tirto.id - Ali Taher masih mengingat bagaimana kesehariannya saat ia tumbuh di Pulau Lembata. Di sana, ia hidup damai berdampingan dengan mayoritas masyarakat Katolik, bisa bersama-sama membangun masjid dan gereja. Bahkan saat buka puasa di bulan Ramadan, warga muslim menyiapkan piring khusus bagi tetangga Katoliknya.
M. Ali Taher Parasong merupakan putra Flores yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi VIII DPR RI. Kepada wartawan Tirto, ia menceritakan masa kecilnya yang tumbuh di lingkungan mayoritas masyarakat Katolik. Sebagai minoritas, Ali malah merasakan suasana Ramadan yang sakral, mengharukan, sekaligus membahagiakan.
Di kampungnya itu, ia bercerita bagaimana kerukunan hidup umat beragama dapat terjaga. Islam dan katolik rukun berdampingan. Pembangunan masjid dan gereja juga dilakukan bersama-sama. Ayahnya yang pekerja bangunan tak segan ikut menukang saat pembangunan gereja dilakukan.
Begitu pula sebaliknya. Tetangga yang kebenyakan beragama Katolik tak urung pergi mencari batu dan pasir untuk pembangunan masjid. Sekolahnya juga masih meminjam bangunan gereja lantaran belum ada bangunan sekolah khusus. Setiap malam Minggu, Ali bahkan ikut melantunkan puji-pujian di gereja. Tak ada konflik SARA karena semua merasa bersaudara.
“Walau kami hidup di suasana multikultural, bergaul juga dengan teman Katolik. Tapi [kami] tidak terpengaruh dan itu hebatnya. Anak di sana tradisi beragamanya sudah sangat kuat,” ujarnya.
Menjelang puasa, sehari sebelumnya, anak-anak Pulau Lembata sudah bersiap pergi beramai-ramai ke laut untuk mandi besar. Kemudian, mereka pulang untuk mempersiapkan pakaian paling bersih untuk digunakan tarawih malam harinya.
Saat itu, umurnya kira-kira masih 6 tahun. Ali mengingat, meski ia berpuasa dalam keadaan serba kesusahan, miskin, dan tak ada aliran listrik yang masuk ke kampung, ibadahnya malah berjalan khusyuk, lancar dan tenteram. Suasana Ramadan begitu menarik bagi Ali. Selepas Magrib menjelang Isya, para wanita beramai-ramai berjalan kaki ke masjid. Cahaya obor memantulkan warna putih mukena yang mereka kenakan.
Bagi Ali, mereka bak kerumunan malaikat yang berjejer menuju masjid. “Karena masjid hanya satu, semua bergerak bersama dari arah utara, selatan, barat, dan timur. Indah sekali. Itu suasana yang tidak saya temukan sekarang.”
Selain para wanita, anak-anak juga seringkali bermain obor sehabis tarawih. Mereka berkeliling kampung sepanjang malam untuk membangunkan sahur. Terkadang, untuk mengisi waktu luang saat berpuasa, mereka bermain lempar karet atau kelereng dari biji pohon bakau.
Namun, bermain diakui Ali hanyalah mengisi porsi kecil waktu berpuasanya. Anak-anak di Pulau Lembata lebih banyak menghabiskan waktu dengan beribadah, mengaji setiap sehabis salat. Ia mengaku kebanyakan keluarga muslim sangat memegang teguh pendidikan beragama bagi anak-anaknya.
Bahkan, para orangtua mencontohkan tetap berpuasa meski pekerjaan yang digelutinya, melaut dan menukang, menguras banyak tenaga. “Itu jadi tradisi. Walaupun minoritas tapi semangat agamanya tinggi.”
Kenangan lain yang masih lekat di ingatan Ali adalah saat-saat berbuka puasa. Saling berbagi makanan masih menjadi tradisi yang dijalankan hingga sekarang. Ia lalu menceritakan bagaimana sang ayah selalu menyajikan piring khusus di meja makan untuk tetangga kanan dan kirinya.
Meski tidak mewah, ia tetap merindukan menu-menu tradisional nan sederhana yang disantapnya dulu saat berbuka. Ada jagung titi, sejenis emping yang dibuat dari jagung, lalu air dari pohon lontar, kolak singkong ala kampung, dan buah kelapa langsung petik dari pohon.
Jika malam 17 ramadan tiba, kampungnya selalu memperingati Nuzulul Quran dengan menggelar pesta besar. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasa berkumpul di masjid untuk mengaji. Setelahnya, mereka menyantap Kaleso, nasi berbumbu kelapa yang dibungkus semacam ketupat berbentuk panjang.
“Sangat enak sekali."
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani