tirto.id - Video klip lagu itu dimulai ketika seorang lelaki menaiki motor dan menggendong tas. Ketika akan masuk rumah, seorang anak perempuan menghadangnya dengan pandangan murka. Di sofa, duduk seorang perempuan yang memangku seorang bayi. Si anak perempuan mendorong si lelaki sembari sesekali berkacak pinggang. Dia kemudian mengusir si lelaki yang ternyata adalah bapaknya. Mulailah si anak perempuan ini bernyanyi.
"Bapakku kawin lagi. Aku ditinggalin. Aku sakit hati. Ibuku diduain. Ibuku minta cerai, tapi dipukulin. Bapakku pengkhianat, ibuku dibohongin."
Lagu berjudul "Lelaki Kerdus" itu sedang ramai dibahas banyak orang. Mulai dari para pengguna media sosial, pemerhati anak, hingga Lembaga Perlindungan Anak Indonesia. Lagu ini dianggap tidak senonoh karena lirik yang "kasar", "tidak mendidik", hingga "tidak senonoh" dan tidak sesuai untuk lagu anak.
Sudah banyak suara sumbang yang mengatakan betapa kasihannya anak di era sekarang: dianggap tak punya lagu yang mewakili semangat zaman anak-anak yang riang dan gembira. Memang ada beberapa lagu anak, cuma tidak seramai dan tidak sepopuler dulu. Cukup menyedihkan, mengingat musik anak pernah menempati posisi penting dalam budaya populer di Indonesia.
Sejarah Lagu Anak di Indonesia
Pernah ada satu masa di mana lagu anak menempati posisi sejajar dengan musik pop Indonesia lain. Menurut Budi Warsito, pengelola rumah buku Kineruku yang juga pengarsip musik, musik anak di Indonesia bisa dilacak jauh ke belakang. Di era pencipta lagu anak legendaris semisal Ibu Sud, Pak Kasur, Bu Kasur, dan masih banyak lagi.
Secara industri, musik anak bisa dibilang sudah ada sejak era gramofon, yakni sekitar dekade 1950-an. Budi kemudian menunjukkan salah satu koleksinya: sebuah plat gramofon rilisan Irama. Ada beberapa lagu anak yang populer hingga sekarang. Seperti "Roda Tiga" dan "Naik Dilman" ciptaan Pak Kasur.
"Nah, sepertinya ada 'ledakan' baru ketika anak-anak musisi beken mulai nyanyi dan direkam. Seperti Chica Koeswoyo dengan lagu 'Helly'," kata Budi.
Lagu "Helly" yang dinyanyikan Chica dirilis pada 1975. Lagu itu sekaligus mengangkat nama Chica, anak Nomo Koeswoyo dari grup Koes Bersaudara, sebagai artis cilik. Dia merekam beberapa buah album. Pengaruh terbesar dari Chica adalah munculnya generasi penyanyi cilik yang punya orang tua musisi.
Setelah Chica, muncul nama-nama seperti Adi Bing Slamet (anak Bing Slamet), Bobby Sandhora (anak Titiek Sandora), Santi Sardi (anak Idris Sardi), hingga Debbie Rhoma Irama (sudah tahu kan siapa bapaknya). Selain itu ada pula Ira Maya Sopha, Dina Mariana. Diana Papilaya, hingga Puput Novel.
Budi menganggap musik anak tak kalah berkualitas dengan musik pop atau jazz sekalipun. Dia memberikan contoh Jack Lemmers, musisi jazz legendaris yang juga ayah Indra Lesmana, sempat pula mengaransemen beberapa lagu anak di akhir 1950-an atau awal 1960-an.
Salah satu hasilnya adalah album Balonku yang dinyanyikan oleh Endi dan Adi Karso. Sampul piringan hitamnya berwarna biru muda dengan anak-anak yang memegang empat balon dan satu balon yang meletus, disaksikan tiga anak lain tertawa. Lagu yang paling dikenal tentu "Balonku". Hanya saja aransemennya berbeda sama sekali. Di bagian intro, diawali suara gitar renyah dan kering dengan ketukan drum serta alunan piano yang rancak. Rock n roll!
Di situs arsip musik lawas Nusantara, iramanusantara.org juga bisa ditengok banyak lagu anak-anak yang diaransemen dan ditulis dengan piawai. Bukti bahwa pada zaman itu pun, musik anak digarap dengan serius. Lirik boleh saja jenaka dan riang. Tapi coba tengok irama dan langgam yang anggun.
Salah satu yang layak didengarkan adalah album Padang Bulan yang dibawakan oleh Orkes Kelana Ria Bersama Langen Gita. Album rilisan 1962 ini berisi 12 lagu dolanan yang dibawakan secara modern. Lagu "Sluku2 Batok" misalkan, dinyanyikan dengan pendekatan harmonisasi vokal dan irama Hawaiaan.
"IRAMA ingin mentjoba selera anak² dan orang² tua mendengarkan lagu² dolanan tersebut dengan tingkahan alat² musik modern dalam irama² jang disukai umum dewasa ini. Barangkali ini adalah jang pertama sekali dalam sedjarah perekaman lagu kanak² Djawa jang sampai sekarang belum pernah dilakukan. Dengan tjara begini lagu² ini akan lebih mudah dipeladjari dan lambat laun akan dapat pula turut dinjanjikan oleh anak² suku bangsa Indonesia lainnja," begitu yang ditulis di dalam kata pengantar album.
Budi menyukai lagu-lagu anak di era 50 hingga 70. Karena itu, pengoleksi ribuan piringan hitam ini juga mengumpulkan banyak artefak musik dan majalah yang memuat lagu-lagu anak era itu. "Lagu anak dekade 1950-an itu lebih sophisticated," kata Budi. "Dan lagu anak ini pernah jadi ladang kreasi juga. Musisi sekaliber Jack Lemmers saja mau mengulik lagu anak."
Lagu anak kemudian sempat mengalami masa surut di era 80-an. Kemudian kembali bergairah di era 90-an dengan banyaknya lagi penyanyi anak. Mulai Trio Kwek Kwek, Joshua, Tasya, hingga Sherina. Sayang, menurut Budi, pencapaian mereka masih kalah secara artistik dengan lagu anak era 50 hingga 70.
Sebenarnya anak kecil mendengarkan lagu dewasa bukan hal aneh. Budi ketika kecil juga mendengarkan lagu dari Beatles yang notabene bukan lagu anak-anak. Budi bukan satu-satunya, apalagi jika punya orang tua yang suka musik. Saya sendiri tumbuh dengan mendengarkan Beatles dan Pink Floyd, dua band kesukaan ayah saya, juga Guns N Roses dan Motley Crue yang dipengaruhi oleh om saya.
"Tapi pola dengar tanpa visual di zaman kita ini pasti beda banget output-nya dengan pola dengar yang dibombardir visual-visual edan tanpa kontrol seperti televisi dan internet," kata Budi.
Situs Wired pernah membuat video menarik tentang hal ini. Judulnya adalah "The Effect of Music on a Child's Brain". Pertanyaan pertamanya saja menggelitik: Ketika aku lebih memutarkan lagu Led Zeppelin ketimbang The Wiggles, apakah aku mengganggu tumbuh kembang anakku yang berumur 2 tahun? Jawabannya: selama anakmu tidak melihat gambar sampul Led Zeppelin, otak anakmu akan baik-baik saja. Semacam teori bahwa pengaruh visual lebih besar dampaknya ketimbang pengaruh oral.
Lagu Anak Era Kini
Setelah era Joshua dan Sherina berakhir, rasa-rasanya belum ada lagi lagu anak yang menarik, apalagi di skala industri. Musik anak dianggap kurang menjual. Kalaupun ada, musik anak digarap jauh dari kata serius. Terkesan sekadar ada. Padahal di Amerika Serikat atau Inggris, label-label besar serius merilis album-album apik untuk anak. Seperti Beatles for Kids, atau seri Rockabye Baby! Lullaby Renditions of ... yang menggarap ulang lagu-lagu dari band legendaris. Mulai Led Zeppelin, Red Hot Chili Peppers, Beatles, hingga Nirvana.
Justru lagu anak segar di Indonesia muncul dari musisi-musisi muda yang jauh dari industri besar. Iksan Skuter, musisi asal Malang, pernah merilis album Kecil Itu Indah dalam bentuk kaset. Isinya adalah lagu dolanan Jawa yang diaransemen ulang. Menarik dan menyenangkan.
Ada pula Irfan Drajat, gitaris dan vokalis dari band pop folk asal Yogyakarta, Jalan Pulang. Dia pernah merilis lagu berjudul "Pistol Gajah", sebuah fabel tentang hewan yang bekerjasama mengusir pemburu nakal.
"Awalnya aku iseng saja. Awalnya dari menulis fabel untuk anak-anak," kata Irfan.
Dari cerita-cerita hewan untuk anak itu, Irfan mencoba menulis lagu anak. Maka terciptalah "Pistol Gajah" yang sangat ceria dan menyenangkan untuk didengar itu. Aransemennya pun digarap dengan serius. Dia mengajak beberapa rekan musisi, seperti Hengga Tyasa, Indra Agung, dan Randy Surya.
Irfan mengakui ada kesusahan lebih dalam menulis lagu anak. Terutama di departemen lirik. Belum lagi dia harus membangun suasana riang dan ceria yang notabene lekat dengan imej anak-anak.
"Suaraku malah sepertinya tidak cocok dengan lagu anak. Seperti tidak bisa membawa suasana riang," kata Irfan tertawa kecil. Tapi Irfan tetap jalan terus. Dalam waktu dekat dia rencananya menggarap sebuah paket lengkap: buku dongeng, musik, dan ilustrator. Lagu "Pistol Gajah" banyak dipuji. Liriknya merangsang imajinasi anak-anak akan dunia hewan. Bahkan lagu yang menurut Irfan adalah hasil iseng ini masih lebih baik ketimbang lagu-lagu anak era 90-an.
"Kalau aku mendengarkan lagu dan liriknya Irfan, aku jadi optimis kalau kita itu bisa membuat lirik lagu anak yang bermutu, imajinatif, namun tetap logis dan waras," kata Budi Warsito.
Menurut Budi, lagu anak memang seharusnya tidak sekadar main bebunyian aneh biar nempel di ingatan pendengar. Tidak pula pakai lirik kontroversial seperti KDRT, mama minta cerai dan dipukuli.
"Itu sih teror!"
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti