tirto.id - Pagi ini, media sosial ramai oleh kabar meninggalnya salah satu dokter yang bekerja di Rumah Sakit Pondok Indah Bintaro Jaya. Dokter spesialis anestesi bernama Stefanus Taofik, SpAn meninggal saat berjaga pada piket lebaran. Kematian dokter berusia 35 tahun tersebut terjadi kemarin (27/6), dan akun twitter @blogdokter mengeposkan kabar itu tadi pagi (Rabu, 28/6).
Kabar simpang siur pun beredar terkait sebab meninggalnya dokter muda tersebut. Belum ada keterangan resmi terkait penyebab kematian, tapi banyak pihak menunjuk pada serangan jantung.
Kelelahan ini diduga disebabkan banyaknya tugas jaga yang diemban oleh Stefanus. Disebutkan, dokter yang meninggalkan istri dan satu anak tersebut disebut berjaga di tiga rumah sakit yang berbeda dalam waktu lebih dari 2x24 jam. Namun, menurut informasi yang tertera dalam akun LinkedIn-nya, Stefanus hanya berpraktik di RSPI Bintaro Jaya dan Rumah Sakit Khusus Jantung Diagram Siloam, Cinere. Waktu pekerjaan Stefanus di RS Khusus Jantung Diagram pun tidak ditentukan secara berkala, tetapi menurut waktu perjanjian.
Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi mengatakan waktu jaga dan penyebab kematian resmi dari Stefanus Taofik masih dalam tahap pemeriksaan.
“Dari informasi yang saya dapat, dia [Stefanus Taofik] hanya jaga 2x24 jam, bukan 4 hari [seperti dicuitkan akun Twitter @blogdokter],” katanya.
Mahesa Paranadipa, Ketua Keorganisasian Ikatan Dokter Indonesia (IDI), juga menyatakan penyebab pasti kematian Stefanus masih dalam pemeriksaan. Menurutnya, jam kerja berlebih memang bisa menjadi penyebab kematiannya, tetapi hal itu harus dipastikan terlebih dahulu.
“Kita belum tahu [klarifikasi resmi penyebab kematian]. Kita harus tunggu pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Mahesa kepada wartawan Tirto.
Pihak RSPI Bintaro Jaya pun enggan berbicara terkait penyebab kematian dan kronologi kejadian meninggalnya Stefanus Taofik. Dihubungi lewat sambungan telepon, pihak RSPI Bintaro Jaya mengatakan bahwa pihak Unit Gawat Darurat-lah yang mengetahui terkait kejadian tersebut.
Petugas keamanan bernama Ujang Furwanto mengatakan pihak manajemen RSPI Bintaro Jaya tidak ada yang berada di lokasi. Semua sedang mengambil cuti lebaran dan baru kembali tanggal 3 Juli mendatang. Ujang juga mengaku tidak pernah bertemu dengan Stefanus selama bertugas lebaran. Di sisi lain, terkait penyebab meninggal dan penanganannya, Ujang juga enggan menjawab.
“Itu ditanyakan saja pada manajemen, kami takut tidak berhak untuk menjawabnya,” Ujang menampik pertanyaan kami.
Persoalan Ritme Kerja Dokter di Indonesia
Dari pantauan Tirto di RSPI, jumlah tenaga kerja yang bertugas pada lebaran kali ini memang minim. Rumah sakit yang baru dibuka April 2017 lalu ini hanya menyediakan 1 petugas di pos-pos seperti perawatan gigi, pelayanan konsumen, resepsionis. Jumlah pasien pun memang tidak sebanyak biasanya. Tempat parkir mobil terlihat sangat lengang, hanya ada sekitar 15 mobil dan 100-an motor.
Padahal, dari data yang dihimpun Tirto, Pulau Jawa memiliki jumlah dokter spesialis yang paling banyak pada tahun 2016. Tercatat ada 29.199 dokter spesialis yang berada di pulau jawa, sedang daerah lain bahkan tidak mencapai angka puluhan ribu.
Namun, di Indonesia jam kerja dokter memang belum diatur secara spesifik. Undang-undang yang mengatur tentang jam kerja karyawan adalah Pasal 77 UU Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan waktu kerja maksimum setiap tenaga kerja adalah 7 jam dalam satu hari untuk 6 hari kerja atau 8 jam dalam satu hari untuk 5 hari kerja.
Di sisi lain, berdasarkan PERMENKES Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007, setiap dokter bisa mengantongi 3 izin praktik sekaligus di tiga rumah sakit berbeda. Jadi, tidak heran jika ada dokter bekerja 24 jam dalam sehari.
Terkait hal ini, Adib Khumaidi mengatakan meski peraturan jam kerja sudah diatur dalam undang-undang, beban kerja dokter masih tidak diatur secara resmi. Beban kerja hanya diatur dalam peraturan daerah seperti peraturan gubernur.
“Yang penting sekarang bagaimana regulasi dari tingkat pusat diaplikasikan ke daerah dan ke rumah sakit. Harusnya diatur bahwa dokter hanya bekerja selama sekian jam,” ujarnya kepada Tirto.
Peraturan beban kerja ini menjadi penting menurut Adib karena tidak semua tugas dokter dapat digolongkan jenis pekerjaan yang berat. Dokter yang sedang bertugas on call atau standby seperti Stefanus kemarin sebetulnya bukan pekerjaan yang harus selalu siaga 24 jam. Dokter yang bertugas jaga bisa beristirahat di ruang jaga dan baru dibangunkan pada saat operasi diperlukan atau memang unit gawat darurat membutuhkan bantuan mendesak dari dokter.
“Dia [Stefanus] jaga on call non-stop 24 jam. Itu jaga on call kalau ada kasus-kasus yang membutuhkan emergency atau di ICU yang perlu ditangani di UGD, baru dia yang turun. Kalau enggak, dia menunggu di kamar jaga,” lanjutnya.
Menurut Adib, prahara dokter yang mengambil izin praktik lebih dari 3 ini dikarenakan banyaknya dokter yang belum mendapat pekerjaan tetap di rumah sakit. Dokter yang biasanya hanya bekerja paruh waktu memang diperbolehkan mengambil izin praktik di tempat lain untuk mencari tambahan penghasilan.
Hal ini, menurutnya, seharusnya tidak terjadi apabila pekerjaan dokter dihargai secara layak. Namun di lain pihak, izin praktik ini juga diberikan agar dokter bisa membantu rumah sakit lain yang kekurangan sumber daya.
“Di Korea, setiap dokter full-time digaji 100 juta. Ini misalnya, ya. Tapi [hal itu] tidak mungkin juga, karena rumah sakit di Indonesia masih banyak yang butuh dokter.”
Siaran dari Ketua Pengurus Besar IDI Ilham Oetama Marsis menyatakan Stefanus ditemukan saat sedang bertugas jaga 24 jam. “Almarhum telah meminta pertukaran hari jaga dengan rekannya sehingga memungkinkan almarhum untuk jaga 2x24 jam dan libur setelahnya,” paparnya.
Bobot Tugas Dokter Anestesi
Mahesa Paranadipa, pengurus IDI yang lain, menegaskan pentingnya peranan dokter anestesi saat tugas berjaga. Menurut Mahesa, idealnya dokter anestesi tidak bekerja sendirian. Dokter anestesi senantiasa dibantu oleh asisten atau perawat anestesi. Meski begitu, dokter anestesi tetap harus ada jika ada ruang operasi di rumah sakit tersebut.
“Bila dokter anestesi berhalangan, dia tetap bisa mendelegasikan ke asisten anestesi, tetapi ia tetap harus hadir di akhir. Dokter anestesi tetap harus ada karena itu tanggung jawabnya,” tegas Mahesa.
Soal dokter yang berpraktik di beberapa tempat, menurut Mahesa itu bukanlah masalah selama jam kerjanya tidak bertabrakan. Namun, rumah sakit harusnya juga bisa mengerti jadwal dokternya untuk pelayanan yang maksimal karena beban kerja dokter pasti tidak sedikit.
“Manajemen rumah sakit harus bisa mengatur komposisi SDM di rumah sakit supaya standar praktik dokter yang bekerja di rumah sakitnya bisa optimal. Jangan hanya memberi beban yang dapat membahayakan dokter dan juga secara langsung [bisa] membahayakan pasien,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Mahesa menyatakan bahwa jam kerja yang ideal bagi seorang dokter adalah 7-8 jam dalam sehari dengan waktu istirahat kira-kira 1 jam. Pengaturan itu adalah tanggung jawab masing-masing dokter.
“Di dalam kode etik ada kewajiban dokter untuk mawas diri dan mengetahui kemampuan dirinya untuk menjalankan praktik. Kalau merasa dirinya kurang mampu atau tidak kompeten, sebaiknya tidak praktik,” tutur Mahesa.
Sebagai tambahan, menurut data Kementerian Kesehatan yang dihimpun Tim Riset Tirto, ada 2.289 dokter spesialis anestesi pada tahun 2016 silam di daerah Pulau Jawa. Jumlah ini adalah yang terbanyak dibandingkan daerah lain yang hanya berkisar di angka ratusan, terlebih daerah Indonesia Timur yang hanya memiliki dokter anestesi sebanyak 48.
Jika melihat angka itu, dibanding tempat-tempat lain, sebenarnya tidak sulit bagi setiap rumah sakit di Pulau Jawa untuk menempatkan dokter jaga spesialis anestesi lebih dari 1 orang saat libur lebaran.
Mahesa pun mempersoalkan ihwal jumlah dokter jaga ini. “Tidak mungkin jumlah dokter jaga hanya 1 orang, minimal ada 2-3 orang," katanya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maulida Sri Handayani