tirto.id - "Tidak usah meminta maaf, Kus. Pimpinlah negara dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini," begitu ucap Inggit Garnasih kepada Kusno, mantan suaminya.
Kusno yang dimaksud Inggit tidak lain adalah Sukarno, sang Presiden Republik Indonesia yang pertama. Kala itu di suatu hari pada 1960, Sukarno mendatangi rumah Inggit di Bandung untuk meminta maaf karena pernah melukai hati mantan istrinya tersebut.
Sukarno menikahi Inggit pada 24 Maret 1923, saat ia masih menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng, cikal-bakal Institut Teknologi Bandung (ITB). Jarak usia yang terpaut 13 tahun lebih muda tidak kuasa menghalangi rasa cinta Sukarno kepada Inggit.
Lantas, siapakah Inggit? Wanita ini adalah induk semang alias ibu kost yang menampung Sukarno semasa kuliah di Bandung.
Berawal Dari Cinta Terlarang
Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, pada 17 Februari 1888. Saat masih remaja, Inggit adalah kembang desa di kampungnya. Banyak lelaki yang berupaya mendekat untuk sekadar bisa mencuri perhatiannya.
Si bunga desa itu akhirnya dipersunting oleh Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Residen Priangan. Namun, pernikahan ini tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian.
Kemudian, Inggit menikah lagi. Seorang pengusaha yang juga aktif di organisasi Sarekat Islam bernama Haji Sanusi menyuntingnya. Pernikahan mereka baik-baik saja meskipun tidak bisa juga dibilang bahagia karena ia sering ditinggal suaminya yang terlalu sibuk. Hingga datanglah Sukarno.
Sukarno masih berumur 21 tahun saat tiba di Bandung. Ia melanjutkan kuliah ke kota kembang setelah lulus dari Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Ketika itu, Sukarno bukan lajang lagi. Ia punya istri bernama Siti Oetari yang tidak lain adalah putri kesayangan bapak kost-nya di Surabaya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Namun, rasa cinta Sukarno ada Oetari lebih condong seperti cinta kepada saudara. Sukarno sering berinteraksi dengan Inggit, apalagi mereka tinggal serumah, lalu terjadilah peristiwa di suatu malam itu.
"Pada awalnya kami menunggu. Selama beberapa bulan kami menunggu dan tiba-tiba dia berada dalam rengkuhanku. Ya, itulah yang terjadi,” tutur Sukarno kepada Cindy Adams seperti yang dikisahkan dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
“Aku menciumnya. Dia menciumku. Lalu aku menciumnya kembali dan kami terperangkap dalam rasa cinta satu sama lain. Dan semua itu terjadi selagi ia masih istri dari Sanusi dan aku suami dari Oetari," lanjutnya.
Dan akhirnya, Sukarno menceraikan Oetari, begitu pula dengan Inggit yang secara resmi berpisah dengan Sanusi. Keduanya lalu menikah di rumah orangtua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.
Setia Hingga ke Tanah Buangan
Inggit Garnasih adalah perempuan yang menyertai setiap jengkal kehidupan Sukarno dalam proses menuju pendewasaan dengan berbagai dinamikanya. Ketika Sukarno ditangkap di Yogyakarta pada 29 Desember 1929 dan dijebloskan ke Penjara Banceuy di Bandung lalu dipindahkan ke Sukamiskin, Inggit tidak pernah lelah memberikan semangat kepada suaminya itu.
Setiap menjenguk Sukarno di penjara, Inggit kerap kali menyelipkan uang di dalam makanan yang dibawanya agar Sukarno bisa membujuk penjaga untuk membelikannya surat kabar. Selama Sukarno dibui, Inggit juga menjadi perantara suaminya agar bisa terus berhubungan dengan para aktivis pergerakan nasional lainnya.
Untuk menulis pesan dari Sukarno, Inggit memakai kertas rokok lintingan. Inggit kala itu memang berjualan rokok buatan sendiri. Rokok yang diikat dengan benang merah khusus hanya untuk para relasi suaminya, yang di dalamnya berisi pesan-pesan dari Sukarno (Peter Kasenda, Bung Karno Panglima Revolusi, 2014).
Inggit juga sering membawakan buku-buku yang dibutuhkan Sukarno meskipun harus berhati-hati agar tidak ketahuan penjaga. Caranya, seperti yang dikutip dari buku Biografi Inggit Garnasih: Perempuan dalam Hidup Sukarno karya Reni Nuryanti (2007), Inggit berpuasa dulu selama beberapa hari supaya buku itu bisa diselipkan di perutnya.
Selama Sukarno menjalani pembuangan ke Ende, Flores, sejak 1933, lalu diasingkan lagi ke Bengkulu sedari tahun 1938, Inggit selalu setia menyertai. Nah, di sinilah Sukarno mengenal Fatmawati, seorang remaja putri yang manis, anak tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Ternyata Bukan Ibu Negara
Seiring kekalahan Belanda dan berkuasanya Jepang di Indonesia pada 1942, Sukarno dibebaskan dan dikirim ke Jakarta. Hingga akhirnya, Sukarno meminta izin kepada Inggit untuk menikahi Fatmawati.
"Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu. Merupakan keinginanku untuk menetapkanmu dalam kedudukan paling atas dan engkau tetap sebagai istri yang pertama,” ucap Sukarno (Cindy Adams, 1965).
“[… ] Jadi memegang segala kehormatan yang bersangkutan dengan hal ini, sementara aku dengan mematuhi hukuman agama dan dan hukuman sipil, mengambil istri kedua agar mendapatkan keturunan," imbuhnya.
Inggit tentu saja menolak untuk dimadu hingga Sukarno terpaksa menceraikannya meskipun bukan itu yang diinginkannya. Setelah hampir 20 tahun bersama melalui susahnya kehidupan, dari penjara hingga pengasingan, Sukarno dan Inggit akhirnya resmi berpisah pada pertengahan 1943.
Tanggal 1 Juni 1943, Sukarno menikahi Fatmawati. Usai Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 dan Sukarno menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pertama, Fatmawati-lah yang menjadi first lady alias ibu negara. Sementara Inggit tetap sendiri dan masih tinggal di Bandung.
Sukarno wafat di Jakarta pada 21 Juni 1970 setelah nyaris seluruh kekuasaannya dilucuti oleh Soeharto yang menggantikannya sebagai presiden. Begitu mengetahui Sukarno telah mangkat, Inggit langsung bergegas menuju ke Jakarta, ke Wisma Yaso, rumah duka mantan suaminya itu.
Di samping jasad Sukarno, Inggit berucap dalam bahasa Sunda diiringi isak tangis yang sedikit tertahan. "Kus, kiranya Kus mendahului, Inggit doakan...,” sampai di sini, kata-kata Inggit terhenti. Ia tak kuasa menahan kepedihan atas kepergian lelaki yang sangat dicintainya itu.
Inggit sudah sejak lama memaafkan Sukarno, seperti yang terucap saat pertemuan mereka di Bandung pada 1960 itu. Inggit memberikan maafnya juga kepada Fatmawati yang menemuinya pada 7 Februari 1984 dengan mediasi Ali Sadikin.
Kurang dari 2 bulan setelah perjumpaan penuh haru itu, Inggit meninggal dunia. Inggit Garnasih, istri terkasih Sukarno yang setia menyertainya dalam kondisi paling sulit sekalipun, wafat pada 13 April 1984, tepat hari ini 36 tahun lalu, dalam usia 96 tahun.
Editor: Maulida Sri Handayani