tirto.id - Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28B Ayat (2) mengamanatkan agar negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang. Jaminan itu belum ada jika bicara perlindungan atas bahaya rokok, khususnya di kalangan anak jalanan.
Anak jalanan merupakan anak yang mengalami kondisi kesulitan ekonomi (baik diri sendiri maupun keluarga) sehingga harus menghabiskan sebagian waktu untuk bekerja di jalanan maupun di tempat umum atau ruang publik.
Kondisi ini membuat mereka rentan terjebak berbagai perilaku negatif yang dapat mengganggu kelangsungan hidup dan tumbuh kembang mereka, termasuk perilaku merokok.
Mengutip Ansari H (et al) dalam riset berjudul “Predictors of high-risk behaviors among street children in Zahedan, Southeastern Iran” (2016), perilaku merokok pada anak jalanan merupakan gerbang awal perilaku negatif berikutnya, seperti konsumsi minuman beralkohol dan narkoba.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 menunjukkan bahwa persentase perokok anak usia 10–18 tahun di Indonesia terus meningkat dari 2013 (sebesar 7,2%) menjadi 9,1% pada 2018. Anak jalanan tentu ikut menyumbang peningkatan persentase perokok anak tersebut.
Ironisnya, upaya pengendalian masih sangat terbatas. Edukasi bahaya merokok yang dilakukan berbagai pihak termasuk tenaga kesehatan maupun akademisi tergolong jarang didapatkan anak jalanan.
Selain itu, edukasi yang telah diterima oleh anak jalanan hanya memiliki efek sementara untuk berhenti merokok, dan kemudian berperilaku merokok kembali. Ini tidak lepas dari lingkungan teman sekitar anak jalanan (peer effect) yang mempengaruhi anak lain untuk ikut menjadi perokok.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki berbagai program untuk meningkatkan perlindungan bagi anak jalanan. Beberapa program tersebut antara lain Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Dengan program tersebut, sebagian anak jalanan dapat melanjutkan sekolah secara gratis. Ini tidak lepas dari peran rumah singgah yang turut membantu administrasi program tersebut, sehingga anak jalanan semakin mudah mendapatkan akses pendidikan.
Meski demikian, sebagian besar anak jalanan—baik yang telah maupun belum terbina oleh rumah singgah maupun yang telah maupun belum mendapat berbagai program perlindungan pemerintah, masih berperilaku merokok.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dalam penelitian kualitatif terhadap anak jalanan di Jakarta Bogor Depok dan Bekasi (Jabodebek) pada 2022 menunjukkan bahwa banyak anak-anak yang harus turun ke jalan meski sudah melanjutkan pendidikan.
Mereka harus bekerja di jalanan minimal 4 (empat) jam/hari agar dapat bertahan di tengah kemiskinan keluarga. Jenis pekerjaan anak-anak jalanan ini beragam, mulai dari juru parkir, manusia silver, pemain ondel-ondel, penyedia ojek payung, dan bahkan menjadi pemulung.
Studi ini menemukan bahwa rentang pendapatan per hari anak jalanan tidak tetap dan beragam. Besarannya mulai dari Rp25.000 hingga Rp300.000 sehari. Yang mengejutkan, sekitar 25% dari pendapatan harian anak jalanan ternyata tersedot untuk membeli rokok.
Rokok Ketengan Harus Dilarang
Sejatinya, anak-anak akan memilih menghabiskan sebagian uang mereka untuk membeli jajanan atau membeli makanan yang bernutrisi sehingga baik untuk pertumbuhan mereka. Namun, harga rokok yang murah membuka pintu lebih besar bagi mereka untuk membeli zat adiktif tersebut.
Selain itu, rokok dapat dibeli secara ketengan dengan harga Rp1.500-Rp2.000 per batang. Hal ini terkuak dalam penelitian Hartono RK (et al) berjudul “Densitas dan Aksesibilitas Rokok Batangan Anak-Anak Usia Sekolah di DKI Jakarta: Gambaran dan Kebijakan Pengendalian (2021).
Inilah yang mempermudah anak jalanan menjangkau produk rokok. Produk rokok terkenal pun, yang berbiaya mahal apabila dijual per bungkus, dapat dengan mudah diakses oleh anak jalanan karena dapat dibeli secara ketengan/batangan.
Walaupun telah terdapat regulasi larangan jual beli rokok terhadap anak di bawah usia 18 tahun, rokok ketengan masih sangat mudah didapatkan di warung kelontong, kios-kios, maupun pedagang asongan oleh anak-anak jalanan.
Studi PKJS-UI mengungkap anak jalanan perokok yang diwawancarai sepakat bahwa harga rokok masih murah di Indonesia. Seorang anak merasakan bahwa kenaikan harga rokok setengah bungkus hanya berbeda Rp1.000 rupiah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Anak jalanan perokok mulai berpikir rasional untuk tidak mengonsumsi rokok apabila harga rokok per batang naik menjadi 5 kali lipat. Mereka mulai berpikir lebih baik membeli jajanan (makanan dan minuman) ketimbang menghabiskan sebagian pendapatan untuk membeli rokok.
Ini sejalan dengan studi PKJS-UI sebelumnya. Nurhasana (et al) dalam “Public Support for Cigarette Price Increase in Indonesia” (2022) mengungkapkan bahwa 74% perokok akan berniat berhenti merokok apabila harga rokok dinaikkan menjadi Rp70.000 per bungkus.
Berbagai temuan ini memberikan sinyal penting bahwa menaikkan harga rokok merupakan upaya yang signifikan dapat memberikan dampak positif kepada anak jalanan untuk berhenti merokok. Berbagai pihak seperti 59 organisasi massa dan 42 organisasi peduli anak telah mendorong pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok yang signifikan agar harga rokok semakin mahal.
Dorongan tersebut sejalan dengan studi yang dilaksanakan oleh Bappenas (2021) berjudul “Strategi Lintas-Sektor Pengendalian Tembakau di Indonesia 2020-2024.” Disebutkan bahwa penaikan cukai rokok rerata minimal 20% plus penyederhanaan struktur tarif cukai rokok dari 8 menjadi 5 lapis golongan dapat mencapai target penurunan prevalensi perokok anak pada 2024.
Upaya ini penting dilakukan agar anak, khususnya anak jalanan, semakin tidak mudah untuk membeli rokok, sehingga memutuskan untuk mengonsumsi barang lain yang lebih berguna bagi mereka.
Secara regulasi, jenis rokok sigaret di Indonesia masih terbagi menjadi 8 golongan dengan variasi tarif cukai mulai dari yang terendah hingga tertinggi. Akibatnya, harga rokok di pasaran menjadi sangat bervariasi dan produknya kian banyak dijangkau berbagai lapisan masyarakat.
Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan semangat tujuan utama cukai, yaitu pengendalian konsumsi rokok karena perokok masih bisa membeli produk rokok yang lebih murah ketika harga rokok naik.
Dari sampel studi anak jalanan perokok PKJS-UI, sebanyak 65,8% dari mereka mengonsumsi jenis rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan 1 atau rokok dengan tarif cukai yang mahal, sehingga memiliki harga jual minimum yang mahal di pasaran. Selain itu, 10,5% dari mereka mengonsumsi rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) Golongan 1 yang tarif cukainya lebih mahal.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jenis rokok dengan harga yang paling tinggi masih dapat dijangkau oleh anak jalanan dengan pembelian secara ketengan. Bahkan, dengan pilihan harga rokok yang lebih murah.
Kenaikan Cukai Rokok 10% Tak Cukup
Itulah yang menjadi sebab mengapa pemerintah tidak boleh hanya berhenti menaikkan tarif cukai, tapi juga harus terus melanjutkan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok dari 8 menjadi 5 lapisan tarif cukai rokok.
Urgensi kenaikan harga rokok semakin penting karena dampak negatif rokok diketahui sudah mulai dirasakan oleh anak jalanan. Di antaranya, anak jalanan perokok sudah mulai merasakan mual dan pusing apabila tidak merokok yang merupakan tanda mereka mulai kecanduan.
Anak jalanan telah mengetahui bahwa membakar uang untuk membeli rokok mengakibatkan pemborosan, tetapi itu tetap dilakukan akibat dari zat adiktif dalam rokok.
Selain itu, kondisi kesehatan anak-anak juga mulai terganggu seperti gangguan tenggorokan, paru-paru, dan anak-anak mulai merasa lebih cepat kelelahan. Ditambah lagi timbulnya pencemaran udara akibat asap rokok yang merugikan perokok pasif. Selain itu, masih banyak ditemukan sampah puntung rokok di tempat umum, di lokasi penelitian tempat anak jalanan bekerja.
Setelah dianalisis lebih lanjut, anak jalanan dapat terjebak pada jurang kemiskinan jika harga rokok masih murah. Pertama, sebanyak 25% pendapatan anak jalanan habis untuk membeli rokok, padahal pendapatan itu akan lebih bermanfaat untuk membeli makanan bergizi.
Kedua, penurunan kesehatan akibat efek buruk rokok terhadap anak jalanan mengancam penurunan produktivitas mereka akibat penyakit berbiaya mahal imbas dari rokok. Ketiga, perpaduan penurunan kondisi ekonomi ditambah dengan potensi sakit di masa depan akan menghilangkan harapan mereka untuk dapat hidup sejahtera.
Kebijakan fiskal yang ditempuh Pemerintah untuk menekan perokok anak melalui kenaikan tarif cukai hasil tembakau untuk rokok sebesar 10% pada 2023 dan 2024 nanti patut diapresiasi. Namun, kenaikan sebesar itu masih kurang ideal untuk menekan angka perokok anak.
Kenaikan cukai rokok kretek juga masih kecil di tengah pangsa pasar rokok kretek yang membesar. Dus, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk menurunkan prevalensi perokok anak sebesar 8,7% pada 2024 menurut hemat kami akan sulit tercapai.
Indonesia juga masih dihadapkan kepada tantangan ketiadaan pelarangan penjualan rokok secara ketengan. Kebijakan ini diharapkan tertuang pada revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 yang hingga saat ini—sayangnya—belum direalisasikan.
Tentang penulis:
Risky Kusuma Hartono adalah peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG), Universitas Indonesia (UI) yang juga dosen Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Indonesia Maju
Renny Nurhasana adalah peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG), UI yang juga dosen Kajian Pengembangan Perkotaan, SKSG, UI
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.