tirto.id - Film whodunit punya formula yang itu-itu saja: ada yang mati, ada yang membunuh, dan keseluruhan cerita akan berputar pada jalan menemukan siapa pelaku pembunuhan itu. Semua informasi penting biasanya akan dilempar di awal sekali cerita. Mulai dari cara kematian, kronologi, dan para tersangka, lengkap dengan motif mereka.
Mereka? Karena salah satu ciri lain whodunit adalah jumlah tersangkanya yang tak pernah cuma satu. Biasanya, nyaris semua orang yang tidak mati adalah tersangka.
Tapi, sebelum semua ciri itu muncul, whodunit harus dipandu seorang detektif. Ia yang kelak akan memandu jalannya investigasi, sekaligus mata bagi para penonton. Dalam Knives Out, detektif itu adalah Benoit Blanc (Daniel Craig), detektif swasta asal Perancis yang diulas New Yorker sebagai investigator ulung termashyur. Kehadiran Blanc tiba-tiba dan tidak terduga. Si detektif sendiri tak tahu siapa yang menggajinya untuk memecahkan kasus kematian miliuner Harlan Thrombey (Christopher Plummer).
[Spoiler alert!] Thrombey ditemukan tewas di ruang kerjanya dengan leher tersayat, dan pisau di tangannya. Seminggu pertama setelah kematian itu, ia diduga bunuh diri. Tapi, bukankah menyayat leher adalah cara yang cukup ekstrem untuk sebuah teknik bunuh diri dan bikin dahi siapa saja mengernyit?
Maka film dimulai dengan proses interogasi yang dilakukan Blanc terhadap seluruh anggota keluarga Thrombey. Ada Linda (Jamie Lee Curtis), putri pertama Thrombey yang ambisius dengan otak bisnis canggih; suaminya, Richard (Don Johnson) yang congkak, angkuh, tukang selingkuh, dan xenofobik; serta anak mereka Ransom (Chris Evans) yang hedonis; ada juga Walt (Michael Shannon), anak kedua Harlan yang mengelola perushaan penerbitan milik keluarga; Donna (Riki Lindhome), istri Walt; Joni (Toni Colette), menantu Harlan yang materialistis yang sudah jadi janda; dan dua orang cucu Harlan lainnya, Meg (Katherine Langford) yang woke, serta Jacob (Jaeden Martell), bocah tukang troll di internet yang perannya kecil sekali.
Tumpukan karakter itu nantinya berfungsi untuk bikin bingung Blanc dan penonton, pada babak pertama. Konflik yang dilempar karakter-karakter ini bisa jadi bukti baru, tapi juga bisa berfungsi sebagai pengalih perhatian dari twist utama yang disiapkan sang sutradara [sekaligus penulis naskah] Rian Johnson.
Menebak-nebak siapa sang pembunuh adalah pekerjaan penonton. Dan whodunit yang baik biasanya tak akan membiarkan penontonnya bekerja dengan mudah. Dan Johnson sangat jago mengerjai penontonnya.
Kuncinya ada di Martha Cabrera (Ana de Armas), perawat Harlan yang sudah dianggap jadi sahabat sendiri. Johnson meracik Martha sebagai karakter unik. Perempuan muda yang punya ibu imigran ilegal ini akan selalu mual dan muntah jika berbohong, atau mendengar kebohongan.
Sebagai kejutan tambahan, sejak awal sekali film diputar, penonton disuguhi fakta bahwa Martha adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana detik-detik terakhir hidup Harlan. Johnson bahkan sengaja memberitahu kita—penonton—tentang bagaimana Harlan menggorok lehernya sendiri. Fakta ini yang akhirnya dari babak pertama hingga nyaris di ujung cerita hanya akan menjadi rahasia penonton dan Martha, sebab tak satu pun karakter di sana mengetahuinya, termasuk Detektif Blanc.
Keputusan Johnson itu amat cerdas. Rahasia itu akhirnya membuat karakter Martha sebagai protagonis (atau antagonis?) utama menjadi lebih kuat dan terikat dengan penonton. Sekaligus jadi twist pertama yang bikin penonton cuma fokus pada tangan kiri Johnson, di saat tangan kanannya sedang menyiapkan trik berikutnya.
Bak pesulap andal, Johnson benar-benar rapi menyiapkan pertunjukannya whodunit ini. Nyaris tak ada dialog yang tak bermakna. Semua disusun untuk menyokong efek kejut yang disiapkannya di ujung cerita, dan semua ditanam Johnson dengan sabar dan teliti. Yang ada, kita mungkin akan fokus pada beberapa dialog saja, padahal dialog lainnya bisa jadi bukti yang tercecer.
Misalnya, perhatikan saja berapa kali karakter Richard salah menyebutkan negara asal Martha. Di awal film, kita mungkin cuma akan berpikir kalau dia rasis saja. Nyatanya, sisipan-sisipan kecil itu jadi pesan pamungkas Knives Out, yang secara tipis menyindir xenophobia dan kapitalisme di Amerika Serikat.
Rahasia yang disimpan Martha dan penonton juga jadi pembeda Knives Out dengan whodunit yang pernah ada. Jarang sekali informasi sebesar itu dibiarkan muncul di awal naskah. Sebab, kehadirannya bisa bikin rasa penasaran penonton langsung kandas dan gampang menebak ujung cerita. Namun, Johnson pintar meracik atraksi sulapnya, sehingga bikin rasa penasaran itu terawat awet hingga detik terakhir.
Rangkaian naskah yang kuat ini didukung dengan akting aktor-aktor kelas A. Daniel Craig sebagai detektif Perancis berkali-kali bikin saya lupa kalau dia adalah Daniel Craig. Ana de Armas yang diberi peran besar juga memanfaatkan ruang itu dengan bijak untuk bikin penonton mudah simpati padanya. Begitu pula nama-nama besar lain, meski ruang buat karakter mereka tidak punya porsi besar dalam naskah.
Toni Colette berhasil jadi menantu mata duitan yang menjengkelkan. Sebagaimana Jamie Lee Curtis berhasil memarodikan anak orang kaya ambisius yang cuma peduli pada kerlangsungan bisnis dan kelancaran kekayaan mereka. Chris Evan bahkan sangat meyakinkan jadi cucu konglomerat yang super menyebalkan, tapi percaya diri dengan kebebalannya.
Sebagai pemanis, sekaligus pesan moral yang membungkus Knives Out jadi whodunit yang tidak biasa, Johnson menyelipkan sindiran untuk para orang-kaya-mampus-kulit-putih di AS. Semua pesan itu ia pertunjukan dalam parodi anak-anak Harlan yang rakus memperebutkan warisan sang miliuner. Serta ketidakpekaan mereka pada imigran seperti Martha yang di ujung film ditimpa nasib untung.
Editor: Windu Jusuf