tirto.id - Kultur kekerasan masih menjadi pekerjaan rumah bagi TNI. Sayangnya hal ini tidak dibicarakan dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI Rabu (6/12/2017) kemarin. Hal ini disampaikan KontraS saat konferensi pers di kantor KontraS, Jakarta, Kamis (7/12/2017).
"Kami melihat kekerasan pelanggaran HAM yang hampir terjadi setiap hari melibatkan anggota TNI bahkan juga tidak hanya mengakibatkan korban warga sipil tapi juga jurnalis. Tapi ini luput ternyata dari proses uji kelayakan kemarin," tutur Anantio Setiawan, Staf Biro Riset KontraS.
Menurut rilis yang diberikan KontraS sepanjang 2016-2017 sedikitnya telah terjadi 138 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan anggota TNI sepanjang Oktober 2016 sampai Oktober 2017 yang mengakibatkan 15 orang tewas, 124 orang luka-luka, 63 orang sempat mengalami penangkapan sewenang-wenang, dan 61 orang lainnya mengalami kerugian lain.
Salah satu kekerasan yang dilakukan oleh TNI adalah pada peristiwa kematian La Gode. Petani cengkeh asal Taliabu, Maluku Utara itu sudah terbujur kaku dengan tubuh penuh luka. Gigi atas dan bawah dicabuti, kuku di jempol kaki kanan dicabut. Tak hanya itu, bibir, mata hingga pipi kanannya bengkak. Keluarga menduga La Gode tewas dianiaya anggota TNI.
Bentuk kekerasan yang dilakukan pun beraneka ragam. Tindak penganiayaan menjadi yang paling dominan dengan 65 peristiwa, diikuti dengan intimidasi dan ancaman dengan 38 peristiwa.
Namun, masalah ini tidak tampak tidak menjadi persoalan serius bagi calon Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Dalam visi misi yang disampaikannya di hadapan Komisi I DPR kemarin, Hadi tidak menyinggung masalah kekerasan oleh anggota TNI. Hal ini pun tidak menjadi sorotan saat sesi pendalaman dan tanya jawab oleh anggota Komisi I DPR RI.
"Bahkan calon panglima yang baru kemarin juga tidak berusaha berbicara tentang bagaimana mengembalikan TNI ke reformasi sektor keamanan, yang TNI harus menghormati prinsip-prinsip HAM, demokrasi, dan supremasi sipil," lanjutnya.
Realitas maraknya kekerasan oleh anggota TNI ini pun diperparah dengan proses Peradilan Militer. Namun, kenyataannya dalam beberapa kasus yang ditanagani KontraS, peradilan militer sangat tertutup sehingga sulit untuk mengukur transparansi dan akuntabilitasnya.
Pasal 8 dan pasal 9 UU 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatur, pengadilan militer berwenang untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan prajurit atau orang yang dianggap sebagai prajurit oleh Undang-undang.
Undang-undang yang ditandatangani mantan presiden Soeharto pada 15 Oktober 1997 itu menjadi dasar Peradilan Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan anggota TNI dan juga perselisihan tata usaha negara yang berpangkal dari keputusan administratif pejabat militer.
KontraS menilai Peradilan Militer kerap dijadikan dalih mangkirnya aparat TNI dalam sejumlah tindak pidana maupun pelanggaran HAM.
Kepala Divisi Pembela HAM KontraS, Arif Nurfikri mempertanyakan, misalnya ketika kasus pidana anggota militer ditangani hakim yang juga anggota militer, apakah tidak akan ada konflik kepentingan terhadap institusinya. Selain itu apakah saksi yang dihadirkan tidak merasa terintimidasi. Dengan kenyataan ini, KontraS menilai revisi UU Peradilan Militer sangat mendesak untuk segera direvisi.
"Idealnya, mekanismenya ketika ada anggota militer yang melakukan tindak pidana, masuk mekanisme peradilan umum," jelas Arif.
Namun, hingga hari ini revisi UU Peradilan Militer tidak pernah masuk ke dalam program legislasi nasional di DPR.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra