tirto.id - Setara Institute merilis hasil survei soal model beragama pada 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Hasilnya, responden mahasiswa yang diteliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung menunjukkan corak agama fundamentalis.
"Fundamentalisme beragama bisa menjadi akar eksklusifisme dan perilaku intoleran, jika visi fundamentalisme dipaksakan di ranah kehidupan sosial," kata peneliti Setara Institute Noryamin Aini di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Ahad (30/6/2019).
Dalam penelitian ini, Setara Institute menggunakan metode kuantitatif. Jumlah responden mencapai 1.000 orang dari 10 PTN di Indonesia. Kampus-kampus yang diteliti yakni Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, Universitas Mataram, UIN Jakarta, dan UIN Bandung.
Untuk mengukur fundamentalisme dalam pandangan agama, peneliti menanyakan persetujuan atas beberapa pernyataan kepada responden. Contohnya soal: jalan keselamatan dunia dan setelah mati hanya terdapat dalam ajaran agamaku, ajaran agamaku sudah sempurna, dan saya tidak memerlukan pedoman tambahan di luar agama, atau hanya ajaran agamaku yang dapat mewujudkan keadilan bagi masyarakat Indonesia."
"Semakin tinggi nilai yang diperoleh dari kelima pernyataan di atas, maka semakin tinggi fundamentalisme beragama responden," kata Noryamin.
Hasil riset pada 10 kampus, kata dia, responden di UIN Bandung mendapat poin 45,0 dan UIN Jakarta mendapat poin 33,0. Lebih lanjut, Universitas Mataram mendapat 32,0 poin; IPB mendapat poin 24,0 poin; UNY mendapat poin 22,0 poin. Kemudian, UGM memperoleh 12,0 poin; Universitas Brawijaya memperoleh 13,0 poin; ITB mendapat 10,0 poin; Unair mendapat poin 8,0; dan UI memperoleh poin 7,0.
Dinilai Tak Bisa Digeneralisir
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Amany Lubis menilai riset yang dilakukan Setara Institute tidak akurat karena penelitian tersebut seolah menggeneralisasi pandangan atau paham tertentu. Salah satu problemnya adalah karena sampel responden yang diambil terlalu sedikit.
"Saya katakan itu tidak bisa digeneralisasi. Bayangkan jumlah mahasiswa UIN Jakarta total ada sekitar 32.000. Ditambah, kampus itu isinya enggak hanya mahasiswa, tapi juga dosen dan staf," kata Amany saat dihubungi reporter Tirto, Senin (1/7/2019).
"Jangan sampai dengan adanya penelitian tersebut membikin masyarakat, terkhusus mahasiswa UIN mudah dicurigai," lanjutnya.
Problem yang kedua, menurut Amany, adalah metode pertanyaan yang diberikan kepada responden hanya menyediakan jawaban antara "ya" atau tidak". Amany menilai model jawaban seperti ini terlalu mensimplifikasi dan cenderung mengarahkan ke jawaban tertentu.
"Apa bisa disebut radikal dan fundamental jawaban-jawaban seperti itu? Pertanyaannya terlalu simpel dan terlalu umum," kata dia.
Ia menilai riset Setara Institute tak akan berpengaruh apa-apa untuk pihak kampus, bahkan biasanya memang tidak disikapi atau ditanggapi.
"Kami punya lembaga dan staf-staf penelitian sendiri. Tahu mana penelitian yang punya tujuan tertentu, dan tahu mana yang hanya cari sensasi," kata Amany.
Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Mahmud enggan memberikan komentar terkait riset terbaru Setara Institute tersebut, saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (1/7/2019).
Mahmud mengklaim sudah mendapatkan informasi terkait riset tersebut, namun perlu dikaji dan dipelajari terlebih dahulu untuk direspons ke publik.
Dinilai Bukan Masalah
Mahasiswa semester 8 jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Fakultas Ushuludin, UIN Bandung, Yosep Sohih Nadir menilai tak ada yang salah dari pemegang prinsip fundamentalisme dalam beragama.
Ia menilai, jika fundamentalisme beragama Islam kerap dikaitkan dengan kekentalan beragama, ingin menerapkan syariat Islam, hingga setuju dengan khilafah dan syariat, itu bukan menjadi sebuah masalah.
"Tapi terkadang diksi 'fundamentalisme', 'moderat', 'fanatisme', itu, kan, hasil dari pembentukan opini media dan kelompok-kelompok tertentu yang ingin menyudutkan Islam, padahal Islam, ya, cuma satu," kata Yosep saat dihubungi reporter Tirto, Senin (1/7/2019).
Yosep mengaku tak mempermasalahkan riset terbaru Setara Institute secara metodologis. Namun ia mempertanyakan untuk apa membangun opini seperti itu. "Untuk menyudutkan Islam?" tanya dia.
Komentar serupa disampaikan Thohirin, mahasiswa semester 14, jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, UIN Jakarta. Ia menilai fundamentalisme tak bisa selalu dipandang negatif. Sebab, kata Thohirin, fundamentalisme dalam beragama tak sama dengan intoleransi beragama.
"Selama tidak melarang dan menghalangi kepercayaan agama lain, tak ada masalah dengan fundamentalisme dalam pengertian ini," kata Thohirin, Senin (1/7/2019).
Thohirin mengklaim tak pernah sekalipun menyaksikan model-model beragama yang intoleran dan eksklusif selama kuliah di UIN Jakarta. Bahkan, ia mengatakan fakultas tempatnya kuliah kerap mengadakan dialog dengan penganut kepercayaan agama lain.
"Itu bagian dari upaya kami tetap bisa hidup berdampingan dengan yang bukan Islam," ujarnya.
Thohirin menilai pada prinsipnya tak ada yang salah dengan fundamentalisme dalam beragama. Menurut dia, yang menjadi persoalan adalah ketika praktik beragama diiringi bentuk intoleransi.
"Kalau kita menganggap bahwa cara beragama kita yang paling toleran, mestinya kita juga bisa toleran dengan siapapun: termasuk mereka yang beragama dengan fundamental," ujar Thohirin.
"Seharusnya kita juga tidak mudah [memberi tafsir saat] melihat model beragama orang lain dengan simbol: cadar, celana cingkrang, dan sebagainya, kalau kita sebut simbol fundamentalisme," pungkasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan