Menuju konten utama

Ki Gendeng dan Rasialisme di Kancah Musik Metal Indonesia

Ki Gendeng Pamungkas ditangkap polisi karena ujaran kebencian yang mengandung SARA. KGP dikenal sebagai paranormal dan penyelenggara acara musik metal. Pada 2015, ia pernah dituding menyebarkan kebencian terhadap etnis Cina melalui kaos yang ia sebar gratis. Apakah isu rasialisme dan radikalisme memang ada di kancah musik metal Indonesia?

Ki Gendeng dan Rasialisme di Kancah Musik Metal Indonesia
Ki Gendeng Pamungkas. Facebook/KGP

tirto.id - Ki Gendeng Pamungkas (KGP) ditangkap polisi di kediamannya, Selasa (9/5). Paranormal ini ditangkap karena tuduhan penyebaran kebencian berdasar Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA). KGP dianggap melanggar UU RI Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Pemicunya adalah video KGP yang beredar di dunia maya. Video ini bisa ditengok di situs video seperti Youtube. Di video berdurasi 55 detik, KGP mengenakan topi pet warna hitam, jaket abu-abu dengan emblem bertuliskan Fight Against Cina! di bagian kanan, dan kaus hitam bertuliskan Front Pribumi. Di video itu, KGP berulang kali menyerukan perlawanan terhadap Cina, Cinaisasi, dengan imbuhan kata semisal keparat. Polisi menyita barang bukti 1 ponsel, jaket dengan tulisan Fight Against Cina!, 1 topi front pribumi, dan 67 kaus dengan tulisan anti Cina.

Bagi beberapa penggemar musik, terutama metal, kiprah rasisme KGP sudah tidak mengejutkan. Paranormal yang tinggal di Bogor, Jawa Barat ini memang sering mengadakan acara musik metal. Acara ini bahkan mengundang bintang tamu dari luar negeri. Pada 2015 silam, KGP menghelat acara Brutalize in The Darkness di Bogor. Acara ini mengundang band black metal asal Norwegia, Gorgoroth, dan band death metal Belanda, Disavowed. KGP juga mengundang band-band lokal seperti Kejawen, Dajjal, Burgerkill, serta Down for Life. Tiketnya dibanderol murah, hanya Rp25 ribu. Semua tampak akan berjalan baik-baik saja. Hingga KGP menulis status di Facebooknya.

"Ada 50 kaos anti-Cina untuk kalian dan akan diserahkan 10 Mei 2015 di Stadion Pajajaran Bogor. Kabar ini akan dihapus 10 Maret 2015 pk.00:00!!! Tks."

Dari sana, kontroversi menggelinding. Donny Anggoro, penulis yang bermukim di Jakarta, menggagas petisi di situs Change.org, menuntut pemerintah atau lembaga HAM menyeret KGP karena dianggap menyebarkan hasutan dan kebencian terhadap etnis Cina. Selain itu, Down for Life dan Burgerkill memutuskan mundur dari acara ini.

"Maaf kami tidak bisa ikut dengan pergerakan anti ras tertentu. Metal yang kami percaya adalah musik yang tidak peduli ras dan latar belakang penggemarnya," tulis akun Burgerkill di Twitter.

Kala itu KGP mengaku ia difitnah oleh beberapa pihak yang tidak suka pada dirinya. Ia menambahkan kalau dirinya gagap teknologi, dan status yang ditulis di akunnya itu telah dipelintir. "Saya tulis ingin memajukan musik metal di Bogor. Saya bikin konser besar, undang band mahal dengan tiket murah tanpa sponsor, tapi malah dirisak dengan menyebarkan hal tidak benar. Pasti ada yang sirik," katanya.

Meski KGP dulu menyangkal, kini ia sudah tak bisa mengelak.

Infografik Ki Gendeng Pamungkas

Asriat Ginting, personil band Insan Sesat juga pernah punya pengalaman dengan simpatisan KGP. Suatu saat pada 2015, Asriat dan band-nya manggung di kafe Red Box. Setelah usai, seorang simpatisan KGP menyodorkan gelang oranye bertuliskan Front Pribumi dan K666MF. Asriat langsung menolak memakai gelang itu.

"Ya enggak mungkin saya pakai ini, ibu saya Cina kok," kata Asriat pada si pemberi, setengah geli.

Isu agama dan rasisme di kancah metal Indonesia sebenarnya sudah terdengar sejak lama. Menurut Wendi Putranto, jurnalis dan metalhead veteran di Jakarta, ia sudah mendengar isu rasisme yang berkelindan di KGP sejak era 90-an. "Cuma waktu itu kampanyenya tidak langsung terang-terangan, tapi lewat isu anti parpol," kata Wendi.

Isu agama juga masuk ke ranah metal di Indonesia sejak akhir 2009 atau awal 2010. Saat itu ada gerakan yang disebut metal 1 jari, alias One Finger Movement. Metal 1 jari adalah sebutan untuk musik metal yang membawa isu agama dan tauhid dalam musiknya. Salah satu pelopornya adalah Hariadi Nasution, alias Ombat, vokalis Tengkorak. Satu jari merujuk pada salam satu jari telunjuk, yang menunjukkan keesaan Allah SWT. Mereka enggan memakai meloik, salam universal metal yang dianggap sebagai simbol setan.

Ombat dan kawan-kawannya membentuk Tim Pengacara Muslim. Ombat pernah membela Muhammad Jibril yang diduga menjadi perantara kasus terorisme Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton tahun 2009 silam. Ombat juga masuk dalam tim pengacara pembela Abu Bakar Ba'asyir.

Pada 2010, Wendi dan beberapa kawan metalhead lain menggelar acara Metal Untuk Semua. Waktu itu tujuannya adalah melawan isu terorisme dan rasisme di kancah metal. "Kredo acara ini adalah, gerakan musik metal yang terbuka untuk semua golongan, suku, agama, ras, genre musik, dan pilihan keyakinan pribadi, serta menolak segala bentuk kekerasan dan terorisme," kata Wendi.

Menurut Wendi, apa yang dilakukan oleh KGP memang merupakan usaha membangun basis massa untuk kampanye rasisme. Kebetulan, anak KGP punya band black metal, Kejawen. Kampanye KGP bisa dibilang lumayan berhasil, terutama massa akar rumput. Anak-anak muda penggemar metal dengan bangga dan santai memakai kaos Front Pribumi. KGP juga mengunggah kaus-kaus bernada rasis di akun Facebook-nya. Kaus ini nantinya dijual di acara-acara musik metal yang ia selenggarakan.

Beberapa kaus yang ia unggah bertuliskan sama di bagian depan, yakni Front Pribumi. Di bagian belakang, ada tulisan semisal "Hebat Gak Ngebabu Dgn Olang Cina", "Awas Bahaya Poros Cina Jakarta!", "Semakin Cina Negara Ini!", hingga "Gonta Ganti Presiden Yang Enak Olang Cina!". Beberapa kawan di Facebook KGP juga tertarik ingin membeli kaus ini.

Penyebaran kampanye rasisme dan juga radikalisme amat sangat mungkin dilakukan di kancah musik dan dunia populer. Penyebarnya berupaya mencari medium yang dekat dengan dunia anak muda. Tujuannya tentu untuk mencari basis massa anak-anak muda. Karena itu Wendi berpendapat bahwa penggemar musik, juga musisinya, harus lebih melek tentang isu rasisme dan juga radikalisme yang disisipkan di acara-acara musik.

"Kalau sekiranya ada hate speech terjadi di panggung konser, langsung aja laporkan ke polisi dan aparat keamanan. Untuk band-nya juga harus cerdas ketika menerima tawaran dari acara rasis seperti ini. Jangan hanya lihat duitnya saja, tapi enggak sensitif dengan isu negatif yang dihembuskan," ujar Wendi.

Baca juga artikel terkait KI GENDENG PAMUNGKAS atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti