa yang bernegosiasi dengan aparat itu. Hingga Isabela dan seorang pengacara publik LBH Surabaya diseret paksa menjauh dari pintu Gerbang Asrama, agar proses negosiasi berakhir. Setelahnya, Anindya juga diseret paksa.
“Ketika penyeretan itu ada bapak-bapak pakai kemeja biru, jenggotan, rambutnya ubanan, kurus dia pegang payudara saya sebelah kanan. Dia meremas sengaja,” ujarnya. Anindya kaget lalu berteriak minta tolong.
Beberapa jam setelahnya Anindya mengunggah kronologi intimidasi, tindak kekerasan, dan pelecehan seksual yang menimpa dirinya ke akun Facebook-nya. Hari-hari setelahnya dia mengunggah beberapa status Facebook yang tujuannya untuk mencari keadilan atas perlakuan buruk yang menimpa dirinya.
Meski Anindya merupakan korban pelecehan yang berani menyuarakan haknya, tapi hingga hari ini tak ada institusi pemerintah yang melindunginya. Hingga kini dia hanya dibantu LBH Surabaya.
Korban Pelecehan Dijerat UU ITE
Polrestabes Surabaya tidak menangani kasus Anindya sebagai korban pelecehan seksual. Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Sudamiran menegaskan justru Anindya menjadi pihak yang dilaporkan atas dugaan melakukan tindak pidana.
“Masih lidik, mas. [Status Anindya sebagai] terlapor. Belum [tersangka],” kata Sudamiran melalui pesan singkat kepada reporter Tirto, Rabu (22/8/2018).
Anindya dilaporkan Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya (IKBPS), Pieter Frans Rumaseb pada 25 Juli 2018. Pieter ialah PNS yang pernah menjadi pegawai Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum di beberapa kantor pemerintahan. Beberapa di antaranya di Kantor Kecamatan Pakal, Kantor Kecamatan Bubutan, dan Kantor Kelurahan Karang Pilang.
Hingga kini, Pieter bekerja sebagai Satpol PP. Secara struktural, kerja Pieter berada di bawah naungan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Tanpa meminta keterangan dari Anindya, Polrestabes Surabaya mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan pada 16 Agustus 2018. Sejauh ini, nama Pieter tertulis sebagai Piter dalam laporan di kepolisian.
Saat dikonfirmasi terkait detail pelaporan, Pieter enggan berkomentar. Dia justru meminta penyidik Polrestabes Surabaya yang menjelaskan.
“Tanya saja ke penyidik Polres. Penyidik yang lebih tahu apa yang di laporkan, pengaduannya apa, potensi pelanggarannya apa,” ungkap Pieter melalui sambungan telepon kepada reporter Tirto, Rabu 22 Agustus 2018.
Namun melalui pemberitaan Jawa Pos, pada 14 Juli 2018, Pieter melaporkan Anindya atas dugaan mendiskreditkan aparat dan warga Papua melalui media sosial. Dia juga membantah ada pelecehan seksual dan pelanggaran HAM dalam operasi yustisi.
Meski dia merasa pihak kepolisian yang didiskreditkan, Pieter secara pribadi merasa menjadi korban penghinaan atau pencemaran nama baik yang dilakukan Anindya. Pieter menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang merupakan delik aduan, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016. Pasal itu juga mengacu pada Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP.
Anindya mengaku bingung, mengapa Pieter yang melaporkan dirinya, padahal dia tak pernah merasa menuding Pieter melakukan pelanggaran HAM atau pelecehan seksual.
“Dia [Pieter] tidak di lokasi kejadian, tiba-tiba mau melaporkan sebagai apa, apa dia korban? Saya menulis kronologi pelecehan seksual yang saya alami, kenapa beliau yang lapor?” tegas Anindya.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Mufti Sholih