tirto.id - Pasukan Korea Selatan yang diterjunkan dalam Perang Vietnam melakukan serangkaian kekejaman terhadap warga sipil, yakni pembantaian, penyiksaan, dan pemerkosaan.
Organisasi hak asasi manusia dan sejarawan telah banyak mendokumentasikan hal ini, namun Pemerintah Korea Selatan membantahnya.
Bergabungnya pasukan Korea Selatan adalah bagian dari koalisi pimpinan Amerika Serikat yang mendukung Vietnam Selatan melawan kekuatan komunis Vietnam Utara.
Bagi Pemerintah Korea Selatan yang kala itu dipimpin Presiden Park Chung Hee, komitmen memperkuat aliansinya dengan Amerika Serikat bertujuan untuk mendapatkan bantuan ekonomi dan militer jangka panjang.
Pentingnya menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat didorong oleh kacaunya kondisi dalam negeri Korea Selatan pada dekade 1960-an.
Pengiriman pasukan ke Vietnam juga untuk membalas budi atas keberpihakan Amerika Serikat dalam Perang Korea. AS sepakat membayar pasukan Korea Selatan yang dikirim ke Vietnam sekitar 5 miliar dolar dalam bentuk gaji dan bantuan lain sejak 1965 hingga 1973.
Pada 1965, Korea Selatan mengerahkan White Horse Division yang terdiri dari sekitar 50.000 tentara. Besarnya jumlah pasukan menjadikannya kontingen asing terbesar kedua setelah Amerika Serikat yang terjun dalam Perang Vietnam.
Secara bertahap total pasukan yang dikirim ke Vietnam oleh Presiden Park Chung Hee mencapai 320.000 orang.
Salah satu peristiwa yang menerakan kebrutalan dan jejak darah adalah Pembantaian Binh Tai pada 1966. Para serdadu Korea Selatan membunuh lebih dari 400 warga sipil tak bersenjata di Desa Binh Tai.
Tragedi ini mendapat perhatian internasional dan memicu kemarahan publik sehingga menimbulkan seruan untuk penyelidikan lebih rinci.
Di kemudian hari, para ahli menemukan motivasi di balik kekejaman ini sebenarnya cukup rumit. Ada kemungkinan beberapa tentara didorong oleh anti-komunisme dan keinginan yang kuat untuk membasmi simpatisan Viet Cong.
Ada juga dugaan bahwa perlakuan sadis itu muncul karena mereka ingin melampiaskan rasa frustasi akibat luka mendalam yang didapatkan saat berada di bawah pendudukan Jepang.
Bantahan dan Pembuktian
Penyelidikan tentang kekejaman tentara Korea Selatan terhadap warga sipil Vietnam Utara menemui tantangan berat. Ini terjadi karena Perang Vietnam banyak dilakukan secara gerilya. Bahkan jumlah pasukan yang gugur atau bertempur di kantong-kantong perlawanan tidak diketahui dengan pasti.
Pasukan gabungan Korea Selatan dan AS mengklaim mereka kesulitan dalam memilah antara tentara musuh dengan warga sipil. Maka itu, laporan mengenai kekejaman yang terjadi di berbagai wilayah di Vietnam dianggap tidak presisi.
Meski demikian, sejumlah peristiwa pembantaian sebetulnya terdokumentasi dengan baik, yang mayoritas terjadi di wilayah dataran tinggi bagian tengah dan provinsi-provinsi pesisir. Di wilayah-wilayah itulah penyelidikan mengarah pada bermacam-macam metode penyiksaan yang digunakan.
Catatan itu menyebutkan bahwa dalam beberapa kasus, tentara menembaki warga sipil yang tidak bersenjata, sementara yang lain melakukan penyiksaan, pemerkosaan, dan bentuk kekerasan fisik lainnya. Pembantaian Ha My, misalnya, menewaskan lebih dari 135 warga sipil dan menjadi contoh paling terkenal dari kebrutalan yang dilakukan oleh pasukan Korea Selatan.
Ku Su Jeong, sejarawan terkemuka yang mengkhususkan diri dalam sejarah Vietnam, memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman publik mengenai Perang Vietnam dan kekejaman yang terjadi selama periode itu.
Pada 1990 ia menerima dokumen penting dari Kementerian Luar Negeri di Vietnam yang memberikan catatan rinci tentang kekejaman yang terjadi selama konflik. Dokumen ini menjadi landasan studi doktoralnya dan memungkinkannya untuk menyelidiki kisah-kisah yang rumit dan sering kali mengerikan mengenai dampak perang terhadap warga sipil Vietnam.
Di kemudian hari, komitmennya untuk mengungkap kebenaran terlihat melampaui penelitian akademisnya. Selama dua dekade, ia mendedikasikan diri untuk melakukan penyelidikan langsung dengan mengunjungi sejumlah desa di Vietnam. Ia melakukan sejumlah wawancara dengan para penyintas perang.
Hasil wawancara itu dirangkum dalam artikel berjudul "Beyond the Archives: Oral History and the Vietnam War" yang dimuat dalam Journal of Military History pada 2011.
Informasi yang dikumpulkan dari dokumen resmi dan sekian banyak kesaksian pribadi itu berperan penting dalam mengungkap kekejaman yang terjadi selama Perang Vietnam.
Kisah Nguyen Thi Thanh
Pada 12 Februari 1968, marinir Korea Selatan membantai warga Desa Phong Nhi di Provinsi Quang Nam, Vietnam Selatan.
Menurut dokumen militer AS, marinir Amerika dan milisi Vietnam Selatan yang beroperasi di Dien Ban, Provinsi Quang Nam, mendengar tembakan dan melihat gubuk-gubuk terbakar setelah ditinggalkan oleh marinir Korea Selatan.
Dari reruntuhan itu ditemukan Nguyen Thi Thanh, perempuan berusia 8 tahun. Ia mengatakan tentara menembak mati warga desa tanpa pandang bulu.
Nguyen Thi Thanh dan keluarganya melarikan diri ke tempat perlindungan bom bawah tanah. Ketika tentara memergoki mereka, keluarganya dipaksa keluar dan ditembak mati satu per satu.
Ibunya, dua saudara laki-laki, seorang saudara perempuan, dan seorang sepupu dihabisi. Sementara ia beruntung karena hanya tertembak di bagian pinggang.
"Saya berharap saya dibunuh bersama ibu saya kala itu karena kejadian itu sangat mengerikan bagi saya," kata Nguyen Thi Thanh dalam sebuah wawancara.
Pengalaman gadis 8 tahun itu menjadi perhatian publik. Kelompok masyarakat sipil, pengacara, hingga jurnalis Korea Selatan ikut menyelidiki. Pada 2015, ia dan seorang perempuan lain yang juga korban Perang Vietnam, menjadi penyintas pertama yang mengunjungi Korea Selatan untuk menceritakan kisahnya.
"Pembantaian Ha My dan My Lai terlalu tragis untuk para korban dan terlalu negatif bagi mereka untuk dimasukkan ke dalam kenangan akan nenek moyang mereka, namun kenangan itu terlalu nyata bagi warga desa," tulis Heonik Kwon dalam buku After the Massacre: Commemoration and Consolation in Ha My and My Lai (2006: 182)
Meski demikian, tidak ada Presiden Korea Selatan yang mengakui pembantaian yang dilakukan tentaranya terhadap warga sipil saat Perang Vietnam.
Saat berkunjung ke Hanoi pada 2018, Moon Jae-in, Presiden Korea Selatan saat itu, hanya menyatakan, "Penyesalan atas masa lalu yang tidak menguntungkan."
Pada 8 Februari 2023, pengadilan Korea Selatan memenangkan Nguyen Thi Thanh sekaligus menolak argumen pemerintah mengenai simpang siurnya data mengenai peran pasukan Korea Selatan dalam pembantaian di Desa Phong Nhi.
Keputusan tersebut menandai pertama kalinya pengadilan Korea Selatan menyatakan pemerintah bertanggung jawab atas pembunuhan massal warga Vietnam selama perang.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi