Menuju konten utama

Menciptakan Lebaran ala Indonesia di Manila

Sebagian orang harus jauh dari rumah ketika lebaran datang, dan kesulitan menghirup suasana lebaran yang dirindukan. Sebagian lain tak tinggal diam dan menciptakan sendiri suasananya. Hanan adalah salah satunya.

Menciptakan Lebaran ala Indonesia di Manila
Masjid Dimaukom atau Masjid Pink di Maguindanao, Filipina. FOTO/Inquirer

tirto.id - Pertengahan tahun ini, Khairil Hanan mendapat pekerjaan baru yang mengharuskannya tinggal di tempat baru pula. Sudah dua bulan terakhir ia menetap di Manila, Filipina, untuk mendapat pelatihan kerja. Baru sebulan di negeri orang, Hanan sudah harus menjalani Ramadan di negeri tempat Muslim hidup sebagai minoritas.

Ini bukan pengalaman pertamanya berpuasa sebagai minoritas. Pada 2012 hingga 2013 lalu, ia sempat mengabdi di Lamdesar Barat, Maluku sebagai Pengajar Muda. Di desa terpencil itu, ia bahkan jadi satu-satunya Muslim yang berpuasa, di tengah mayoritas Kristen Protestan. Bukan cuma pengalaman sebagai minoritas yang ia dapat, Hanan juga harus melewati Ramadan dengan keadaan serba-terbatas, termasuk makanan yang diperoleh.

Di Filipina, cerita sedikit lain. Ia tinggal di area Bonifacio Global City, semacam kawasan elite Mega Kuningan di Jakarta. Tentu saja pilihan makanan tak mentok di pilihan tanaman kebun saja.

Muslim Filipina hanya sekitar 5 persen dari total populasi nasional. Mayoritas berada di selatan atau Mindanao. Sehingga banyak yang tidak familiar dengan Ramadan di Manila. Tiap hari Hanan jadi punya kerja tambahan untuk menjawab berbagai pertanyaan orang-orang tentang Ramadan. “Ini challenging juga karena mau enggak mau bikin kita belajar lagi. Kenapa Muslim enggak boleh makan babi? Kenapa enggak boleh konsumsi alkohol? Kenapa puasa harus berlangsung sepanjang hari?” ungkap Hanan. Ia jadi harus kreatif menjelaskan hal-hal itu agar mudah dicerna dan dipahami.

“Paling berkesan saat mereka sudah memahami situasinya lalu berusaha untuk menghormati,” tambahnya.

Salah satu contohnya adalah ketika chef di kantornya menghadiahi khusus sebuah bungkusan besar berisi macam-macam kudapan halal, dua hari sebelum Ramadan. Chef itu sebelumnya berkunjung ke sebuah toko India yang menjual banyak sekali makanan berlogo halal, dan teringat punya dua orang kawan baru yang Muslim. Pihak manajemen pun menyiapkan makanan bagi tiga orang karyawan Muslimnya termasuk, Hanan. Mereka membedakannya dengan makanan teman-teman lain yang mengandung babi. Beberapa kawannya yang tidak berpuasa justru sering bergabung saat iftar.

“Kami yang dari Indonesia kemudian sering iseng meminta mereka menyicip sambal, karena mereka enggak tahan pedas,” tambah Hanan. “Jadi enggak ada kendala berarti sih, karena Alhamdulillah lingkungan mendukung. Paling jarang sahur aja karena sering enggak kebangun.”

Makanan Menyambut Lebaran

Di hari terakhir puasa ini, Hanan ingin bersiap membeli stok makanan. Meski jauh dari keluarga dan suasana lebaran yang ramai khas Indonesia, Hanan tetap ingin merayakan lebaran di negeri orang dengan meriah. Tapi ia dapat kabar gembira, karena keluarganya akan datang pada Senin, lebaran kedua, dan membawa makanan khas Hari Raya Idul Fitri yang banyak.

“Paling besok (hari lebaran pertama) nyari lontong di KBRI,” kata Hanan.

Bagi penggemar kuliner seperti Hanan, makanan jadi ihwal penting ketika bertandang ke tempat-tempat baru. Termasuk selama Ramadan kemarin. Sebagai Muslim, dia harus agak lebih selektif.

“Hampir semua makanan di sini mengandung babi. Ini yang membuatku harus selalu selektif saat membeli makanan dan sesekali memasak makanan sendiri di apartemen,” ungkapnya.

Saat Ramadan, pria asal Medan yang sudah lama berdomisili di Jakarta ini selalu merindukan berbagai penganan Medan yang hanya muncul di bulan kesembilan tahun hijriah itu. “Bubur pedas pakai anyang, toge mandailing, atau mihun pecal pakai sate jengkol,” kenangnya. Selain itu, ia juga rindu suasana buka bersama yang sering jadi ajang nostalgia dan perjumpaan dengan kawan-kawan lama. Dua hari kerja terakhir di Ramadan, ia sudah tidak terlalu fokus karena melihat unggahan kawan-kawannya yang mudik.

Di Indonesia, budaya mudik yang biasanya cuma terjadi setahun sekali memang punya nilai sentimental sendiri. Terutama bagi kaum buruh industri yang sudah merantau jauh dari rumah.

Infografik Muslim Filipina

Untuk mengobati rindunya, Hanan bahkan sempat sengaja menyisihkan waktu berwisata kuliner, mencari penganan khas Indonesia selama Ramadan kemarin. Ia sempat mengunjungi tiga restoran berbeda yang menyajikan gulai ayam, martabak, tempe goreng, dan cendol.

“Yang satu kokinya dari Jakarta, sedangkan dua lagi orang Filipina yang pernah tinggal di Indonesia. Bahagia akhirnya bisa makan sambal bukan dari botol lagi. Haha.” Hanan girang karena ia lebih senang makanan pedas, ketimbang makanan Filipina yang biasanya selalu manis. “Enggak ada pedas-pedasnya sama sekali,” katanya. Hanya saja, “sedihnya harus membayar mahal untuk sepotong tempe goreng.”

Di sana ia juga sempat sengaja mendatangi Blue Mosque, salah satu tempat wisata rohani bagi Muslim, untuk menjemput nuansa berbuka puasa khas Ramadan. “Suasananya hampir sama dengan di Indonesia,” ungkap Hanan. Tapi, makanan di sana tak berlimpah seperti di masjid-masjid Indonesia saat berbuka puasa. Mereka biasanya dapat kurma dari kedutaan negara-negata Timur Tengah. Tapi tahun ini tak ada. Donatur mereka sangat terbatas.

“Begitu tahu dari Indonesia, mereka sangat welcome. Ngobrolin film Ayat-ayat Cinta sampai Yusril Ihza Mahendra. Kami juga dikasih hidangan khusus saat berbuka dan diberitahu tempat menjual daging yang halal.”

Lebaran ini, ia berencana mengundang kawan-kawan lain dari negara-negara ASEAN untuk ber-Hari Raya. Tentu saja setelah salat ied di KBRI.

Meski kadang sebagian orang harus jauh dari rumah ketika lebaran datang, dan kesulitan menghirup suasana lebaran yang dirindukan, sebagian lain tak tinggal diam dan menciptakan sendiri suasananya. Hanan adalah salah satunya.

Selamat Hari Raya Idul Fitri, jiwa-jiwa yang sedang di rantau!

Baca juga artikel terkait DUNIA RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti