tirto.id - Seperti nyala lampu merah di perempatan, konflik di Tanah Papua terus berulang. Setiap muncul, masalah itu seperti hanya disapu ke dalam karpet. Seolah selesai. Padahal justru berlipat ganda. Dendam, trauma, teror, intimidasi yang terwariskan dari konflik tak sudah-sudah itu memicu kekerasan baru lainnya.
Aktor konflik itu pemerintah Indonesia di Jakarta yang menggerakkan TNI dan Polri di Papua. Sedangkan lawannya, gerilyawan pro kemerdekaan Papua yaitu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Aparat Indonesia menembaki sipil hingga pendeta dan menuduh mereka sebagai separatis. Begitu juga dengan TPNPB-OPM, membunuh sipil dengan tuduhan petugas aparat Indonesia.
Neles Kebadabi Tebay menegaskan, akar pertikaian pihak Jakarta dan Papua adalah konflik ideologi. Dia merupakan Imam Projo Keuskupan Jayapura. “Kebadabi” yang menjadi nama tengahnya, diberikan saat penahbisan imamatnya, artinya dalam bahasa Mee ialah “yang membuka pintu atau jalan”. Dia kerap dipanggil Pater Neles atau Pastor Neles.
“Konflik ini mengakibatkan rasa saling curiga dan tak percaya. Ada korban nyawa karena konflik ini, masyarakat sipil menjadi korban. Brimob dan tentara juga,” kata Pater Neles dalam sebuah diskusi.
Indonesia merebut Papua sejak 1 Mei 1963. Selisih 18 tahun dari deklarasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Anesksasi itu dilakukan dengan penuh paksaan. Orang Papua yang menolak ikut pemerintahan Indonesia, dicap separatis. Mereka disiksa, dibunuh, dihilangkan. Pater Neles memaparkan soal itu dalam buku West Papua: The Struggle for Peace with Justice (PDF), terbit Mei 2005. Sebagian kecil catatannya tentang pembunuhan terhadap rakyat Papua, amat mengerikan (hlm 9-10).
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur di Abepura itu berujar, penindasan pemerintahan Indonesia itu memunculkan perlawanan dari OPM sejak 1965. Mereka tak terorganisasi dengan rapi dan sulit dilacak. Namun memiliki kesamaan misi soal tuntutan Papua merdeka.
Usai menuntaskan program doktoral bidang misiologi di Universitas Kepausan Urbania Roma, Pater Neles menganggap, satu-satunya persepsi yang sama dari kedua kubu yang bertikai: menjadikan Papua tanah damai.
Target memunculkan perdamaian abadi di Papua itu, kata Pater Neles, harus diperjuangkan bersama-sama melalui dialog Jakarta-Papua. Konsep Pater Neles soal dialog itu menembus Istana Negara, didengar oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).
Seperti "Merebus Batu"
Theys Hiyo Eluay melalui Presidium Dewan Papua (PDP)--organisasi masyarakat kesukuan di Papua yang mengadopsi prinsip Nieuw Guinea Raad (NGR)--merupakan pelopor dialog Jakarta-Papua. PDP menggelar Kongres Papua II--forum besar yang memutuskan nasib Bangsa Papua--di Jayapura pada tahun 2000. Salah satu rekomendasi kongres itu: dialog jalan bermartabat.
Tetapi kemudian, kata Pater Nales dalam sebuah diskusi, “Ketuanya (Theys) dibunuh dan yang lainnya dipenjarakan.”
Pater Neles menuturkan, hingga awal tahun 2009, dialog Jakarta-Papua merupakan kata yang tabu. Orang takut untuk ucapkan. Dialog selalu ditafsirkan identik dengan tuntutan Papua merdeka, separatis, makar.
Hingga akhirnya LIPI menerbitkan buku penelitiannya tentang konflik Papua yaitu, Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future terbitan Pustaka Obor tahun 2009. Salah satu rekomendasinya: dialog sebagai pendekatan damai untuk memutus siklus konflik Papua.
Namun berat. Sekretaris Jenderal PDP Thaha Alhamid mengibaratkan dialog Jakarta-Papua sama saja dengan "merebus batu". Melihat yang sudah-sudah, susah untuk percaya kepada pemerintah Indonesia.
Salah satu penelitinya, Muridan, mendatangi dan berdiskusi dengan Pater Neles, bagaimana dialog Jakarta-Papua itu bisa terjadi tanpa pertumpahan darah? Pater Neles lalu merancang konsepnya dan menerbitkannya dalam buku berjudul Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, diterbitkan SKP Jayapura tahun 2009. Pater Neles menjelaskan soal ini dalam memoarnya terkait Muridan yang dibukukan Komunitas Bambu, Mei 2014, dengan judul Muridan, Kita, dan Papua: Sebuah Liber Amicorum.
Ada dua pihak yang bertikai, bahkan hingga kini. Pemerintah Indonesia ngotot “NKRI harga mati”. Di sisi lain, orang Papua, terutama TPNPB-OPM dan ULMWP menegaskan merdeka atau referendum harga mati. Dalam konsep yang dirancang Pater Neles, dialog Jakarta-Papua merupakan titik temunya.
Titik itu menghormati prinsip kesetaraan, keadilan, kebenaran, dan menjunjung tinggi martabat manusia.
Bagi Pater Neles, kedua belah pihak mesti keluar dari kotak "harga mati" versinya masing-masing. Dialog Jakarta-Papua bukan ajang saling menjatuhkan. Kerangka acuan dialog pun harus disepakati bersama antara kedua belah pihak. Ini demi memberikan ketentraman dan rasa keadilan bagi keduanya.
Kedua belah pihak memiliki aparatnya masing-masing. Ada TNI dan Polri. Di Papua, terdapat TPNPB-OPM, Tentara Republik West Papua (TRWP), dan sebagainya. Masing-masing pihak harus memberikan jaminan keamanan. Tentu agar orang dapat terlibat dalam dialog tanpa merasa takut diintimidasi atau diteror.
“Mereka para gerilyawan TPNPB yang bergerilya di hutan, itu salah satu kelompok aktor. Mereka perlu dilibatkan [dalam dialog Jakarta-Papua],” jelas Pater Neles dalam diskusi yang digelar Papua Lawyers Club.
Begitu juga orang Papua yang saat ini berada di luar negeri. “Mereka pergi karena ada konflik, ada masalah. Mereka perlu dilibatkan,” lanjutnya.
Untuk mempertebal dialog Jakarta-Papua yang inklusif, Pater Neles dan Muridan membentuk Jaringan Damai Papua (JDP). Adriana Elisabeth, pimpinan JDP saat ini pernah menyebut, Pater Neles dan Muridan seperti sayap kiri dan kanan. Pater Neles bertugas mengorganisasi orang-orang asli Papua. Sedangkan Muridan bertugas di Jakarta.
Era SBY sampai Jokowi: Tak Ada Batu yang Matang
Sebanyak 13 tokoh Sinode Papua berdialog dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu presiden, di Wisma Negara, Jakarta, Rabu (1/2/2012). Salah satu di antara mereka ialah Pater Neles.
Dalam pertemuan itu, SBY sepakat penuntasan masalah Papua melalui dialog. Namun ada empat hal yang harus jelas terlebih dahulu, yaitu: tujuan, agenda, format, dan mekanisme dialog.
Para tokoh Papua itu langsung menggelar pertemuan tiga hari untuk merumuskan permintaan SBY. Mereka juga berhasil menyepakati pokok-pokok pikiran tentang dialog Jakarta-Papua.
“Tujuan: Satu, menjadikan Indonesia sebagai negara demokratis, modern, dan beragam. Dua, menjadikan Papua sebagai tanah damai. Tiga, membangun sikap saling percaya antara pemerintah pusat dengan orang asli Papua,” terang Peter Neles dalam sebuah diskusi.
Sedangkan format dialog, lanjut Pater Neles, perlu disepakati oleh pemerintah pusat dan masyarakat Papua.
Di sisi lain, Pater Neles terus mengirimkan opininya tentang dialog Jakarta-Papua untuk dimuat beberapa media nasional. Berbagai artikel opini itu dibukukan Interfidei tahun 2011 dengan judul Angkat Pena Demi Dialog Papua. Untuk menindaklanjuti gagasan buku itu, Interfidei menerbitkan buku lain, yakni 100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua (2013). Pada tahun yang sama, 2013, Pater Neles menerima penghargaan The Tji Hak Soon justice and Peace award dari Seul, Korea Selatan.
JDP juga menggelar Konferensi Perdamaian Tanah Papua yang dihadiri lebih dari 500 tokoh. Pertemuan dengan tema "Mari Kitong Bikin Papua Jadi Tanah Damai" itu digelar di Universitas Cenderawasih, Jayapura, pada 5 hingga 7 Juli 2011. Konferensi itu meneguhkan, dialog sebagai sarana terbaik untuk mencari solusi penyelesaian konflik antara orang asli Papua dan pemerintah Indonesia.
Namun semua berlalu begitu saja. JDP terus menyelenggarakan berbagai kegiatan di Jakarta hingga Papua untuk memperluas jaringan dialog Jakarta-Papua. Hingga era SBY berakhir, berganti Joko Widodo (Jokowi).
Pada awal masa kepemimpinannya sebagai presiden, Jokowi dan istrinya mengunjungi Papua. Saat itu ada momentum besar: perayaan Natal yang selalu meriah di Papua. Jokowi memboyong 5.262 aparat gabungan TNI-Polri ke Papua untuk menjaga kunjungannya.
Pater Neles mendekati Jokowi melalui kunjungan presiden ke Papua itu. Jokowi mendengar masukan Pater Neles soal dialog Jakarta-Papua, Minggu (28/12/2014). Dalam pertemuan itu, Jokowi didampingi Menkopolhukam, Tedjo Edhy Purdijatno.
Pater Neles memotret kunjungan singkat Jokowi. Dia terpukau. Di kolom opini Kompas, ia menganggap Jokowi merupakan harapan terselenggaranya dialog Jakarta-Papua.
“Ajakan Presiden ini memberikan harapan bagi rakyat Papua bahwa akan ada komunikasi politik yang dibangun pemerintah untuk melibatkan orang Papua yang masih bergerilya di hutan dan yang hidup di luar negeri dalam membangun Papua yang damai-sejahtera,” ujarnya.
Pertemuan baru terjadi lagi tiga tahun kemudian, yakni pada Selasa (15/8/2017). Sebanyak 14 tokoh agama dan masyarakat Tanah Papua diterima Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. Mereka dipimpin Ondowafi Kampung Nafri-Jayapura George Awi. Sedangkan yang presentasi dalam pertemuan itu ialah Pater Neles.
Dalam presentasinya, Pater Neles menegaskan ulang, konflik di Papua bisa diselesaikan melalui dialog antara kedua pihak yang bertikai. Jokowi menyepakati paparan itu dan menunjuknya untuk mempersiapkan dialog Jakarta-Papua. Sayangnya, keputusan Jokowi itu tak dituangkan dalam aturan tertulis.
Pater Neles mengirimkan penjelasan soal pertemuan itu ke suarapapua.com, Selasa (5/9/2017). Dia membeberkan, bentuk dialog Jakarta-Papua yang disetujui Jokowi ialah “dialog sektoral”. Masing-masing dialog akan fokus terhadap sektor tertentu seperti pendidikan, kesehatan, kehutanan, perkebunan, pertambangan, perikanan, dan lainnya. Mereka perlu merancang tujuan, target, moderator, dan notulen dari dialog sektoral.
Jokowi menunjuk Pater Neles, Teten Masduki yang saat itu Kepala Staf Kepresidenan, dan Wiranto yang saat itu menjabat Menkopolhukam untuk mengurus “dialog sektoral”.
Istilah “dialog sektoral” memantik protes dari kalangan orang asli Papua. Kritik keras bermunculan. Masalah jadi kembali ke penegasan awal Pater Neles: Jakarta harus keluar dari kotak “NKRI harga mati”, sedangkan Papua juga harus keluar dari “Papua merdeka harga mati”.
Tahun-tahun berikutnya membuat nasib dialog Jakarta-Papua makin tak menentu. Adriana Elisabeth sempat bertemu Pater Neles di Bali. Dia meyakinkan dan mendorong agar Pater Neles menemui Jokowi untuk menyampaikan perkembangan persiapan dialog Jakarta-Papua.
"Saya tidak tahu apakah Pater kemudian setuju dengan masukan saya. Namun saya sempat mendengar Pater berharap dapat bertemu Kepala KSP, Jenderal Moeldoko. Ternyata keinginan Pater tidak pernah terwujud sampai kepergiannya pada 14 April 2019 jam 12.15 WIB," tulis Adriana mengenang Pater Neles.
Selepas kepergian Pater Neles dan Muridan, gagasan dialog Jakara-Papua menjadi sunyi. Forum terakhir yang muncul, pertamuan 61 tokoh kontroversial Papua dengan Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Makanya tak heran, yang didapuk menjadi perwakilan atau pimpinan para tokoh Papua tersebut adalah Abisai Rollo--politikus Partai Golkar yang menjabat Ketua DPRD Jayapura. Pada masa Pilpres 2019, ia adalah ketua tim kampanye daerah Jokowi-Ma’ruf di Jayapura.
Para tokoh Papua hanya hadir secara fisik sebagai formalitas. Sedangkan tuntutan yang mereka sampaikan ke Jokowi, telah diatur atau disiapkan oleh BIN.
Editor: Irfan Teguh Pribadi