tirto.id - Awalnya Anders Antonsen tak diunggulkan dalam gelaran Indonesia Masters 2019. Ia bukan siapa-siapa dan datang tanpa siapa-siapa. Pebulutangkis berusia 21 tahun asal Denmark itu hanya nangkring di peringkat ke-20 dunia versi BWF dan ia tak ditemani pelatih saat bertanding di Jakarta.
Namun, di tengah-tengah kesendiriannya, tunggal putra asal Denmark tersebut justru terus membikin kejutan. Son Wa-ho [Korea Selatan], Shesar Hiren Rhustvito [Indonesia], hingga Lee Zii Jia [Malaysia], berhasil ia lewati. Pada babak semifinal, giliran Jonatan Christhie [Indonesia] ia bekuk dua set langsung, 21-18, 21-16. Status Antonsen pun berubah, dari bukan siapa-siapa menjadi kuda hitam.
Kemudian, pada pertandingan final, kejutan Antonsen mencapai puncak. Ia mengalahkan Kento Momota, unggulan pertama asal Jepang, dalam pertandingan tiga set yang menegangkan: 21-16, 14-21, 21-16. Lagi-lagi, status Antonsen berubah: dari bukan siapa-siapa, lalu menjadi kuda hitam, hingga menjadi sang juara tunggal putra Indonesia Masters 2019.
“Ini gelar pertama saya, dan mengalahkan Kento Momota di final itu sangat luar biasa,” kata Antonsen.
Tanda-tanda Antonsen akan membikin kejutan besar memang sudah sangat terasa kala ia menghadapi Jojo, sapaan akrab Jonatan Christie, pada babak semifinal. Waktu itu, tidak hanya harus menghadapi Jojo, Antonsen juga harus melawan ganasnya atmosfer di Istora, Senayan, tempat dilangsungkannya pertandingan.
Antonsen tetap tenang saat para penonton terus membantu Jojo untuk meruntuhkan mental bertandingnya. Malahan, di hadapan para penonton itu, Antonsen tampak seperti pemain berkepala batu. Sekeras apa pun para penonton mengganggu konsentrasinya, Antonsen justru terus meraih angka hingga akhirnya berhasil memenangkan pertandingan.
Penampilan prima Antonsen di pertandingan semifinal itu lantas berlanjut pada partai puncak. Momota kaget melihat permainan trengginas lawannya. Sebelumnya Momota sudah tiga kali bertanding melawan Antnosen dan ia selalu menang.
“Hari ini serangan yang dilakukan Antonsen sangat luar biasa. Dengan serangan-serangan tersebut, saya terkejut dan akhirnya bermain kurang bagus,” ujar Momota. “Stamina saya sudah terkuras pada dua gim awal. Sehingga pada gim ketiga sudah tidak bisa bergerak sesuai keinginan saya. Antonsen memiliki serangan yang bagus dan gaya bertahannya kuat.”
Penampilan apiknya di semifinal membuat Antonsen tidak lagi berjuang sendirian pada laga final. Dari atas tribun, para penonton yang sebelumnya menjadi musuhnya, memberikan dukungan sekuat tenaga: ia seperti bermain di rumah sendiri.
“Bermain tanpa pelatih, saya berusaha tetap tenang pada setiap pertandingan. Lagi pula, penonton di sini juga memberikan saya energi sehingga saya tidak merasa sendirian.”
Yang menarik, jika bagi Antonsen kemenangan itu adalah sebuah impian yang berubah menjadi nyata, bagi Federasi Bulutangkis Denmark [DBF], kemenangan Antonsen itu barangkali bisa berarti sebuah pukulan telak yang menghantam wajah mereka.
Masalah Federasi Bulutangkis Denmark
Antonsen datang ke Indonesia Masters 2019, menggunakan biaya sendiri tanpa dibantu sedikit pun oleh DBF. Dan jika melihat bagaimana situasi bulutangkis Denmark belakangan ini, apa yang dialami Antonsen tentu dapat dimengerti.
DFB sedang bersitegang dengan para pemain bulutangkis terbaik Denmark. Musababnya masalah sponsor. Dalam beberapa turnamen belakangan ini, pemain-pemain top Denmark seringkali berlaga dengan menggunakan sponsor masing-masing, tanpa mengindahkan sponsor yang dimiliki DFB. Alhasil, karena DFB bersikeras bahwa para pemain itu dilarang berlaga dengan cara seperti itu, DFB kesulitan untuk mencapai kesepakatan baru dengan para pemain top Denmark.
Otoritas tertinggi bulutangkis Denmark itu pun lantas mengancam: selama kesepakatan belum tercapai, pemain-pemain Denmark dilarang menggunakan fasilitas latihan yang dimiliki DFB. Selain itu, DFB juga mengancam pemain-pemain yang tidak menyetujui kesepakatan tidak akan diikutsertakan saat Denmark ikut kejuaraan besar.
Dari sana, situs Badminton Family kemudian mencium masalah besar apabila konflik ini terus berkepanjangan. Pada 10 Januari 2019, mereka menulis, “konflik yang sedang berlangsung di Denmark perlahan-lahan berkembang menjadi serial amatir yang dapat menghancurkan bulutangkis Denmark.”
Pemain-pemain Denmark sebetulnya bisa saja mengenakan sponsor yang dimiliki DFB saat mereka berlaga mewakili Denmark. Sementara itu, dalam sebuah turnamen perorangan, mereka bisa mengenakan sponsor mereka masing-masing. Namun, masalahnya ternyata tidak semudah itu. Jika pemain-pemain Denmark bertingkah seperti itu, Denmark terancam kehilangan banyak sponsor, dan terpaksa mengurangi investasi yang selama ini mampu menghasilkan atlet-altet bulutangkis terbaik Denmark.
“Pada awalnya, aku merasa bahwa negosiasi akan berjalan dengan mudah, tapi mereka [DFB] justru membikin situasi hingga mencapai tahap ini. Aku sangat kecewa,” kata Hans-Kristian Vittinghus, salah satu tunggal putra andalan Denmark.
Sejauh ini, masalah yang dialami bulutangkis Denmark memang masih mempunyai jalan tengah. Seperti apa yang dilakukan Antonsen dalam gelaran Indonesia Masters 2019, pemain-pemain top Denmark masih berlaga di ajang internasional sebagai pemain profesional: mereka bisa berlaga secara mandiri–entah itu dengan merogoh kocek sendiri atau mengandalkan sponsor.
Menyoal bertanding secara mandiri, pemain Indonesia tak sedikit yang memilih jalan seperti itu. Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan, finalis ganda putra Indonesia Masters 2019, bisa menjadi contoh. Mereka sudah tidak lagi menjadi pemain pelatnas per Januari 2019.
Masalahnya, pemain-pemain profesional ternyata juga mempunyai batasan. BWF mempunyai regulasi bahwa para pemain profesional hanya dapat berlaga jika mendapatkan izin dari otoritas tertinggi bulutangkis sebuah negara, yang merupakan anggota BWF. Lantas, bagaimana jika DFB kemudian berbuat nekat dengan tidak mengizinkan para pemainnya yang memilih bermain secara mandiri untuk mengikuti kejuaraan internasional?
Apa yang ditakutkan Badminton Family bisa menjadi kenyataan: masa depan bulutangkis Denmark akan mengalami kehancuran.
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Mufti Sholih