tirto.id - Hamka telah dikenal luas sebagai cendekiawan Islam dan pengarang roman ternama seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wicjk. Namun sebetulnya Hamka juga seorang penulis sejarah. Cukup banyak karya tulisnya yang membahas sejarah Islam dan sejarah Indonesia. Menariknya, beberapa karangannya tentang sejarah bersifat gugatan, terutama gugatan atas penulisan sejarah Indonesia.
Apa yang digugat Hamka ialah penulisan sejarah Indonesia yang dinilainya sangat Jawasentris. Ia melihat sejumlah bahaya yang terkandung dalam penulisan narasi sejarah Indonesia yang Jawasentris ini.
Pada 17 Januari 1957, tak lama setelah Dewan Banteng didirikan, saat gejolak di Sumatera kian intens, Hamka menulis sebuat artikel berjudul "Tinjaulah Sejarah (Penulisan Sejarah)” di surat kabar Haluan. Dalam artikel yang kemudian dibukukan oleh Gusti Asnan dalam Demokrasi, Otonomi, dan Gerakan Daerah: Pemikiran Politik Orang Minang Tahun 1950-an ini, Hamka melihat, selain persoalan pembagian ekonomi yang tidak adil, gejolak di daerah juga ikut dipicu oleh penulisan sejarah Indonesia yang tidak adil.
“Di dalam buku-buku sejarah yang ‘diakui’ oleh pihak pendidikan, lebih diutamakanlah ‘Sejarah Jawa’ di zaman purbakala. Kalau hendak mengetahui ‘Sejarah Indonesia’, hendaklah didahulukan Jawa, hendaklah dikaji sedalam-dalamnya tentang Majapahit. Hendaklah disanjung tinggi Gajah Mada dan Hayam Wuruk," tulis Hamka.
Sementara itu, protes Hamka, dalam buku-buku sejarah untuk anak sekolah, sejarah daerah seperti sejarah panjang Kerajaan Aceh justru hanya ditampilkan sekilas “...paling banyak 5 lima lembar”.
Gajah Mada yang diagungkan sebagai pahlawan pemersatu Nusantara, di banyak daerah di luar tanah Jawa justru dilihatnya sebagai “penanam dendam”. Majapahit yang digambarkan sebagai sistem pemerintahan yang ideal, bagi daerah, lanjut Hamka, adalah simbol penaklukan.
Hamka kemudian memperingatkan bahwa, “selama sejarah Indonesia masih dipusatkan di Jawa, sampai 200 atau tiga 300 halaman, sedang sejarah seluruh kepulauan Indonesia di Luar Jawa—termasuk Batam dan Cirebon—hanya 30 atau 40 halaman, selama itu pula rasa tidak puas seluruh daerah tidak akan dapat dihalangi."
Gugatan kembali diajukan Hamka dalam artikelnya-artikelnya yang terhimpun dalam Dari Perbendaharaan Lama (1963). Artikel-artikel dalam buku itu berasal dari serial tulisan Hamka mengenai sejarah Islam dan Indonesia di Mingguan Abadi dari tahun 1950-1960. Di sini ia mulai melihat hubungan tidak sehat antara penulisan sejarah Jawasentris dengan pembentukan identitas nasional Indonesia.
Masa-masa ketika Hamka melontarkan gugatan-gugatannya, yaitu antara 1950-1965, memang dikenal sebagai masa-masa pemantapan identitas nasional dengan narasi sejarah sebagai salah satu instrumen pentingnya.
Hamka sendiri menyadari bahwa suatu “sejarah kebangsaan” dibutuhkan sebagai landasan persatuan bagi bangsa yang baru terbentuk dan tengah bergolak itu. Namun menurut Hamka, nasionalisme atau kebangsaan yang diasalkan pada sejarah kebesaran Majapahit malah akan merusak persatuan.
Jika sejarah nasion Indonesia yang diisi oleh berbagai kebudayaan diasalkan pada Majapahit dan sejarah Indonesia yang ditulis menonjolkan sejarah dan kebudayaan Jawa, maka akan muncul pertentangan-pertentangan karena tiap-tiap budaya punya pahlawan-pahlawan dan kebanggaan tersendiri.
Pengagungan Majapahit yang berlebihan juga akan mendorong munculnya sentimen agama. Saat mencari sebab-sebab kemunduran kejayaan Majapahit, orang dengan mudah akan menuduh Islam sebagai sebabnya. Saat itu menurut Hamka sudah ada kalangan yang “berkata bahwa keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Islam."
Bagi Hamka, nasion Indonesia yang diasalkan pada Majapahit, meski terlihat megah, tapi rapuh di dasarnya. Selain berpotensi menjadi cikal bakal “hitler-isme”, menurutnya, kurun sejarah kejayaan Majapahit adalah kurun yang penuh pertentangan antara orang Indonesia sendiri. Jika ini digali-gali terus, maka perpecahanlah yang akan timbul.
Karenanya persatuan macam itu dapat terpecah dengan gampang, baik karena konflik Internal antar daerah-daerah dalam kesatuan itu, maupun oleh intervensi dari pihak luar yang memanfaatkan kerapuhan tersebut.
Sejarah “...kebangsaan yang demikian, dapatlah memecah persatuan yang telah kita capai dan kemerdekaan yang ada di tangan kita," tulisnya.
Visi Hamka Atas Sejarah Indonesia
Selain menggugat, Hamka turut punya cara pandang berbeda terhadap sejarah kebangsaan Indonesia.
Berbeda dengan narasi sejarah Indonesia Jawasentris yang dilihatnya hendak me-Majapahit-kan Republik Indonesia, Hamka melihat bahwa nasion Indonesia adalah sesuatu yang sifatnya modern. Ia lahir dalam zaman modern di abad ke-20 yang pada gilirannya melahirkan masyarakat serta sistem pemerintahan yang modern pula.
Pandangan tersebut tergambar kuat dalam karya Hamka lainnya, yaitu Sedjarah Umat Islam di Sumatera (1950). Meski buku kecil ini secara khusus membahas proses masuk dan berkembangnya Islam di Sumatera, tapi secara umum narasi yang dibangun Hamka mengembang ke soal yang lebih luas: proses pembentukan bangsa Indonesia yang modern, serta peran sentral Islam dalam proses tersebut.
Bangsa Indonesia dalam pandangan Hamka lahir di masa-masa yang disebut Hamka sebagai “kebangunan gerakan Islam”, di paro kedua abad ke-20. Masa-masa ini ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi pergerakan Islam modernis yang bersifat lintas budaya lintas geografis. Jawa dan Sumatera yang berbeda secara budaya dan terpisah secara geografis, dipersatukan oleh semangat kebangkitan Islam di bawah kepeloporan “kaum muda”.
Organisasi-organisasi dan sekolah-sekolah modern yang didirikan kaum muda di seluruh Hindia Belanda, menyediakan dasar bagi terbentuknya bangsa Indonesia. Ia juga semacam inkubator tokoh-tokoh pemimpin pergerakan nasional yang kelak memimpin Indonesia menuju kemerdekaan.
“Kebangunan Gerakan Islam di Indonesia” sendiri ditempatkan Hamka sebagai bagian tidak terpisahkan dari gerakan pan-Islam di tingkat global. Sebagian kaum muda adalah para sarjana yang baru saja kembali dari menuntut ilmu di Mekah pada awal 1900-an, di saat gagasan pembaharuan Islam tengah menggelora di dunia Islam, terutama Mesir dan Turki.
Dengan kata lain, Hamka melihat sejarah bangsa Indonesia sebagai bagian dari gerakan pembaharuan Islam di dunia.
Secara hati-hati Hamka menyamakan gerakan kaum muda dengan Renaisans di Eropa. Kemajuan Eropa dilihat sebagai keberhasilan pembaruan di dalam cara berpikir, dari ketundukan terhadap otoritas lama yang macet ke cara berpikir baru yang modern dan maju.
Ini bisa dinilai sebagai upaya Hamka untuk mengontraskan antara Majapahit, yang sering digambarkannya secara implisit sesuatu yang kuno dan kolot, dengan Indonesia sebagai nasion-state yang baru dan modern.
Gugatannya dan visinya atas penulisan sejarah Indonesia ini, seperti ditulis James Rush dalam Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern (2017:251) merupakan bagian dari suatu Adicerita.
“...di mana Indonesia, suatu negara modern, bakal bersatu di sekeliling nilai-nilai dan ajaran Islam."
Penulis: Randi Reimena
Editor: Nuran Wibisono