tirto.id - "Perbedaannya bisa dirasakan, tapi susah dikatakan."
Itulah jawaban dari Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi atau akrab disapa Tuan Guru Bajang saat ditanya mengenai perbedaan Ramadan di masa sekarang dengan dulu.
"Dulu Ramadan kita terasa lebih sederhana," Zainul melanjutkan.
Zainul senang mengikuti tradisi begibung di masjid ketika masih kecil hingga remaja. Begibung adalah sebutan untuk tradisi makan bersama orang-orang Lombok dalam sebuah nampan yang berisi nasi, lauk, pauk, dan air mineral. Satu nampan bisa diperuntukkan bagi tiga atau empat orang. Begibung biasanya digelar pada jam berbuka puasa.
Selain begibung, Zainul juga senang berlalu-lalang di jalan melihat keramaian bersama teman-temannya. Dia merasa sebelum internet dan sosial media berkembang, interaksi seseorang dengan teman di sekitarnya lebih akrab. Hubungan anak dan orang tua terasa lebih hangat. “Sekarang sudah beda. Dulu interaksi terhadap orang tua masih sering. Orang tua masih teladan. Ada apa-apa tanya orang tua. Sekarang tanya mbah Google,” canda Zainul.
Zainul lahir 31 Mei 1972 di Pancor, Selong Lombok Timur, NTB. Ayahnya H. M. Djalaluddin ialah seorang pensiunan birokrat Pemerintah Daerah NTB. Sedangkan ibunya Hj. Rauhun Zainuddin Abdul Madjid adalah putri dari TGH M. Zainuddin Abdul Madjid (Tuan Guru Pancor) pendiri organisasi Islam terbesar di NTB Nahdlatul Wathan (NW) dan pendiri Pesantren Darun-Nahdlatain. "Kakek dari ibu adalah pendiri Nahdlatul Wathan. Beliau adalah pembaharu Islam juga concern dengan dunia pendidikan," kata Zainul.
Zainul mulai belajar puasa saat masuk sekolah dasar. Namun, makna puasa baru ia sadari seiring waktu saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama hingga menengah atas. Zainul mengaku lingkungan keluarganya cukup ketat mendidik kebiasaan beribadah pada bulan Ramadan. Sejak kecil dia sudah diharuskan bertadarus Alquran dan tarawih berjamaah sepanjang bulan Ramadan. “Saya ingat betul dari awal sampai akhir,” ujarnya.
Menjelang berbuka puasa, Zainul sekeluarga akan kumpul bersama. Mereka biasa saling berbagi cerita menjelang berbuka. Zainul mengatakan makanan berbuka puasa kesukaannya adalah pelalah yakni opor ayam khas Lombok, plecing kangkung, dan lebui. “Itu enak sekali,” katanya.
Sejak kecil Zainul mengaku sang ayah sangat disiplin dalam urusan ibadah dan sekolah. Zainul mencontohkan ia dan saudara-saudaranya harus sudah rapih 10 menit sebelum ayahnya berangkat kerja. Sang ayah juga tidak pernah memberikan hadiah apa pun seandainya ia mampu berpuasa penuh dan juara kelas selama di sekolah. Kebiasaan itulah yang menurutnya turut membentuk karakternya hingga sekarang. “Kedisiplinan itu yang membentuk saya sekarang,” katanya.
Kedisiplinan itu memang menjadi modal penting dalam perjalanan hidup Zainul. Salah satunya terkait kemampuannya menghafal Alquran. Zainul mengaku sudah mulai belajar menghafal Alquran antara usia 16 tahun sampai 17 tahun. Namun menurutnya yang terpenting dari menghafal Alquran bukan usia tapi kesungguhan dan disiplin diri. Dalam sehari setidaknya mesti ada waktu khusus sekitar sejam atau dua jam untuk belajar menghafal. “Tidak ada batas usia, banyak orang hafal Alquran mulai dari usia 50 tahun. Ini bukan urusan umur tapi komitmen saja,” ujarnya.
Disiplin menghafal Alquran mempermudah studi Zainul di Alzhar Kairo Mesir. Di berangkat ke Mesir pada 1992 untuk menempuh studi di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Alquran. Dia lulus dengan gelar LC pada 1996. Selang lima tahun berikutnya Zainul memperoleh gelar Master of Art dengan predikat Jayyid Jiddan dari jurusan yang sama dan kampus yang sama. Pada 2011 ia berhasil meraih gelar doktor dengan predikat Summa Cumlaude untuk disertai berjudul Studi dan Analisis terhadap Manuskrip Kitab Tafsir Ibnu Kamal Basya dari Awal Surat An-Nahl sampai Akhir Surat Ash-Shoffat. Ia juga berhasil melalui ujian di bidang tahfiz Alquran sebanyak 12 juz
Selama tinggal di Mesir, ada satu tradisi yang sukar dilupakan Zainul hingga sekarang. Tradisi itu bernama maidahturrahman yang berarti hidangan yang maha pengasih. Zainul mengatakan maidahturrahman adalah tradisi menyediakan makanan berbuka puasa yang dilakukan secara serentak oleh orang-orang kaya di Mesir sepanjang bulan ramadan. Hidangan disediakan untuk 100, 200, hingga 500 orang.
Setiap orang bisa menikmati makanan dengan lauk pauk terbaik seperti daging kambing, daging sapi, daging ayam sepuasnya. Karena gratis, Zainul mengaku senang “berburu” maidahtuhrahman bersama mahasiswa-mahasiswa Indonesia lainnya. “Makanannya enak-enak. Dalam sebulan paling tidak bisa empat sampai lima kali datang. Ya seru-seruan,” katanya.
Puasa selalu berkesan bagi Zainul. Baginya, puasa merupakan cara mengendalikan hawa nafsu, melatih diri agar lebih bertanggung jawab dalam perkataan maupun perbuatan. Jika kesadaran ini muncul secara kolektif ia percaya mestinya Indonesia menjadi lebih baik setelah bulan puasa. “Ini madrasah yang luar biasa agar setelahnya kita menjadi lebih baik,” ujarnya.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti