tirto.id - "Kalo lagi hujan tuh, grab drivernya busy jd susah booking, gojek kalo gak server busy, tidak dpt di proses :( :( :("
Curhatan semacam ini sering berseliweran di jagat media sosial Twitter, saat hujan tiba. Di dunia nyata, ihwal yang sama juga dikeluhkan Ani, 34 tahun, warga Depok. Selain hujan, saat langit mulai mendung pun, pekerjaan mencari driver ojek online jadi persoalan baginya.
"Ada kalanya enggak nemu driver. Terus pas nemu, driver enggak respons, Nemunya tuh lama, muter-muter," keluhnya.
Kejadian semacam ini seolah sudah mafhum bagi pengguna transportasi online, padahal bukan masalah saat ini saja. Tirto sempat menghubungi tim komunikasi Go-Jek dan Public Relations Manager Grab Indonesia Dewi Nuraini, tapi belum bersedia memberikan jawaban penyebab masalahnya.
Apa relasi kesulitan mencari layanan ride-sharing dengan kondisi hujan?
Kondisi hujan membuat lalu-lintas bisa berpotensi makin macet. Orang akan cenderung memilih menanggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi publik atau layanan ride-sharing. Abel Brodeur, akademisi University of Ottawa, dalam paper berjudul “Has Uber Made It Easier to Get a Ride in the Rain?” menyebutkan terdapat korelasi antara kondisi hujan dan jumlah perjalanan via ride-sharing Uber.
Dalam penelitian terhadap Uber di New York City dari April 2014 hingga September 2014 dan Januari 2015 hingga Desember 2016, Brodeur menyatakan terdapat kenaikan perjalanan Uber hingga 18 persen kala hujan terjadi. Lebih tinggi dibandingkan peningkatan pada taksi konvensional.
Penelitian yang dilakukan Brodeur diperkuat oleh paper yang dibuat Snigdha Gutha, akademisi dari Oklahoma State University. Paper berjudul “Analyzing The Effect of Weather on Uber Ridership” menyebut ada peningkatan permintaan pesanan pada Uber saat hujan.
Paper berbasis penelitian terhadap 1 juta perjalanan Uber di Kota New York dan membandingkan dengan data cuaca dari Weather Underground itu menyebut di beberapa wilayah New York tak hanya hujan yang berpengaruh terhadap peningkatan permintaan perjalanan via Uber. Di wilayah Bronx misalnya, peningkatan permintaan perjalanan juga terjadi tatkala kabut menyelimuti kota. Lantas, di wilayah Manhattan salju berpengaruh pada peningkatan permintaan perjalanan.
Dalam konteks Indonesia pada layanan ojek online, bagi driver ojek online, pada kondisi hujan memang berdampak pada permintaan. Bahrudin, 30 tahun, seorang driver ojek mengaku ada kenaikan frekuensi permintaan pesanan saat hujan, dan membuat dirinya kesulitan untuk menentukan pilihan. Bahrudin termasuk yang masih bersedia menyediakan layanan karena iming-iming tarif yang labih tinggi saat hujan.
“Dapat terus order,” kata Bahrudin kepada Tirto.
Driver ojek lain bernama Bana yang diwawancarai Tirto, justrumengungkapkan tetap bekerja saat hujan memang persoalan baginya. Ia biasanya akan selektif atau tak sama sekali menerima pesanan, meski biasanya ada iming-iming kenaikan tarif saat kondisi hujan. Tarif biasanya akan naik, misalnya saat normal Rp8.000, bisa naik jadi Rp12.000.
"Tarif naik tapi enggak sepadan juga. Kalau sakit abis kehujanan gimana? Besok enggak bisa kerja dong. Lebih baik tidur saja di rumah,”
Artinya saat kondisi hujan, bisa memicu permintaan pesanan layanan ride-sharing, tapi jumlah driver yang bersedia menyediakan layanan bisa saja berkurang karena enggan menerima pesanan, atau alasan lainnya.
Hujan Turun, Harga Naik
Pada layanan ride-sharing ada yang namanya skema surge-pricing, yang rata-rata diimplementasikan semua layanan ride-sharing. Surge-pricing merupakan skema perubahan tarif saat terjadi peningkatan permintaan. Pengguna ride-sharing “dipaksa” membayar lebih mahal untuk memperoleh pengemudi di waktu-waktu tertentu, termasuk saat hujan.
Skema surge-pricing pertama kali diimplementasikan Uber pada 2012. Pihak Uber, sebagaimana dilansir Time, menjelaskan skema ini “untuk mendorong para pengemudi Uber untuk online dan menjemput penumpang yang membutuhkan.”
Travis Kalanick, saat masih menjabat Chief Executive Officer (CEO) Uber, menyatakan “selama tujuh dekade skema fixed-pricing dijalankan oleh transportasi publik, pengemudi umumnya memilih bersantai di rumah kala malam tiba.”
Masih merujuk publikasi Time, Bill Gurley, anggota direksi Uber, menyebut skema surge-pricing sukses. Saat warga Boston kesulitan memperoleh kendaraan pada pukul 1 dini hari, mobil-mobil Uber mampu menyelamatkan mereka.
“Dengan menawarkan uang lebih pada pengemudi, kami mampu menciptakan peningkatan (ketersedian) kendaraan Uber antara 70 hingga 80 persen,” kata Gurley.
Apa yang diungkap Gurley senada dengan tulisan Brodeur. Ia mengatakan “dalam neoclassical intertemporal model, pasokan tenaga kerja dan lonjakan harga berkorelasi positif.” Korelasi positif terjadi karena para pengemudi memiliki kesempatan untuk memperoleh pendapatan lebih banyak dibandingkan waktu-waktu normal. Korelasi positif ini terjadi pada ride-sharing tetapi tidak pada taksi konvensional yang tak memiliki skema surge-pricing.
Dalam pemberlakuan skema surge-pricing, penyelenggara layanan ride-sharing tak bisa seenaknya menaikkan tarif. Keith Chen, Head of Economic Research Uber, sebagaimana dituturkan kepada The Tennesean, secara tersirat menyebut Uber atau layanan ride-sharing harus hati-hati menerapkan tarif. Dalam pengalaman yang diperoleh Uber, menaikkan tarif dari X ke 1,2X akan menurunkan permintaan hingga 27 persen.
Selain itu, menaikkan tarif 1,9X hingga 2X menyebabkan penurunan permintaan hingga enam kali lipat dibandingkan keadaan normal. Jika kenaikan mencapai dua kali lipat, pengguna akan menganggap memesan ride-sharing terlalu mahal. Kenaikan tarif akan dialami pengguna ride-sharing manakala pengguna berada dalam posisi terdesak seperti hujan. Tarif khusus ini untuk menciptakan keseimbangan antara ketersediaan driver dan pesanan yang masuk, tapi tentu tak semua driver tergiur sehingga memesan transportasi online saat hujan bukan perkara mudah.
Editor: Suhendra