Menuju konten utama

Kisah Sanurip, Prajurit Kopassus Membantai Tentara & Sipil di Papua

Dua dekade lalu pernah terjadi insiden penembakan prajurit Kopassus terhadap para rekannya dan warga sipil di Papua, menewaskan 16 orang.

Kisah Sanurip, Prajurit Kopassus Membantai Tentara & Sipil di Papua
Prabowo dalam Operasi Mapenduma. FOTO/xaydungviet.info

tirto.id - Sanurip adalah anggota Batalyon 12 Grup 1 Para Komando (Parako) dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus), di Serang, Banten. Ia jadi spesialis penembak jitu (sniper). Usianya sekitar 36 tahun di awal 1996. Ia berpeluang jadi kapten, kala itu pangkatnya masih Letnan Satu. Bila kariernya moncer terus naik pangkat, ia bisa pensiun Letnan Kolonel atau Kolonel. Pada 1996, ia sudah menyandang sebagai pelatih tembak tempur.

Ketika tim peneliti Lorentz 1995—para peneliti yang berasal dari beberapa negara—disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kopassus bergerak termasuk Sanurip berangkat. Operasi ini dipimpin langsung oleh Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, Brigadir Jenderal Prabowo Subianto Djojohadikusumo.

Sanurip berada di sekitar landasan udara Mozes Kilangin, Timika pada 15 April 1996, atau sehari sebelum hari Ulang Tahun Kopassus ke-42. Pagi hari ia mulai beraktivitas di landasan udara, sementara kawan-kawan lainnya sedang memburu para penyandera. Namun, pagi itu jadi hari yang menjadi catatan kelam dunia militer di Indonesia. Ia menghabisi beberapa rekan satu baretnya dengan berondongan peluru.

Menurut cerita Brigadir Jenderal Amir Syarifudin, Kepala Pusat Penerangan ABRI, Sanurip pagi itu ditegur karena berisik. Namun, ia tak terima.

“Setelah menembaki rekan-rekanya, dia berlari keluar dari hanggar dan menembaki siapa saja yang ada di situ,” kata Amir, dikutip Kompas (16/04/1996).

Kenneth J Conboy, dalam Elite: The Special Forces of Indonesia, 1950-2008 (2008:44), mencatat sebanyak 52 butir peluru dimuntahkan dari senapan serbu yang ditenteng dan diberondongkan oleh Sanurip ke para korban. Sanurip pun dapat tembakan balasan dari prajurit lain di lokasi. Ia tertembak di kakinya, dan akhirnya berhasil dilumpuhkan.

Aksi nekat Sanurip ini makan korban, sebanyak 16 orang terbunuh. Di antara korban ada 11 anggota ABRI (kini TNI) termasuk Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Anti Teror (Gultor), Letnan Kolonel Infanteri Adel Gustimigo, dan Mayor Gunawan dan Kapten Djatmiko. Korban lainnya sebanyak 5 orang adalah warga sipil.

Kepala Staf Umum ABRI, Letnan Jenderal Soeyono, dalam biografinya, Bukan Puntung Rokok (2003:133) yang disusun Benny Siga Butar-butar, mengungkap ada perwira menengah yang sedang naik daun yang juga jadi korban. Juga ada warga sipil yang terbunuh bernama Michael Findlay, sebagai pilot Airfast.

Apa yang dilakukan Letnan Satu Sanurip itu adalah kejutan luar biasa. Hal ini membuat banyak pihak bertanya-tanya. Berbagai spekulasi pun muncul, mulai dari kena malaria, gangguan saraf, hingga dugaan stres yang menghinggapi Sanurip.

Para jenderal Orde Baru pun punya pendapat, antara lain menurut Soeyono, Sanurip melakukan tindakan itu “karena stres dan kecewa tidak diikutkan dalam beberapa gerakan operasi, pada suatu subuh dia nekat menembaki siapa saja yang dilihatnya di kawasan landasan lapangan terbang Timika.”

Sebagai pelatih berpangkat letnan, Sanurip tentu punya kader penembak jitu yang turun ke lapangan, dan Kopassus tentu punya banyak SDM. Ia harusnya terlatih untuk menerima kenyataan tidak diperintahkan ikut operasi saat itu. Mayor Jenderal Theo Syafii, seperti dikutip Kompas (16/04/1996), mengatakan “kalau memang dia seorang Letnan, benar-benar kejutan. Seharusnya dia sudah mampu menahan tekanan psikis yang dihadapinya.”

Usai kejadian tragis itu, Sanurip lalu dibawa ke Jakarta. Menurut catatan Benny Siga Butar-butar, dalam biografi Soeyono, ia mencatat Sanurip sulit diperiksa Polisi Militer. Tim pemeriksa kiriman Komandan Pusat Polisi Militer, Syamsu Djalal, tak bisa masuk ke Ksatriaan Kopassus untuk menemui Sanurip. Syamsu Djalal curiga Prabowo menyembunyikan sesuatu.

Prabowo sempat melemparkan pernyataan soal Sanurip. “Sanurip merupakan personel yang keadaan mental ideologinya harus dicurigai karena berasal dari keluarga yang tidak bersih lingkungan.” Di zaman Orde Baru, “bersih lingkungan” identik dengan keterkaitan dengan PKI, bukan karena adanya keterkaitan dengan OPM, karena yang dibunuh Sanurip sebetulnya yang membahayakan OPM.

Ketika HUT Kopassus dirayakan 16 April 1996, dan sandera berhasil dibebaskan pada 9 Mei 1996, Sanurip berada dalam tahanan. Berita yang beredar, Sanurip dihukum mati pada 23 April 1997. Sementara itu Soeyono dapat kabar, Sanurip bunuh diri.

Papua Medan Uji Para Tentara

Kasus Sanurip menggambarkan betapa beratnya prajurit saat bertugas di wilayah konflik. Apapun bisa terjadi, termasuk kena tembak dari rekan yang stres, dan bisa terbunuh karena peluru atau panah OPM. Ancaman ini juga pernah terjadi pada petinggi ABRI.

Brigadir Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, yang sedang jadi Panglima KODAM, pun pernah mengalaminya. Hendro Subroto dalam Perjalanan Seorang Wartawan Perang (1998:224) bercerita, “ketika Brigadir Jenderal Sarwo Edhie melakukan pengamatan dari udara dengan pesawat Twin Otter MNA, maka pesawat itu ditembak oleh gerombolan dan mengakibatkan kebocoran tangki bahan bakar.” Untung saja pesawat bisa mendarat dan selamat.

Infografik Bintang Kejora di tanah Papua

Wilayah Papua—yang sempat bernama Irian Barat lalu Irian Jaya—sudah menjadi daerah konflik sejak masuk wilayah Indonesia. Cerita soal Organisasi Papua Merdeka (OPM) beraksi menyerang aparat atau aksi aparat menangkap orang-orang yang dituduh OPM sudah jadi cerita lama berulang-ulang terjadi. Beberapa tahun terakhir, insiden penembakan terhadap aparat, pegawai tambang, pegawai proyek dan lainnya sudah biasa terjadi. Periode Oktober-Januari jadi momen sering terjadinya insiden bersenjata di Papua, ini karena berkaitan momen perayaan 1 Desember.

Kisah prajurit pulang tanpa nyawa seolah sudah biasa di Papua. Akademisi bidang politik dari Cornell University, Made Supriatma mengakui soal posisi Papua sempat jadi tempat "uji" bagi para prajurit. “Dulu the best and the brightest selalu diuji ke sana,” katanya kepada Tirto.

Bagi prawira yang sukses bertugas di Papua, kariernya bisa moncer. Ada nama Wismoyo Arismunandar, yang pernah jadi Panglima KODAM juga di Papua, kariernya tergolong yang benderang. Ia pensiun sebagai jenderal bintang empat dengan jabatan terakhir Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Juga ada Jenderal George Toisutta, yang sempat jadi Pangkostrad lalu KSAD. Ada juga perwira yang bersinar tapi tak pernah jadi KSAD, yaitu Prabowo Subianto yang memimpin pembebasan sandera tim peneliti Lorentz pada 1995.

Namun, selama konflik di Papua berlangsung, seringkali orang-orang sipil jadi korban, contohnya belum lama ini para pekerja proyek pembangunan jalan Trans Papua jadi korban konflik bersenjata.

Baca juga artikel terkait KASUS PENEMBAKAN DI PAPUA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra