tirto.id - Nasib PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) akan ditentukan pada tanggal 3 November 2018, sejak maskapai dinon-aktifkan pada Februari 2014 dan merumahkan sekitar 1.500 karyawan.
Saat ini, maskapai Merpati sedang dalam proses restrukturisasi usaha, dengan kepemilikan utang Rp10,3 triliun dan kondisi pesawat yang sudah berusia tua.
Direktur Utama, PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) Henry Sihotang menyebutkan, masa penundaan kewajiban pembayaran utang selama 270 hari. Hal itu berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan).
"Kan UU membatasi PKPU sampai 270 hari atau sampai November tanggal 3, masih bisa jalan atau tidak bisa lebih awal (pemulihan) atau enggak," ujar Henry di Komplek DPR Jakarta pada Senin (16/7/2018).
Pada 2 Juli 2018 lalu, kata Henry, PT MNA sudah menetapkan 1 calon mitra yang diutamakan. PT PPA akan mendampingi PT MNA dalam memproses pencarian mitra strategis yang telah dilakukan pada April-Juni 2018.
Henry mengatakan, proses dialog tersebut sudah berjalan lama. "Pas Dahlan Iskan [Menteri BUMN] ada investor gathering. Ada 100-an pemain pesawat yang hadir. Setelah itu, untuk menindaklanjuti siapa yang mau dalami ayo one on one. Waktu itu ada 11 yang menindaklanjuti diskusi, terus ini [calon mitra yang diutamakan] di antara 11 itu," ungkapnya.
Ia menyebutkan investor tersebut kemungkinan berasal dari dalam negeri dan akan menggandeng perusahaan dari luar negeri, untuk memberikan modal usaha kepada perusahaan plat merah agar dapat bangkit lagi.
Henry mengatakan, nilai kebutuhan investasi tidak jauh dari beban utangnya. Kendati demikian, Henry masih merahasiakan mengenai detail perusahaan investor tersebut.
"Jangan dulu karena ini belum terlalu confirm, terlalu indah proposalnya untuk yang kondisnya kayak gini. Nanti kami kayak omong kosong, jadi kita lihat saja proses hukum berlaku, kan masih harus minta persetujuan pengadilan. Tapi, kalau udah diputuskan pengadilan namanya udah di publik," ujarnya.
Penetapan investor masih harus menunggu persetujuan pengadilan. Untuk kemudian, diajukkan ke DPR. "DPR mau enggak dilakukan, kalau iya ya jalan," ucapnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto