tirto.id - Ketua Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) Sutjiadi Lukas menilai adanya ketidaktepatan dalam penerapan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-IND/PER/11/2013 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) Mainan Secara Wajib di lapangan.
Menurut Lukas, meskipun pemberlakuan SNI itu wajib namun peraturan tidak bisa dikenakan kepada perseorangan. Lukas mengatakan pihak yang wajib memenuhi dan menerapkan SNI ialah pengusaha yang telah berbadan hukum.
“Lagipula untuk itu [mengurus SNI] harus melalui proses panjang, minimal tiga minggu. Di samping perlu adanya sampel untuk pengujian, yakni sebanyak 8 buah untuk mainan non-elektronik, dan 14 buah untuk yang elektronik,” kata Lukas saat dihubungi Tirto via telepon pada Minggu (21/1/2018) pagi.
Lebih lanjut, Lukas menilai kesalahan prosedur itu karena masih rancunya aturan soal mainan di Indonesia. Lukas menyatakan bahwa pemerintah perlu menentukan definisi dari mainan itu sendiri, sehingga proses penertiban di lapangan bisa lebih efektif dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan oknum tertentu.
Lukas lantas mencontohkan bahwa sekarang ini gantungan kunci yang ada bonekanya bisa jadi disebut mainan apabila dijual di toko mainan, padahal, gantungan kunci itu sebetulnya tak lebih dari sebuah aksesoris. “Bukan berarti kami tidak setuju dengan SNI. Karena di negara lain juga ada standarnya seperti itu,” ucap Lukas.
“Tapi kalau satu atau dua buah, sebetulnya tidak perlu SNI. Lagipula mainan yang dimiliki kolektor seperti itu biasanya memang bukan mainan untuk anak-anak,” tambahnya.
Selain memakan waktu yang relatif lama, mengurus SNI juga ternyata memerlukan biaya yang tidak sedikit. Berdasarkan pernyataan Lukas, untuk memenuhi kewajiban SNI rata-rata diperlukan biaya sekitar Rp7 juta.
“Belum ditambah biaya lainnya. Karena barang harus didaftarkan dulu ke Kementerian Perindustrian, lalu ke lembaga sertifikasi produk, uji laboratorium, ambil sampelnya untuk kemudian diuji kembali, barulah kalau lolos sertifikasi mendapatkan nomor registrasi kepabeanan,” jelas Lukas.
Oleh karena itu, Lukas berharap agar pemerintah dan pengusaha bisa berdiskusi lebih lanjut untuk membahas tentang definisi maupun pengklasifikasian mainan. Sehingga bisa ditemukan solusi agar kolektor mainan tidak terbebani dengan kewajiban SNI karena membeli maksimal tiga buah dan nilainya tidak lebih dari 500 dollar AS.
Kontroversi kewajiban SNI pada mainan impor ini mencuat setelah beredarnya video tentang pemusnahan mainan atas inisiatif sendiri akibat barang yang tertahan melalui Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Bengkulu. Melalui akun Facebook resmi mereka, Direktorat Jenderal Bea Cukai mengklaim pemilik barang tidak bisa menunjukkan dokumen yang diminta sehingga barang tidak bisa dirilis.
Direktorat Jenderal Bea Cukai mengatakan barang ditahan bukan karena instansi mereka, melainkan ketentuan tentang SNI mainan dari Kementerian Perindustrian. “Sehingga atas pernyataan biaya sebesar Rp7-8 juta bukan merupakan pungutan oleh bea cukai, karena atas barang tersebut sesuai ketentuan bebas pungutan bea masuk dan pajak impor,” demikian menurut keterangan resmi mereka.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Dipna Videlia Putsanra