Menuju konten utama

Kerja Keras agar Krisis Listrik Tak Melanda Indonesia

Tanpa upaya keras, negara ini berpotensi menghadapi krisis listrik di masa mendatang.

Kerja Keras agar Krisis Listrik Tak Melanda Indonesia
Sejumlah mahasiswa Fakultas Tehnik Universitas HaluOleo (UHO) Kendari membakar obor dan menerbangkan lampion untuk memperingati Hari Listrik Nasional (HLN) ke-71 di pelataran eks MRQ Kendari, Sulawesi Tenggara. ANTARA FOTO/Jojon

tirto.id - Wajah-wajah haru, mata yang berkaca-kaca, dan tetesan air mata menghiasi rona muka para siswa kelas III SMPN 2 Simpang Katis, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung. Hari ini (27/10/2016), sekolah mereka untuk kali pertama bisa tersambung dengan aliran listrik PLN, setelah 10 tahun semenjak berdiri. Lokasi sekolah yang terpencil terhalang oleh perkebunan dan pertambangan membuat jaringan listrik tak mudah menyapa kegiatan belajar mereka.

"Selama ini kami menggunakan genset,” kata Kepala Sekolah SMPN 2 Simpang Katis, Latifah

Para siswa ini termasuk yang masih beruntung, karena kini sudah bisa menikmati listrik meski hanya dari genset atau listrik PLN. Di sejumlah wilayah Indonesia, masih banyak yang belum bisa menikmati akses listrik.

Listrik masih menjadi persoalan besar meski perusahaan listrik pertama sudah didirikan sejak 71 tahun silam. Tonggaknya berawal dari Penetapan Pemerintah No. 1 tanggal 27 Oktober 1945 dengan dibentuknya Jawatan Listrik dan Gas. Sejak itu, 27 Oktober kemudian diperingati sebagai Hari Listrik Nasional.

Infografik Hari Listrik Nasional

Realitas dan Tantangan

Pembangunan ketenagalistrikan di Indonesia sebenarnya terus dilakukan. Tingkat keterjangkauan akses listrik (rasio elektrifikasi) secara nasional setiap tahunnya terus meningkat. Data Kementerian ESDM, tingkat rasio elektrifikasi secara nasional pada 2005 masih 62,1 persen, pada 2013 melonjak jadi 80,51 persen, hingga Agustus 2016, rasio elektrifikasi mencapai 89,53 persen. Pada akhir 2019 ditargetkan sudah menyentuh 97 persen.

“Selain target pemerataannya juga harus jalan, bukan rasio elektrifikasi dibagi nasional nanti akan dapat kurang atau lebih nah ini yang menjadi tantangan tersendiri buat PLN,” kata Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Masih banyak daerah di Indonesia yang rasio elektrifikasinya jauh di bawah rata-rata nasional. Sebagai contoh, rasio elektrifikasi di Papua baru mencapai angka 47 persen. Hingga Mei lalu, sedikitnya ada 4.000 kampung di wilayah Papua belum tersentuh listrik.

“Saya mau 2019 elektrifikasi sudah 90 persen," kata Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi memang cukup ambisius ingin melakukan pemerataan pembangunan di Papua, termasuk di bidang kelistrikan. Pekan lalu, orang nomor satu di Indonesia ini meresmikan 6 infrastruktur kelistrikan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat senilai Rp989 miliar. Tak cukup sampai di situ, pemerintah melalui PLN sedang membangun pembangkit baru dengan kapasitas total 253 MW tersebar di 13 titik di Papua dan Papua Barat, transmisi sepanjang 246 km dan 8 gardu induk dengan nilai investasi Rp7 triliun. Seluruh proyek tersebut ditargetkan selesai pada 2019.

Penambahan infrastruktur di Papua ini tentunya akan menambah total kapasitas listrik secara nasional. Berdasarkan laman presidenri.go.id, hingga 2016, kapasitas pembangkit listrik terpasang yang sudah beroperasi sebesar 55.528,8 MW. Angka ini sudah meningkat sebesar 2.496,8 MW sejak Oktober 2014.

Targetnya, dengan adanya program listrik 35.000 MW yang diluncurkan sejak Mei 2015 lalu, maka pada akhir 2019 total pembangkit yang terpasang bisa mencapai 90.528,8 MW atau ada tambahan 63 persen dari saat ini. Persoalannya, kecepatan pembangunan infrastruktur sering kalah cepat daripada pertumbuhan permintaan listrik secara nasional, yang tahun ini diperkirakan bertambah sebesar 7.000 MW atau rata-rata tumbuh 8,7 persen per tahun.

Untuk merealisasikan 35.000 MW bukan perkara mudah, dengan pembangunan 291 pembangkit, 732 transmisi, dan pembangunan 1375 unit gardu induk, yang nilai investasi sekitar Rp1000 triliun lebih. Pada masa lalu, di internal pemerintah sempat terjadi silang pendapat soal optimisme capaian program ini. Setelah berjalan setahun lebih, realisasinya memang masih belum aman. Bila dibagi rata selama empat tahun, semestinya setiap tahun ada 8.700 MW pembangkit yang sudah siap beroperasi. Namun, membangun pembangkit butuh waktu setidaknya 2-3 tahun.

“Kemajuan peningkatan kapasitas ketenagalistrikan melalui program 35.000 MW dan 7.000 MW sangat baik. 4.133 MW telah Commercial Operation Date (COD)/Sertifikat Laik Operasi (SLO). Kemudian 12.317 MW dalam tahap konstruksi, dan 10.481 MW tahap pengadaan,” kata Jonan.

Pemerintah memang masih harus kerja keras, tak hanya berkutat pada mencapai target elektrifikasi, tapi juga tambahan pasokan listrik yang terus meningkat. Presiden Jokowi sempat mengkhawatirkan Pulau Jawa dan Bali akan mengalami krisis listrik bila tambahan pasokan 21.000 MW meleset dari target beberapa tahun mendatang.

"Kalau kita lihat kebutuhan Jawa-Bali masih 21.000 MW kebutuhan yang sangat besar yang harus segera dikejar, harus segera dipercepat pelaksanaannya karena kalau tidak, 2019 akan ada kekurangan listrik di Jawa-Bali," kata Jokowi.

Merealisasikan ketersedian listrik salah satu tugas pemerintahan Jokowi yang terberat dari sekian program-program besarnya. Program ini jauh lebih rumit, karena berkaitan dengan persoalan perizinan, pembebasan lahan, tata ruang, pendanaan, kesiapan investor swasta termasuk PLN dan sebagainya.

Apapun tantangannya, jangan sampai beberapa tahun ke depan anak-anak Indonesia harus menangis karena tak ada listrik seperti yang terjadi pada Venezuela yang mengalami krisis listrik parah. Anak-anak Indonesia cukup meneteskan air mata bahagia karena listrik telah masuk ke rumah dan sekolah-sekolah mereka, termasuk bisa leluasa menikmati listrik di Hari Listrik.

Baca juga artikel terkait LISTRIK atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Mild report
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti