Menuju konten utama

Kontroversi di Balik Toilet

Toilet selama ini diklasifikasikan berdasar jenis kelamin bawaan lahir. Bagi transgender, itu jadi persoalan karena bertentangan dengan identitas gender mereka. Di Indonesia, hal ini belum menjadi isu.

Kontroversi di Balik Toilet
Toilet Unisex [Foto/Shutterstock]

tirto.id - "Saya benci penis saya," ungkap Nicole, dulu bernama Wyatt, kepada ayahnya. Pertanyaan saat anaknya masih balita itu diceritakan oleh ayahnya, Wayne Maines, pada New York Times.

Wayne mengadopsi Nicole dan Jonas sebagai kembar identik. Berbeda dengan Jonas, Nicole tak beridentitas gender sesuai jenis kelaminnya saat dilahirkan. Berulangkali Wayne membujuk dan memarahi agar Nicole tak memakai atribut perempuan. Namun semakin keras dia memarahi, gejala depresi Nicole semakin kuat.

Masalah tak berhenti di situ. Pada 2007, Nicole dimarahi staf sekolahnya karena menggunakan toilet bersimbol perempuan. Saat itu Wayne dan istrinya tersadar dengan kondisi Nicole. Mereka melihat anaknya sebagai gadis yang terperangkap dalam tubuh anak laki-laki. Maka, Wayne pun menyerah.

Wayne juga bisa memahami insiden toilet itu. Ia merasa anaknya serba salah harus menggunakan toilet bersimbol perempuan atau laki-laki. Setelah banyak berdiskusi dengan psikolog dan dokter, akhirnya Wayne mencari pengacara. Ia menuntut tempat anaknya bersekolah karena menghardik anaknya karena memakai toilet perempuan.

"Dia [Nicole] benar-benar seorang gadis,'' kata Kelly, istri Wayne. "Seorang gadis yang lahir dengan cacat lahir.”

Menggugat lewat jalur hukum membuat keluarga ini harus menghadapi intimidasi dan ekspresi ketidakpekaan orang-orang sekitarnya. Wayne sampai memutuskan memboyong keluarga kecilnya pindah rumah dan sekolah.

Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 2014, upaya mereka berhasil. Keluarga ini menang di tingkat Mahkamah Agung. Sekolah Dasar Asa Adams di Orono, Amerika Serikat harus membayar tuntutan $75.000 kepada keluarga Wayne. Uang itu dipakai untuk operasi kelamin Nicole secara total, agar ia terhindar dari stres akibat disforia gender.

Putusan pengadilan yang memutus sekolah bersalah secara hukum karena memarahi Nicole yang masuk toilet perempuan. Setelahnya, Nicole diundang ke Gedung Putih, dan Obama pun menyerukan agar lembaga pendidikan, instansi pemerintahan, dan tempat komersil memperbolehkan orang masuk ke toilet berdasarkan identitas gendernya.

Tapi perintah Obama menimbulkan polemik. Beberapa negara bagian bahkan menggugat perintah Obama itu, termasuk Texas. Banyak pihak tetap ingin toilet dibagi berdasar kelamin biologis bawaan, bukan gender.

Yang agak menggembirakan bagi kaum transgender, survei menyatakan mayoritas orang Amerika menentang aturan toilet yang mengelompokkan orang berdasarkan kelaminnya. Dari hasil wawancara 1.001 orang Amerika dewasa yang dilakukan melalui telepon oleh ORC International/CNN Mei 2016 lalu, sebanyak 57 persen dari mereka menentang payung hukum yang mengharuskan transgender menggunakan toilet sesuai jenis kelamin kelahirannya. Sebanyak 38 persen mendukung aturan-aturan hukum itu. Sisanya, sebanyak 5 persen enggan memberikan pendapatnya.

Keamanan Toilet di Indonesia

Di Indonesia, banyak toilet tak diatur berdasarkan jenis kelamin, meski penyebabnya adalah keterbatasan fasilitas. Tapi di tempat-tempat publik seperti mal dan kantor, pengelompokan seperti di negara-negara maju sudah menjadi keumuman.

Segregasi seksis dengan pemisahan jenis kelamin biologis itupun mulai menuai dampak di negara seperti Indonesia. Jika transgender masuk pada toilet yang tertera simbol jenis kelamin biologis yang lain dengan kelamin si transgender, ia akan dicap aneh. Tak jarang pula diusir.

“Ada cerita dari teman-teman komunitas bahwa dia sempat diteriaki di toilet laki-laki karena dia trans laki-laki. Trans laki-laki ini kebalikan dari waria. Ada juga teman waria yang masuk toilet perempuan diteriaki dan masuk toilet laki-laki juga diteriaki. Dia masuk ke toilet perempuan,” ungkap aktifis feminis queer dari Arus Pelangi, Lini Zurlia.

Lini mengaku belum bisa membuka penelitian perihal kekerasan terhadap kaum LGBT di Indonesia versi terbaru. Sebab masih ada beberapa hal harus dilengkapi untuk dipublikasikan. Namun, dia memastikan di tahun 2016 angka kekerasan terhadap kaum LGBT meningkat tajam. Hal tersebut merupakan dampak dari diskirminasi verbal pejabat negara terhadap LGBT melalui media.

Namun, dari hasil penelitian Arus Pelangi pada 3 kota besaY Makasar,Yogya, dan Jakarta pada tahun 2013, sebanyak 89.3 persen LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Rinciannya: 79.1 persen responden menderita psikis; 46.3 persen mendapat kekerasan fisik; lalu 26.3 persen kekerasan dalam bentuk ekonomi; 45.1 di antaranya kekerasan seksual; dan 63.3 persen menderita kekerasan budaya. Dari sekian banyak kasus kekerasan yang terjadi, 65,2 persen di antaranya mencari bantuan ke teman. Yang harus dijadikan perhatian: 17,3 persen di antaranya pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Di sela tingginya berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan tersebut, toilet uniseks ternyata telah jamak di beberapa tempat umum, misalnya di gerai-gerai toko waralaba macam 7eleven, Indomaret, Alfamart, dan Circle-K. Ada pula di berbagai institusi pendidikan, terutama di kota-kota kecil. Sedangkan yang terang-terangan memasang simbol toilet uniseks hanyalah di beberapa restoran dan Beer Garden.

Tapi, kemungkinan besar, itu terjadi karena minimnya tempat atau perhatian atas pentingnya fasilitas. Sebagian terjadi karena penghematan uang dan ruang. Belum ada perdebatan soal hak transgender dalam mengakses toilet seperti di Amerika Serikat, Inggris, Cina, Perancis, dan berbagai negara lain.

“Kesadaran gender apa, di sini enggak ada sama sekali, masih rendah,” ujar Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Ida Ruwaida kepada Tirto.id.

Ida juga sempat mengalami kejadian yang membuatnya risih ketika mengakses toilet uniseks di salah satu perguruan tinggi ternama. Ketika dia selesai menggunakan toilet, ada seorang laki-laki tengah menutup resleting celananya. Hal tersebut yang membuatnya menolak keberadaan toilet unisex. Sebab dia menilai di Indonesia tindakan pidana kekerasan seksual tergolong tinggi dan terus bertambah pada setiap tahunnya.

“Jadi pengamanan menjadi bagian yang penting. Artinya bukan hanya karena tuntutan ada kelompok minoritas. Bukan persoalan budaya, tapi perlindungan perempuan, apalagi anak kecil. Di JIS itu kan terjadi di toilet. Keamanan itu harus melindungi kelompok yang dianggap rentan. Karena setiap orang berpotensi untuk menjadi korban,” tuturnya.

Aspek kenyamanan tersebut memang harus dirinci dengan detail. Misalnya saja bilik toilet tak berada dalam satu ruangan besar. Melainkan setiap bilik sudah berada di luar, satu pintu, jadi tak ada interaksi setelah menggunakan toilet uniseks. Bisa jadi pemasangan mesin ventilasi dan minimalisasi celah harus dipenuhi, supaya mencegah terjadinya pengintipan dan pelecehan.

Tak seperti toilet kebanyakan yang selalu berada di tempat kotor, minim penerangan, dan selalu terletak di bagian belakang gedung tanpa ruang pengawasan. Semestinya pula disediakan tombol alarm untuk keadaan bahaya.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Maulida Sri Handayani