tirto.id - Deputi Bidang Usaha Pertambangan dan Industri Strategis Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Fajar Harry Sampurno, menegaskan keseriusan pemerintah dalam membenahi kinerja berbagai BUMN. Fajar mengamini bahwa pihaknya banyak mendapatkan kritikan yang menyebutkan bahwa kinerja BUMN itu lambat, birokratis, dan ruwet.
Ia menuturkan bahwa ketika Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1958, negara ini memiliki 480 perusahaan yang bergerak di sejumlah bidang seperti perkebunan, rumah sakit, galangan kapal, dan perdagangan yang kemudian dijadikan BUMN.
Di sisi lain, banyak perusahaan hasil nasionalisasi tersebut diakuisisi dalam kondisi sudah tidak "bernyawa", karena yang diambil hanya berupa aset dan bukan jaringan bisnisnya.
"Bisnisnya di Eropa tidak diambil sehingga segala sesuatunya masih ditentukan Eropa," ujarnya dalam forum group discussion bertema "Pengembangan Industri Aluminium Terintegrasi di Kawasan Industri Kuala Tanjung"di Medan, Rabu, (13/4/2016).
Ia melanjutkan, pemilihan atas perusahaan tersebut baru dilakukan 10 tahun kemudian, dengan membagi perusahaan itu atas tiga kategori yaitu perusahaan jawatan (Perjan), perusahaan umum (Perum), dan persero.
Pada tahun 1998, jumlah perusahaan tersebut menyusut menjadi 191 perusahaan dengan berbagai pertimbangan, termasuk akibat penggabungan dan likuidasi.
"Kini jumlahnya menjadi 118 perusahaan," ungkapnya. Ia mengakui bahwa meskipun jumlah BUMN tersebut tergolong banyak, tetapi pihaknya mengakui kinerja yang dihasilkan belum efisien.
Hal ini mendorong pemerintah untuk menyiapkan berbagai konsep dan kebijakan agar BUMN yang ada di Tanah Air kuat dan "lincah". Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri, menurutnya, telah menyiapkan berbagai kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Salah satu kebijakan yang diambil adalah penyiapan bahan baku dari dalam negeri dan pengolahan berbagai produksi yang dihasilkan.
"Di Inalum, dulu semuanya impor, hasilnya juga semua diekspor," pungkasnya. (ANT)