tirto.id - Dua tahun usai Jepang mengobrak-abrik Pearl Harbor, Paman Sam balik menyerang. Di bawah kepemimpinan Presiden Franklin D. Roosevelt, Amerika Serikat melakukan serangan militer balasan, mengambil alih kekuasaan Kepulauan Marshall dari tangan Jepang pada Februari 1944. Pada bulan yang sama, AS juga sukses menghancurkan benteng pertahanan Jepang di Kepulauan Truk Atoll dan Carolina. Meski demikian, dua kepulauan itu sesungguhnya bukan tanah Jepang, melainkan tanah yang diokupasi Jepang sejak Perang Dunia I. Maka itu, AS belum merasa puas.
Setahun kemudian, tepatnya pada 19 Februari 1945, di halaman paling depan The Boston Globe dilaporkan bahwa "Marinir Amerika Serikat, dalam kampanye netralisasi Perang Pasifik, telah mendarat di Iwo Jima." Informasinya didapat dari wartawan Associated Press (AP) yang tengah berada di Guam--tanah milik AS yang terletak 2.500 kilometer Timur Laut Manado. Mereka juga melaporkan bahwa "Iwo Jima sangat dekat dengan Tokyo, kira-kira berjarak 750 mil, dan terlebih pulau ini dikelola secara administratif langsung oleh prefektur Tokyo."
"Jika sukses mengambil alih Iwo Jima," tulis The Boston Globe, "merupakan batu loncatan bagi pasukan Amerika Serikat menuju Tokyo."
Namun, sebagaimana dikisahkan Keller Cushing Freeman dalam Shadow of Suribachi: Raising The Flags On Iwo Jima (1995), kabar yang disiarkan The Boston Globe--juga media-media AS lainnya--hanya sebatas teks, tanpa foto untuk memperkuat cerita. Padahal, militer AS telah mengikutsertakan fotografer ke Iwo Jima seperti halnya AP yang juga mengirimkan pewarta foto.
Alasan mengapa media-media di AS tidak menyertakan foto dalam berita mendaratnya militer mereka di Iwo Jima, adalah karena keterbatasan waktu. Untuk menghasilkan foto dari medan tempur di sekitaran Pasifik, film yang dipotret fotografer harus diterbangkan ke Guam untuk diproses dan ditransmisikan ke AS. Proses ini kira-kira memakan waktu dua hari.
Tanpa foto untuk memperkuat cerita, terlebih beritanya hanya kisah pendaratan dan bukan kemenangan, tibanya militer AS di Iwo Jima direspons biasa saja oleh publik AS. Namun, peristiwa itu akhirnya berbalik menjadi kisah yang sangat luar biasa melalui tangan Joe Rosenthal, fotografer AP yang ikut serta ke Iwo Jima.
Mendongkrak Pemasukan Pemerintah AS
Joseph John Rosenthal merupakan putra dari keluarga imigran asal Rusia. Ia lahir pada 9 Oktober 1911 di Washington DC. Pertemuan pertamanya dengan kamera terjadi tatkala ia berumur 12 tahun. Kala itu, sejumlah kupon dari toko rokok yang diperoleh bapaknya, ia tukarkan dengan kamera. Seketika, Rosenthal jatuh cinta dengan alat perekam cahaya tersebut. Dalam obituari yang ditulis Richard Goldstein untuk The New York Times, Rosenthal mulai menjadi fofografer profesional pada 1932, saat ia diterima sebagai reporter cum fotografer di The San Francisco News. Tak lama berselang, Rosenthal bergabung dengan The Associated Press danmenjadi fotografer di biro San Francisco.
Meskipun bahagia menjadi seorang fotografer, hati kecil Rosenthal berseru bahwa ia seharusnya menjadi tentara. Pada awal keikutsertaan AS di Perang Dunia II, Rosenthal akhirnya melamar untuk menjadi seorang marinir. Namun, karena memiliki masalah dengan pandangan mata, ia diberi surat "4-F" oleh militer AS, yang artinya tidak diterima. Tak puas, Rosenthal kembali melamar, tetapi bukan untuk menjadi tentara melainkan sebagai juru foto tentara. Usahanya berhasil. Ia ditugaskan militer AS untuk memotret konvoi militer di lautan Atlantik. Pada 1944, Rosenthal kembali bergabung dengan AP. Karena ia berpengalaman bersama militer, lembaga pers tersebut mengirimnya terbang ke Pasifik, memotret tentara AS yang tengah berperang.
Rosenthal yang membawa kamera Speed Graphic, mendarat di Iwo Jima pada 19 Februari 1945 bersama sekitar 70.000 tentara AS. Di sana, sekitar 21.000 tentara Jepang siap menyambut dengan pertempuran. Pasukan yang jauh lebih banyak dan bantuan tembakan dari pesawat AS yang terbang mengelilingi Iwo Jima, membuat Paman Sam sukses mengamankan sebagian besar wilayah pesisir Iwo Jima di hari pertama. Dengan catatan, keberhasilan itu ditukar dengan "jumlah korban jiwa yang sangat menakutkan," tulis Keller C. Freeman dalam Shadow of Suribachi: Raising The Flags On Iwo Jima (1995).
Meskipun berhasil mengamankan sebagian besar wilayah Iwo Jima, kembali merujuk Freeman, "tidak ada sukacita yang tampak di raut para prajurit, terlebih di tengah publik AS." Bagi masyarakat AS, "pertempuran Iwo Jima tidak menghibur." Ini terjadi tak lain karena, kembali merujuk ke awal tulisan, tidak ada foto yang disertakan dalam berita-berita terkait Iwo Jima.
Bagi militer AS, kemenangan memang mutlak didapatkan dalam suatu pertempuran. Namun, karena kelangsungan hidup mereka berada di tangan para wajib pajak, dukungan publik pun harus dimenangkan. Suatu pertempuran yang "tidak menghibur" publik AS adalah masalah besar.
Untunglah, kesuksesan militer AS mengamankan sebagian besar wilayah Iwo Jima disertai dengan keberhasilan mereka mengamankan Gunung Suribachi, titik tertinggi di Iwo Jima, pada 23 Februari 1945. Ketika Kompi E Batalion ke-2 mencapai puncak Suribachi pada pukul 10.30, mereka segera mengibarkan bendera AS. Seketika, raut muram yang ditunjukkan militer AS berganti dengan sukacita. Bagi mereka, peristiwa itu memiliki makna simbolis dan strategis.
Namun, pengibaran bendera itu menggunakan bendera berukuran kecil, yang akhirnya gagal terlihat di seluruh wilayah Iwo Jima. Gagal terlihat oleh seluruh pasukan militer, entah AS ataupun Jepang. Peristiwa itu juga gagal diabadikan melalui kamera. Sersan Louis Lowery, fotografer Angkatan Laut AS yang ikut ke puncak, dihujani peluru tentara Jepang hingga kameranya rusak. Tahu bahwa peristiwa pengibaran bendera di puncak Suribachi sangat penting, Divisi 5 memutuskan melakukan pengibaran ulang dua jam kemudian dengan bendera yang lebih besar. Dan beruntung, Joe Rosenthal tiba di puncak Suribachi tepat pada waktunya.
Rosenthal berhasil memotret peristiwa pengibaran bendera AS di tanah Jepang pada 23 Februari 1945, tepat hari ini 76 tahun lalu. Potret itu berjudul "Raising the Flag on Iwo Jima". Menurut Freeman, Rosenthal "menghasilkan foto terhebat dari perang ini dan, mungkin, dari perang apa pun." Dalam laporan Bill Newcott untuk National Geographic, usai pemotretan tersebut, Rosenthal meminta 16 tentara AS berpose di sekitar bendera dan kembali memotretnya sebagai cadangan jika foto yang pertama gagal.
"Sungguh perasaan yang luar biasa!" kenang Bill Montgomery--salah satu dari sedikit marinir yang tiba di Iwo Jima pada hari pertama pertempuran dan selamat sampai akhir pertempuran--melihat potret pengibaran bendera tersebut.
Kembali merujuk buku yang ditulis Freeman, peristiwa pengibaran bendera itu kemudian diberitakan oleh media-media AS. Namun lagi-lagi tidak ada foto yang diikutkan dalam pemberitaan. The Boston Herald, misalnya, memilih melengkapi berita soal pengibaran bendera dengan foto yang dikirim sebelumnya, yakni potret proses penggalian lubang perlindungan di Iwo Jima. Begitu pula The Washington Post dan The New York Times. Berita besar tersebut akhirnya tak menjadi sesuatu yang berarti bagi publik AS.
Dua hari kemudian segalanya berubah. Foto "Raising the Flag on Iwo Jima" yang dipotret Rosenthal selesai diproses AP di Guam dan dikirim ke AS. Seketika, media-media AS memublikasikannya dan mendeklarasikan kemenangan AS di tanah Jepang. Tak tanggung-tanggung, Newsweek memberi judul "Victory on Iwo: The Flag Goes Up on Mount Suribachi."
Foto "Raising the Flag on Iwo Jima" tentu bukanlah tanda kemenangan sesungguhnya bagi AS. Setelah foto itu tersebar, pertempuran di Iwo Jima tak surut. Malah menurut laporan Newcoot, bertahan hingga satu bulan kemudian dan memakan lebih dari 26.000 jiwa tentara AS. Namun, kekuatan foto tersebut memang tak bisa disepelekan, khususnya di tengah publik AS. Dukungan dari masyarakat membanjir. Pemerintah AS sukses memperoleh uang senilai $3,5 juta, hasil dari berjualan Surat Utang Negara pada masyarakat. Rosenthal, beberapa bulan kemudian, diganjar penghargaan Pulitzer--Oscar bagi kalangan jurnalis.
Kontroversi
Di sisi lain, foto "Raising the Flag on Iwo Jima" mengundang kontroversi. Foto karya Rosenthal itu dianggap hanya rekaan, bukan peristiwa sesungguhnya. Salah seorang yang meragukannya adalah Sersan Louis Lowery, si fotografer Angkatan Laut. Bagi Lowery, "Raising the Flag on Iwo Jima" terlalu sempurna. Namun, merujuk arsip The New York Times tanggal 16 November 1991, tuduhan Lowery merupakan kekecewaannya semata. Sebagai fotografer resmi militer, ia gagal memotret peristiwa penting tersebut.
Dalam buku yang ditulis Freeman, tuduhan bahwa foto "Raising the Flag on Iwo Jima" bukan peristiwa sesungguhnya alias rekaan juga dipatahkan. Alasannya, dalam foto tersebut semua pihak yang terekam tidak ada satu pun yang menghadap kamera. Dan dengan alasan ini pula, bertahun-tahun militer AS sukar mengidentifikasi siapa sesungguhnya enam orang yang terpotret itu.
Pada versi pertama, Pemerintah AS yakin bahwa sosok yang terpatri dalam foto "Raising the Flag on Iwo Jima" adalah--diurutkan dari kiri ke kanan--Prajurit Satu Ira Hayes, Prajurit Satu Franklin Sousley, Dokter Ketentaraan John Bradley, Sersan Michael Strank, Prajurit Satu Rene Gagnon, dan Sersan Henry Hansen.
Tapi kemudian pemerintah merevisinya dengan menyebut bahwa bukan Sersan Henry Hansen yang ada di foto tersebut, melainkan Kapten Harlon Block. Pada 2016, revisi dilakukan lagi, kali ini dengan memasukkan nama Prajurit Satu Harold Schulzt, tetapi entah untuk menggantikan prajurit yang mana. Dan pada 2019, militer menyebut Prajurit Satu Rene Gagnon bukanlah sosok yang terlibat dalam foto itu, melainkan Kapten Harold P. Keller.
Yang lebih membingungkan, penulis buku--yang kemudian dibuat film oleh Clint Eastwood--Flags of Our Fathers (2000), James Bradley (anak John Bradley), yakin bahwa sang ayah tidak ada dalam potret tersebut.
Editor: Irfan Teguh Pribadi