Menuju konten utama

Konflik Bersenjata di Afrika Picu Kelaparan Massal

Afrika, perebutan kekuasaan, dan krisis kemanusiaan: tiga hal berkait-kelindan yang sulit dipecahkan hingga sekarang.

Konflik Bersenjata di Afrika Picu Kelaparan Massal
Anak mengalami kelaparan di Afrika. FOTO/AFP

tirto.id - Krisis kelaparan berskala besar sedang melanda di empat negara: Nigeria, Somalia, Sudan Selatan, dan Yaman. Korban yang ditimbulkan dari bencana ini mencapai 20 juta orang. Gagal panen, tingkat gizi rendah, serta konflik bersenjata berada di balik krisis tersebut.

Menurut juru bicara badan penanggulangan pengungsi internasional UNHCR, Adrian Edwards, kelaparan massal di empat negara itu meningkatkan resiko tingginya angka kematian di Afrika dan sekitarnya. Bagi Edward, krisis hari ini lebih buruk dari krisis kelaparan di tahun 2011, di mana kurang lebih 260.000 orang meninggal dan setengah di antaranya adalah anak-anak.

Kondisi yang memprihatinkan ini diakibatkan beberapa faktor seperti keadaan alam, migrasi penduduk, serta konflik berkepanjangan di masing-masing negara.

Demi menanggulangi dan mencegah krisis agar tak semakin parah, UNHCR akan memperluas daerah operasi. Sayangnya, rencana itu terbentur pendanaan. Anggaran yang ada bahkan belum mencapai 15 persen dari target.

Secara keseluruhan, PBB memerlukan anggaran sebanyak 4,4 miliar dollar untuk menyelesaikan krisis di empat negara tersebut. Namun menurut Jens Laerke, perwakilan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, organisasinya baru mendapatkan sekitar 21 persen ($984 juta) dari target yang ingin dicapai.

Menurut kepala urusan kemanusiaan PBB Stephen O’Brien, dalam kurun 20 tahun terakhir jumlah yang disumbangkan guna menangani krisis meningkat hingga enam kali lipat. Meski demikian, krisis yang terjadi telah melampaui sokongan keuangan tersebut.

Baca juga: 22 Orang Tewas dalam Konflik di Republik Afrika Tengah

Kepala Oxfam Mark Golding mengapresiasi naiknya tingkat partisipasi terhadap isu kelaparan dunia selama enam tahun belakangan. Dilansir dari The Guardian, naiknya jumlah bantuan uang menandakan tumbuhnya kepekaan warga dunia akan kondisi di Afrika, walaupun jumlahnya belum mencukupi.

Konflik Bersenjata

Kondisi geografis membuat benua Afrika sering mengalami kekeringan. Belakangan, kekeringan di Afrika turut mengakibatkan kenaikan tajam harga pangan di tengah kemampuan beli yang rendah. Alam dan ekonomi menjadi penyebab krisis kelaparan, tapi faktor utamanya adalah konflik bersenjata.

Selain mengganggu rantai produksi dalam negeri, konflik bersenjata juga mengancam keberadaan pasar sebagai tempat transaksi kebutuhan sehari-hari. Ketika pasar tak ada, bahan pangan bisa dijualbelikan dengan selisih harga cukup besar. Kondisi ini terus bertahan. Di sisi lain, negara-negara di Afrika tak memiliki mekanisme penanganan krisis yang memadai. Walhasil, krisis berlangsung awet.

Berdasarkan laporan lembaga kajian Africa Center for Strategic Studies, 19 negara di benua Afrika sedang menghadapi krisis kelaparan, darurat kesehatan, dan minimnya ketersediaan makanan. Sepuluh di antara 19 negara sedang dilanda konflik berkepanjangan. Total 82 persen dari 18,5 juta warga Afrika berstatus pengungsi.

Majalah Economist menyatakan pemerintah negara-negara Afrika patut disalahkan atas krisis tersebut. Mereka bahkan ingin menghentikan arus bantuan dari luar. Menurut laporan PBB, telah terjadi 967 kasus penolakan bantuan untuk negara-negara Afrika. Bahkan, para pemerintah menetapkan peraturan resmi untuk menghentikan pengiriman pangan.

Infografik kelaparan di afrika

Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA) pernah menghentikan iring-iringan pembawa bantuan yang ingin masuk ke Sudan. SPLA menuduh bantuan itu ditujukan ke alamat musuh. Menurut SPLA, jika sudah di tangan musuh, bahan pangan bisa diperjualbelikan dan hasil penjualan bisa digunakan untuk membeli senjata.

Baca juga:

Hal serupa terjadi di Sudan Selatan. Pemerintah menghambat distribusi bantuan pangan, entah secara sengaja maupun karena proses birokrasi yang rumit. Tak jarang pula kelompok relawan diserang tanpa alasan jelas.

Meskipun dikenal sebagai salah satu negara eksportir minyak, Nigeria tak mampu menyejahterakan rakyatnya. Belum pula aksi-aksi kelompok teroris Boko Haram selama 8 tahun belakangan membuat kondisi masyarakat Nigeria semakin terjepit.

Somalia tak jauh berbeda. Selama 25 tahun, Somalia berjalan tanpa pemerintahan akibat konflik yang tak kunjung reda. Pemeran utama dalam konflik di Somalia ialah kelompok Islamis militan Al-Shabab yang menguasai banyak wilayah pedesaan. Meski al-Shabab menjalankan kehidupan ekonomi tradisional (ternak dan pertanian), mereka tak mengizinkan masuknya bantuan asing.

Kondisi di Yaman setali tiga uang. Konflik sipil yang melibatkan banyak pihak telah merusak tatanan regional, menghilangkan banyak nyawa, serta menghancurkan roda perekonomian. Persediaan air bersih di Yaman juga memprihatinkan. Parahnya lagi, 90 persen bahan pangan berasal dari impor sebelum meletusnya konflik.

Pemecahan krisis kemanusiaan di Afrika memerlukan kontribusi nyata komunitas internasional. Jumlah korban mencapai angka yang memprihatinkan. Tanpa penyelesaian konflik politik, kehidupan normal di negara-negara Afrika yang kini bergejolak hanya akan jadi harapan kosong.

Baca juga artikel terkait AFRIKA atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf