tirto.id - Sebuah iklan produk sabun kecantikan muncul pada situs e-commerce Cina Taobao yang menampilkan produk sabun. Sekilas tak ada yang berbeda dengan produk sabun yang dibalut kotak berwarna agak kecoklatan. Namun, bila dilihat lebih rinci, pembeda produk itu adalah bahan dasarnya yang berasal dari ASI. Sabun itu diklaim dapat memutihkan dan melindungi kulit. Benarkah demikian?
Beragam cara membuat sabun ASI dapat ditemukan dengan mudah di mesin pencari Google maupun YouTube. Produk sabun ASI yang sudah jadi juga sudah terpampang di beberapa situs jual-beli online dunia. Sebuah testimoni pemakai sabun ASI diungkapkan seorang perempuan Florida, Paula D'Amore, dari Greenacres. Paula juga meluncurkan Liquid Gold Soaps, sabun berbahan dasar ASI pada bulan Januari lalu, saat mengandung anak keduanya.
Ide tersebut muncul saat ia mengalami gatal di seluruh tubuh pada kehamilan pertamanya. Iseng-iseng, Paula membuat sabun ASI dari sisa persediaan susu ASI anaknya yang dicampur minyak kelapa, gliserin, dan bahan alami lainnya. Sabun tersebut telah diujicobakan pada keluarganya selama bertahun-tahun untuk obat beragam penyakit ringan seperti jerawat bayi sampai sengatan lebah. Hasilnya, menurut klaim Paula, cukup mujarab.
Paula kemudian melakukan komersialisasi sabun ASI. Para pelanggan yang ingin formula sabun, wajib mengirimkan ASI-nya sendiri sebagai bahan baku. Sabun ASI ini dijual Paula seharga $15 atau setara dengan Rp195 ribu per 3 bar. “Sabun pelembab dari ASI membuat perbedaan yang besar. Rasa gatal itu hilang dan kulit saya makin lembut,” kata Paula seperti ikutip dari usatoday.com.
Ia mengatakan, penjualan sabunnya makin laris karena pelanggan tak perlu khawatir terjangkit virus apapun. Sebab ASI yang digunakan jelas berasal dari pelanggannya sendiri, sehingga bisa juga digunakan oleh keluarganya.
“Ini bukan dari ASI saya. Ini ASI dari ibu-ibu dan sabun ini bisa dipakai sendiri oleh mereka atau keluarganya. Saya hanya menggunakan sabun saya sendiri bersama keluarga saya," katanya.
Pengalaman sejenis juga dirasakan Kimberly Gladman, seorang ibu tiga anak dari Ayr, Skotlandia. Kimberly memiliki penyakit eksim yang membuat ruam beberapa bagian tubuhnya seperti kaki, paha, dan lengan. Jika kambuh, rasa gatal dan perih menjangkiti tubuhnya, apalagi ketika terkena air.
“Saya amat membenci waktu mandi!”
Beragam jenis pengobatan telah dilakukan untuk menghilangkan eksimnya. Dokter biasanya memberikan salep steroid kepadanya, tapi setelah salep itu habis, maka ruamnya akan kembali kambuh. Hingga tiba di satu waktu, ia mencoba membuat sabun ASI dari sisa susu anaknya yang tertinggal di lemari pendingin dan ruamnya perlahan menghilang.
“Ini bekerja dengan baik, satu-satunya yang membantu adalah sabun ASI.”
Tidak Dianjurkan
Sejumlah orang memang mengklaim manfaat sabun ASI. Sayangnya, para dokter justru tidak menyarankan penggunaan sabun ASI. Selain karena beragam nutrisi yang terkandung bisa hancur saat diproduksi menjadi sabun, sabun ASI juga riskan menjadi perantara virus pada donor ASI yang masih aktif kepada konsumen. Apalagi bahan baku sabun ASI tak berasal dari konsumen sendiri.
Sosok ternama seperti Kim Kardashian pernah sekali waktu dalam acara E! TV show Kourtney & Kim Take Miami membocorkan satu rahasia. Ia mengaku memakai ASI saudaranya untuk mengobati sakit psoriasis yang dideritanya. Psioriasis merupakan penyakit peradangan kulit menahun yang umumnya ditandai dengan ruam memerah, kulit terkelupas, menebal, terasa kering, dan bersisik di bagian lutut, punggung bagian bawah, siku, atau kulit kepala.
Sejak saat itu, banyak orang beramai-ramai mengikuti jejak Kim memakai ASI untuk pengobatan penyakit kulit mereka, pun dengan membikin sabun dari ASI. Sayang, ternyata apa yang dinyatakan oleh Kim belum ada kajian ilmiahnya. Meskipun kolostrum - bentuk ASI yang mengandung antibodi - menunjukkan beberapa sifat penyembuhan kulit, ada dokter yang tak merekomendasikan sebagai pengobatan psoriasis.
“Mungkin ini disajikan hanya untuk hiburan televisi, tidak ada dasar ilmiah untuk perawatan ini,” kata Dr. April Abernethy, mantan direktur program medis di National Psoriasis Foundation.
Pernyataan Abernethy juga diperkuat oleh Maureen Groer, seorang profesor di College of Nursing di University of South Florida yang mengatakan fenomena penjualan produk ASI online dapat menciptakan situasi berbahaya. Para pembeli dapat terkena risiko paparan penyakit menular.
Groer yang menghabiskan sepanjang kariernya untuk mempelajari ASI ini menjelaskan, ada hal-hal lain yang harus dipertanyakan dalam penjualan produk ASI apapun secara online. Kebersihan pemompaan ASI adalah salah satunya, penyakit menular seperti hepatitis ataupun HIV serta virus lain sangat mungkin dapat tersebar melalui produk ASI. Belum lagi paparan obat jika donornya sedang dalam masa konsumsi obat-obatan.
“Pembeli tak mengetahui risikonya,” katanya.
Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat bahkan tidak mengatur penjualan produk ASI. FDA hanya mengingatkan agar tak membeli ASI dari internet karena tak terjamin.
Saat ASI diyakini memiliki khasiat pada kulit manusia, apakah tak sebaiknya mencari sumber lain dan mengutamakan ASI sebagai asupan makanan utama seorang bayi, daripada sekadar menjadikannya sebagai bahan baku produk perawatan kulit atau obat.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra