tirto.id - dr Sriyanto Sp B, seorang dokter bedah di sebuah Rumah Sakit di Wonogiri menceritakan pengalamannya berjuang melawan virus corona Covid-19. Bersama anaknya, ia diisolasi selama 12 hari dari tanggal 18-30 Nov 2020.
"Alhamdulillah, saat ini kami berdua sudah sembuh dan dapat bernafas dengan lega. Bahkan saat ini kami sudah dapat beraktivitas seperti sedia kala," kata Sriyanto lewat keterangan resmi Satgas Covid-19 yang diterima Tirto, Jumat (4/12/2020).
Dalam kisahya itu, Sriyanto berbagi cerita tentang perjuangan antara hidup dan mati selama menjalani masa isolasi. "Sebuah pengalaman yang tak akan mungkin saya lupakan seumur hidup," ungkapnya.
Ia bersama anaknya menerima hasil swab pada 18 November 2020 dan dinyatakan positif Covid-19. Atas hal itu, mereka segera berangkat ke ruang isolasi di RS Moewardi, Solo
"Saya dan anak saya mengalami kondisi demam dan batuk. Sepanjang perjalanan antara Wonogiri ke Solo, tubuh saya terus menggigil," kata dia.
Di sisi lain, ayah mertuanya yang juga seorang dokter bedah terkena Covid-19 dan dirawat di ruangan ICU RS Karyadi Semarang. "Usianya yang sudah 78 tahun, menjadikannya sangat rapuh menghadapi serangan virus ini. Sudah ada total 8 orang dari keluarga kami yang positif COVID-19."
Saat di ruang isolasi, ia mengalami demam tinggi dan menggigil kedinginan, bahkan setiap 6 jam sekali harus mengkonsumsi obat pamol agar tidak menggigil. Pada hari keempat di isolasi, ia mulai batuk dan badan terasa sakit semua.
"Setiap bergerak juga batuk seperti ketika sholat yang banyak gerakan, dari ruku' ke sujud, atau dari sujud ke berdiri, maka otomatis akan batuk. Saya sangat tersiksa dan rasanya sulit sekali untuk bernafas lega."
Kondisinya semakin parah saat di hari keenam isolasi. Saat itu, ia tidak bisa merasakan indera penciuman. Bahkan tidak bisa mengunyah dengan baik. Nasi jatah makan pun terasa sangat keras.
"Saya berusaha mengunyah tapi gagal. Kerongkonganku terasa sangat sakit. Berkali-kali berusaha mengunyah nasi, tapi tak bisa sampai akhirnya saya muntahkan kembali nasi yang masih utuh itu."
Ia sampai protes ke bagian gizi rumah sakit karena merasa mereka tidak memasak nasi dengan benar. Namun, sebetulnya nasi tersebut lunak seperti biasa.
"Saya segera tersadar bahwa kondisi ini yang menyebabkan nasi terasa keras sehingga sulit untuk mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu. Virus ini mengganggu semua fungsi mulut dan tenggorokan."
Pada hari ketujuh, ia merasa batuknya semakin parah, ditambah dengan komorbid penyakit diabetes. "Memang, sudah dua tahun ini saya harus melakukan suntik insulin novomik. Saya hampir menyerah kalah. Beberapa sahabat juga berpikir demikian karena risiko orang yang diabetes terkena Covid-19 biasanya berujung kematian."
Akan tetapi, ia mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Dengan meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati COVID-19. Malam itu ia mendapat injeksi 1 kantong plasma.
Selain injeksi plasma, ia juga minta disuntik tosilizumab. Ia mendapatkan 1 tosilizumab dan merasa lebih baik. "Hanya selang 6 jam pasca suntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustasi."
Di hari kedelapan, ia mendapat injeksi plasma yang kedua kalinya. Setelah itu ia tertidur selama 12 jam. Seluruh badan terpasang alat ekg, oksigen 5 liter, dan infus 2 jalur. Seharian itu ia hanya tertidur. Begitu terbangun, badan terasa lebih ringan dan segar. Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun.
Memasuki hari kesembilan, demam sudah menghilang. Suhu tubuh normal meskipun tidak minum obat penurun panas. Batuk berkurang hingga 75 persen. Badan lebih ringan, hati juga bahagia. Terlewati sudah masa-masa kritis. Terlewati sudah pertarungan antara hidup dan mati. Di hari ini saya sudah bisa merasakan empuknya nasi, tidak keras lagi seperti kemarin.
"Alhamdulillah saya bersyukur sekali bisa mendapatkan tosilizumab dan plasma. Dari pengalaman masa isolasi kemarin, terbukti acterma dan plasma sangat cocok mengobati pasien COVID-19, bahkan yang memiliki komorbid diabates," ungkapnya.
"Saat ini kondisi saya sudah membaik dan sedang masa pemulihan. Begitu pula dengan anak semata wayang. Kami sudah pulang ke Wonogiri dan bahkan sudah bisa bersepeda di sekitar rumah."
Akan tetapi, kondisi ayah mertua tak dapat tertolong. Ia tak bisa bertahan dan menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 21 November 2020 dan dimakamkan secara protokoler COVID-19.
Editor: Agung DH