tirto.id - Kelompok militan Houthi Yaman mendeklarasikan diri ikut perang membantu Hamas Palestina melawan Israel pada Selasa, 30 Oktober 2023. Houthi menyatakan bahwa mereka telah menembakkan pesawat tak berawak dan rudal ke Israel beberapa waktu lalu.
Reuters mewartakan, juru bicara militer Houthi, Yahya Saree, mengatakan dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di televisi bahwa kelompok tersebut telah meluncurkan "sejumlah besar" rudal balistik dan pesawat tak berawak ke arah Israel.
Saree mengatakan bahwa ini adalah serangan ketiga Houthi terhadap Israel sejak 7 Oktober 2023, yang tampaknya mengkonfirmasi bahwa mereka berada di balik serangan pesawat tak berawak pada tanggal 28 Oktober yang mengakibatkan ledakan di Mesir serta insiden 19 Oktober di mana angkatan laut AS mencegat tiga rudal jelajah.
Houthi juga menyatakan secara terang-terangan bahwa akan ada lebih banyak lagi serangan serupa yang akan datang "untuk membantu Palestina meraih kemenangan".
Pernyataan itu menegaskan meluasnya cakupan konflik dan meningkatnya risiko konflik regional di Timur Tengah, yang kembali memanas sejak 7 Oktober kemarin.
Penasihat Keamanan Nasional Israel Tzachi Hanegbi mengatakan bahwa serangan-serangan Houthi tidak dapat ditoleransi, namun menolak untuk menjelaskan lebih lanjut ketika ditanya bagaimana Israel akan merespons.
Apa Itu Houthi Yaman?
Houthi adalah gerakan militan di Yaman utara yang awalnya dipimpin oleh Hussein Badr al-Din al-Houthi, seorang politisi Yaman dan aktivis politik dari sekte Zaidiyah.
Britannica menulis, gerakan ini menyebut dirinya Ansar Allah ("Pembela Tuhan"); istilah yang dipopulerkan "gerakan Houthi" merujuk pada nama pendirinya.
Council on Foreign Relations mencatat, Houthi berakar dari sebuah gerakan yang dimulai di Yaman utara pada akhir 1980-an untuk melindungi dan menghidupkan kembali tradisi agama dan budaya Zaidi.
Zaydisme adalah cabang Islam Syiah yang berbeda dengan Syiah Dua Belas di Iran, Irak, dan Lebanon. Zaydi merupakan mayoritas di ujung utara, tetapi mereka adalah minoritas di Yaman.
Mulai tahun 1980-an, lembaga-lembaga keagamaan Salafi [Muslim Sunni] menanamkan diri mereka di daerah-daerah tradisional Zaydi dengan dukungan negara. Zaydi merasa diserang dan juga merasakan sengatan politik pengucilan dan marjinalisasi.
Houthi menjadi terpolitisasi di bawah [mendiang pemimpin mereka] Hussein Badreddin al-Houthi. Dia menentang invasi AS ke Irak pada tahun 2003 dan menggeser gerakan ke arah aktivisme politik.
Presiden Ali Abdullah Saleh dipandang sebagai pendukung Amerika Serikat, sehingga kritik Hussein merupakan tantangan bagi Saleh. Apa yang dimulai sebagai tindakan polisi untuk menangkap Hussein menyebar dengan cepat di utara, dan pada tahun 2004, konflik bersenjata pertama dari enam putaran konflik bersenjata antara pengikut Hussein dan negara Yaman dimulai.
Setelah pemberontakan tahun 2011, Houthi bergabung dengan koalisi para pemangku kepentingan Yaman yang memiliki sejarah panjang dalam memerangi rezim Saleh. Perbedaan antara kelompok-kelompok tersebut, [yang mencakup] beberapa musuh tradisional mereka, menjadi jelas dengan cepat.
Pada tahun 2012-2014, Dialog Nasional [yang disponsori oleh PBB] menyatukan semua kelompok [oposisi dan pemerintah] untuk menetapkan dasar bagi konstitusi baru. Houthi berpartisipasi dalam negosiasi politik ini sambil mempertahankan sikap revolusioner dan memperluas kendali mereka di lapangan.
Ansar Allah adalah organisasi payung mereka. Mereka juga mulai mengembangkan sekutu politik dari luar kubu utara mereka. Mereka mulai berbicara tentang isu-isu nasional yang lebih luas dengan menggunakan bahasa populis dan membingkai diri mereka sebagai gerakan Quran daripada gerakan Zaidi.
Selanjutnya, Wilson Center melaporkan, Houthi mengambil alih ibu kota Yaman, Sanaa, pada bulan September 2014 dan menguasai sebagian besar wilayah utara Yaman pada tahun 2016.
Para pejabat Yaman dan negara-negara Sunni telah berulang kali menuduh bahwa Iran dan proksi Hizbullah telah memberikan senjata, pelatihan, dan dukungan keuangan kepada Houthi.
Namun para pejabat Iran dan Hizbullah membantah klaim tersebut. Sementara itu, Amerika Serikat, berkoordinasi dengan Arab Saudi, telah menunjukkan bukti fisik transfer senjata Iran kepada kelompok tersebut.
Seberapa Besar Kekuatan Houthi Yaman?
Kekuatan militer Houthi Yaman tidak diketahui secara pasti. Namun, Center for Strategic and International Studies (CSIS) dalam laporan berjudul “Report Part Title: Houthi Missiles: A Military, Economic, and Political Tool” pada tahun 2020 memaparkan sejumlah peralatan dan kekuatan militer yang digunakan Houthi selama melakukan pemberontakan.
Mereka memiliki roket dan rudal yang pernah menewaskan lebih dari 400 personel militer koalisi Arab pada tahun 2015. Diduga mereka menggunakan rudal OTR21 Tochka buatan Soviet yang terkenal karena akurasinya.
Houthi juga menggunakan rudal antiship untuk membahayakan kapal perang dan kapal pengangkut di sepanjang Laut Merah dan Teluk Aden setidaknya sejak Oktober 2015.
Mereka telah berhasil menembakkan rudal antiship ke kapal-kapal Saudi, UEA, Turki, dan AS. Namun demikian, kurangnya radar permanen yang dimiliki Houthi sejak Oktober 2016 telah menurunkan efektivitas operasional senjata-senjata ini. Sebagai gantinya, Houthi harus mengerahkan kapal-kapal kecil untuk menyampaikan perkiraan lokasi target.
Houthi juga memiliki kemampuan rudal anti-rudal yang telah digunakan untuk menjatuhkan beberapa pesawat. Mereka telah menggunakan senjata ini untuk menembak jatuh setidaknya tiga UAV AS, pada Oktober 2017 dan Juni dan Agustus 2019. Sebelumnya, pada Mei 2015, Houthi juga dilaporkan menembak jatuh F-16 Maroko di atas provinsi Sa'ada, Yaman.
Pada Februari 2020, pasukan Houthi menembak jatuh pesawat tempur Tornado milik Arab Saudi di provinsi al-Jawf utara. Beberapa pesawat koalisi juga telah jatuh di dekat wilayah yang dikuasai Houthi, yang diduga disebabkan oleh kesalahan mekanis atau kesalahan manusia.
Namun, kedekatan insiden-insiden ini dengan wilayah Houthi meningkatkan kemungkinan bahwa tembakan musuh adalah penyebabnya. Pada Maret 2015, sebuah pesawat tempur F-15 milik Arab Saudi jatuh di Teluk Aden, yang dilaporkan disebabkan oleh kerusakan mekanis.
Pada bulan yang sama, para pejuang Houthi mengklaim telah menembak jatuh sebuah pesawat tempur Sudan di utara Sana'a.
Rudal paling efektif yang dimiliki Houthi adalah peluru kendali yang ditembakkan dari bahu dan peluru kendali antitank (ATGM), di antara senjata terkecil dan paling jarang dibahas di gudang senjata mereka.
Senjata-senjata ini tersebar luas di Yaman. Video propaganda dari bulan Agustus 2015 menunjukkan para pejuang menggunakan ATGM terhadap tank-tank Saudi dengan sangat efektif.
Sebuah laporan tahun 2016 menunjukkan bahwa Arab Saudi kehilangan setidaknya 20 tank Abrams dalam lebih dari satu tahun pertempuran di Yaman.
Pasukan Houthi sebelumnya telah mendapatkan pengalaman dengan senjata antitank dalam perang mereka dengan pemerintah Yaman antara tahun 2004 dan 2010. Namun, sejak itu mereka telah mendapatkan tingkat kematian yang lebih besar karena terus berlatih dan mengakuisisi ATGM yang lebih canggih.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Dipna Videlia Putsanra