tirto.id - L, staf Rumah Sakit Dradjat Prawiranegara, Serang, Banten, memalak keluarga korban tsunami Selat Sunda ketika hendak mengambil jenazah. Kejadian tersebut dialami oleh Badiamin Sinaga, warga Klender, Jakarta Timur.
Untuk masing-masing jenazah, L mengenakan biaya yang berbeda-beda, Rp3,9 juta, Rp1,3 juta, dan Rp800 ribu. Tanpa bayar uang, jenazah tak bisa diambil.
Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Achmad Yurianto menduga permintaan uang dilakukan oleh calo yang biasa menawarkan 'jasa' di kamar jenazah. Dan itu jelas tidak dibenarkan. Jika memang betul tiga jenazah itu merupakan korban tsunami yang terjadi beberapa hari yang lalu, semestinya keluarga tak boleh dibebankan biaya apa-apa.
“Dari bantahan rumah sakit dengan bukti-bukti yang dimiliki, kelihatan banget itu bukan kuitansi dari mereka. Dalam posisi ini, masyarakat juga harus berhati-hati dan tahu betul bahwa [korban bencana] adalah tanggung jawab pemerintah,” kata Achmad kepada reporter Tirto, Jumat (28/12/2018) malam.
Dugaan Achmad memang benar, setidaknya demikian menurut Pelaksana tugas (Plt) Direktur rumah sakit Sri Nurhayati. Mengutip Antara, Sri mengatakan pemalakan memang terjadi, tapi itu bukan kebijakan resmi dari mereka.
“Pungutan apa pun di luar sepengetahuan dari direksi RSDP,” katanya.
Achmad mengimbau agar masyarakat tidak terpengaruh dengan iming-iming oknum yang menawarkan jasa terhadap jenazah. Jasa yang dimaksud bisa meliputi perawatan jenazah hingga pengantaran ke rumah duka.
“Sebenarnya itu kan bukan masalah ambil jenazahnya. Tapi dia minta peti lalu minta diantarkan jenazahnya ke rumah. Di situ dia ketemu ada orang bisnis di kamar jenazah. Dia kemarin ketemunya dengan itu,” ungkap Achmad.
Achmad mengatakan sebetulnya keluarga korban bisa langsung lapor ke manajemen rumah sakit sesaat setelah dipalak. Ia pun menyayangkan kabar yang beredar cepat di media sosial, bahkan sebelum manajemen rumah sakit mengetahuinya.
“Ini sebenarnya masalah yang tidak perlu terjadi apabila ada komunikasi antara keluarga korban dengan rumah sakit,” ucap Achmad.
Guna mengantisipasi agar masalah serupa tidak terjadi di kemudian hari, Achmad meminta agar masyarakat memahami mekanisme pengambilan jenazah korban bencana. Dalam kasus korban tsunami, RSDP dan bahkan puskesmas di seluruh Kabupaten Serang sudah punya kebijakan untuk menggratiskan pelayanan kesehatan.
Jika ada pungutan, maka jelas itu melanggar aturan.
“Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, untuk bencana itu intinya tanggung jawab ada pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” kata Achmad.
Harusnya Diberi Santunan
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho turut membantah apabila pengambilan jenazah korban bencana alam dikenakan biaya. Alih-alih membayar, Sutopo menyebutkan setiap keluarga korban seharusnya mendapat santunan dari pemerintah sebesar Rp15 juta.
“Tidak ada itu [keluarga] korban dimintai biaya. Terkait dengan bencana, semuanya ditanggung oleh pemerintah,” kata Sutopo saat jumpa pers di kantornya di Jakarta, Jumat (28/12/2018).
Alokasi anggaran penanggulangan bencana sendiri masuk ke pos BNPB. Sutopo menyebutkan bahwa setiap tahunnya ada dua jenis anggaran yang dialokasikan, yakni anggaran DIPA dan cadangan penanggulangan bencana (dana siap pakai).
Pada anggaran 2018, besarannya mencapai Rp7,19 triliun. Dana tersebut terdiri dari DIPA sebesar Rp748,5 miliar dan dana siap pakai Rp6,443 triliun. Anggaran dana siap pakai itulah yang digunakan untuk pembiayaan tanggap darurat bencana.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino