tirto.id - Dari 1,34 miliar penduduk India, hanya segelintir yang berhasil beradu peran di film Hollywood. Namun ada satu nama yang benar-benar lahir di India, berasal dari keluarga kelas menengah, dan menuai ketenaran di Hollywood sampai mendulang kekayaan hingga 50 juta dolar Amerika. Tidak ada jawaban lain kecuali Sahabzade Irfan Ali Khan atau Irrfan Khan. Ia meninggal di usia 53 tahun, Rabu (29/4/2020) karena infeksi ginjal.
Irrfan adalah anomali tidak hanya bagi Hollywood, tapi juga India. Ia dibesarkan oleh orangtua Islam yang taat, bahkan sampai ke liang lahat pun, keluarga Irrfan memutuskan ia dimakamkan di pemakaman Muslim. Sejarah mencatat hubungan Muslim dan Hindu di India kerap diwarnai cekcok, bahkan memburuk sejak pemerintah Hindu nasionalis berkuasa. Namun, riwayat konflik itu tidak membuat masyarakat India yang mayoritas Hindu meninggalkan Irrfan.
Ayah Irrfan seorang wiraswasta yang menjual ban untuk menafkahi keluarga, sedangkan ibunya mengurusi rumah. Kelak, Irrfan diproyeksikan untuk meneruskan bisnis keluarga. Orangtuanya menganggap aktor diperuntukkan bagi mereka yang hanya ingin menari dan bernyanyi.
Padahal dalam wawancara dengan CNN pada 2015, anak tertua dari empat bersaudara ini mengaku minatnya pada seni peran sudah tertanam sejak kecil, tepatnya ketika ia menonton pertunjukan teater yang terletak tak jauh dari rumahnya. Saat itu sifat pemalu Irrfan dan warna kulitnya yang gelap membuatnya tak berani bermimpi jadi aktor.
“Aku punya banyak keraguan dalam diriku. Tapi ada satu hal kecil yang sangat mengganggu dan tidak bisa kuberitahu pada orang lain,” kata Irrfan.
Beranjak remaja, Irrfan berbakat dalam olahraga kriket. Ia terpilih dalam perwakilan U-23 (di bawah 23 tahun) untuk ikut dalam kejuaraan CK Nayudu yang mempertandingkan orang-orang pilihan antar kota.
Namun orangtua Irrfan lagi-lagi tak menyetujuinya berkarier dalam bidang olahraga. Setiap kali ingin bermain, Irrfan harus berbohong pada orangtuanya. Kebohongan ini terus ia pertahankan sampai turnamen CK Nayudu. Butuh uang 600 rupee agar Irrfan bisa berangkat. Tapi, karena yakin orangtuanya tak mengizinkan, Irrfan memilih tutup mulut. Satu kejuaraan yang bisa membawa Irrfan menjadi atlet profesional justru menjadi pertanda akhir karirnya di kriket.
Kehidupan terus berjalan dan Irrfan beralih orientasi. Ia mengikuti pelatihan sebagai tukang servis air conditioner (AC). Awalnya ia mengikuti pelatihan dengan serius. Hasil latihannya ia terapkan dari rumah ke rumah. Sampai pada satu titik, Irrfan tidak bisa menahan lagi gangguan dalam dirinya. Ia bosan. Ia bahkan mendeskripsikan pengalaman itu sebagai trauma.
“Pekerjaan itu (tukang servis AC) sangat membosankan. Sangat membosankan,” ucap Irrfan. “Aku mencari sesuatu yang bisa membuatku tertarik dan menjauhkan diri dari kebosanan.”
Untuk kesekian kalinya berbohong demi masa depannya. Ia mengaku ingin mendalami seni peran untuk mengajar di Universitas Jaipur, kota kelahirannya. Bermodal uang 300 rupee, ia mendaftar ke National School of Drama (NSD), salah satu sekolah bergengsi untuk belajar tentang seni peran dalam teater di India.
Kebohongan Irrfan berlanjut. Kali ini ia mengaku punya rekam jejak luar biasa. Ia sudah memainkan 10 peran dalam pertunjukan teater. Ia menumpahkan seluruh kehidupan seni perannya hanya untuk teater. Tidak ada minat sama sekali untuk bermain di film apapun.
“Itu kebohonganku, tapi harus kulakukan,” katanya lagi. Kebohongan itu berakhir dengan kisahnya mendapat beasiswa NSD.
Melihat rekam jejak Irrfan sekarang, NSD tidak menunjukkan keberatan ditipu oleh pria yang sudah pernah berbagi layar dengan Tom Hanks tersebut. Setelah Irrfan meninggal, pihak NSD menyatakan kematian Irrfan sebagai “kehilangan besar bagi dunia seni dan sinema India”.
Jalan Menuju Hollywood
Kehidupan Irrfan di NSD awalnya berjalan mulus. Baru menimba ilmu selama setahun, Irrfan kemudian tampil dalam serial televisi berjudulShrikant (1985-1986). Sutradara Mira Nair datang ke NSD pada 1986 guna mencari aktor untuk pemain dalam film barunya, Salaam Bombay. Kelihaian Irrfan dalam berakting menarik perhatian Nair. Tanpa pikir panjang, Irrfan ditarik dan diproyeksikan menjadi salah satu anak jalanan bernama Salim yang merupakan bagian cerita penting Salaam Bombay.
“Aku menangkap fokusnya, kegigihannya, dan penampilannya yang menakjubkan--matanya yang belok. Pilihanku jatuh padanya,” ungkap Nair seperti dilansir India Today.
Irrfan yang kala itu masih berusia 20 tahun mendapati mimpi menjadi nyata. Untuk pertama kalinya ia mendapat peran penting dan tampil di layar lebar. Ia terbang ke Mumbay, mengikuti persiapan pra-produksi dan tinggal di kamar sewaan, berbaur dengan anak jalanan lain yang dipersiapkan Nair.
Sialnya, Nair tiba-tiba berubah pikiran. Menurutnya, Irrfan terlalu tinggi dan besar untuk memerankan anak jalanan. Jalan yang dipilih Nair adalah memberikan peran Salim kepada orang lain dua hari sebelum pengambilan gambar dilakukan. Irrfan hanya diberi peran kecil dalam film yang masuk nominasi Academy Award untuk kategori film berbahasa asing terbaik tahun 1989.
“Aku ingat saat itu menangis semalaman setelah Nair memberitahu peranku diubah menjadi hampir tak ada artinya,” kenang Irrfan.
Nair lantas menjanjikan remaja yang telah kehilangan ayahnya itu sebagai pemeran utama dalam filmnya yang lain. Sebelum janji itu menjadi nyata, Irrfan lulus dari NSD pada 1987. Setahun kemudian ia kembali tampil dalam serial Bharat Ek Khoj di televisi. Karir Irfan sebagai artis terus berjalan tahun ke tahun. Tidak pernah absen dari layar lebar dan layar kaca.
Dia tampil dalam film seperti Ek Doktor Ki Maut (1990), Pita atau The Father (1991) Mujhse Dosti Karoge (1992), Karamati Coat (1993), Vaade Iraade (1994), Adhura (1995), PrivateDetective: Two Plus Two Plus One (1997), Such A Long Journey (1998), dan The Star (1999). Di televisi, wajahnya muncul di serial Chanakya (1992), Kirdaar (1993), Chandrakanta (1994), Banegi Apni Baat (1995), Just Mohabbat (1996), Satya (1997-1998), dan Star Bestsellers (1999).
Namun, tidak ada di antara film-film tersebut yang mampu memenuhi hasrat Irrfan untuk terus menjadi aktor. Serial yang dibintanginya disiarkan stasiun televisi Zee dan Star-Plus. Ini menambah rasa frustasinya. Bagi Irrfan, target dua stasiun tv itu adalah ibu rumah tanga kelas menengah dan masyarakat miskin yang tak terdidik.
Ketika ada bagian dalam serial tersebut yang mendapat pujian dari penonton, drama televisi tidak mencari inovasi lain untuk memikat penonton. Mereka terus mengulang-ulang adegan yang sama. Irrfan pun bosan.
“Mereka (stasiun tv) pernah tidak membayarku karena menilai aktingku buruk,” ucapnya.
Irrfan sudah bersiap untuk menjadi sutradara mencari kesibukan lain selain menjadi aktor. Namun niatan itu ia urungkan ketika ajakan dari sutradara Asif Kapadia datang. Film berjudul The Warrior yang rilispada 2001 berhasil membawanya kembali ke dunia seni peran.
Berperan sebagai prajurit yang meninggalkan jabatannya, Irrfan berhasil membawakan akting yang bernas. Film itu berhasil memenangkan penghargaan Alexander Korda Award untuk kategori Film Britania Terbaik dari British Academy Film Award (BAFTA). Nama Irrfan segera meroket. Dalam setahun, ia bisa saja ikut dalam sembilan produksi film.
“Itu mengubah hidupku,” tegas Irrfan.
Benar saja. Penghargaan pertama ia dapat dari film Haasil (2003) di mana ia berperan sebagai Ranvijay Singh yang bersaing dengan Gauri Shankar (Ashutosh Rana) dalam politik di Universitas Allahabad. Apiknya akting Irrfan berujung pada penghargaan Pemeran Antagonis Terbaik dari Filmfare Awards. Pencapaian ini akhirnya membuat Irrfan lebih banyak tampil sebagai tokoh antagonis dalam film-filmnya di kemudian hari.
Belum selesai, Irrfan kemudian didapuk menjadi tokoh Macbeth dalam film Maqbool (2003), karya adaptasi dari Macbeth karangan Shakespeare. Kegemilangan Irrfan bertambah setelah ia tampil dalam film bertaraf Hollywood untuk pertama kalinya, Slumdog Millionaire (2008), The Amazing Spider-Man (2012), dan Life of Pi (2012). Akting Irrfan di tiga film ini makin membuat namanya dikenal orang-orang Hollywood.
Satu lagi yang tak kalah trengginas adalah penampilan Irrfan sebagai pemain utama di The Lunchbox (2013). Ia mendapat penghargaan dari Asian Film Awards dan Dubai International Film Festival sebagai aktor terbaik tahun itu.
Irrfan juga tampil dalam film Hollywood lain yang cukup terkenal seperti Jurassic World (2015), Inferno (2016), membuatnya berada satu layar dengan aktor senior Hollywood seperti Tom Hanks. Kenyataan ini tidak pernah ada dalam bayangan Irrfan, apalagi puluhan tahun lalu ketika ia hanya bocah kecil yang menikmati teater.
“Aku tidak pernah berharap dapat masuk ke Hollywood. Itu terjadi begitu saja. Aku hanya bermimpi menjadi aktor,” kata Irrfan seperti dikutip Economictimes.indiatimes.
Aktor Hingga Meregang Nyawa
Beberapa aktor terkenal rela melakukan apa saja untuk mendalami karakter. Di Hollywood, perubahan bentuk tubuh Christian Bale kerap dicatat sebagai contohnya.
Film American Psycho (2000) membawa Bale mengubah bentuk tubuh dari pria kurus menjadi kekar berotot. Pada 2004, Bale tampil dalam film The Machinist dan melakukan diet ekstrem dengan meminum satu gelas air, kopi, dan apel setiap hari. Beratnya hanya 54 kg, turun 27 kg dari sebelumnya.
Aktor Jake Gylenhall juga pernah mengubah bentuk tubuh pada film Southpaw (2015) dengan menaikan berat badan sekitar 12 kg. Dari pria kurus, ia berubah menjadi seorang petinju yang mempunyai badan kekar. Aktor lain juga melakukan hal yang sama, misalnya Matthew McConaughey dalam film Dallas Buyers Club (2013). McConaughey menurunkan berat badannya sebanyak 21kg.
Hal itu tidak akan kamu temui dari seorang Irrfan. Jangankan mengubah bentuk tubuh untuk peran, Irrfan bahkan tidak mau melakukan perawatan berlebih agar mempunyai bentuk tubuh atau wajah yang tampan agar digandrungi masyarakat.
“Aku pernah mencoba melakukan itu, tapi aku merasa aneh. Aku tidak bisa melakukan sesuatu yang tidak sesuai. Mulanya, aku mencoba semuanya, tapi akhirnya aku harus mengoptimalkan potensiku sendiri. [Pergi ke gim] tidak menarik buatku. Aku ingin membina hubungan dengan penonton dengan cara berbeda,” kata Irrfan dalam wawancara dengan Guardian.
Pada kesempatan lain, Irrfan menyebutkan beberapa artis idolanya, termasuk Marlon Brando dan Philip Seymour Hoffman. Satu yang paling ia puja adalah Daniel Day Lewis. Lewis terbiasa bermain satu film per tahun kemudian menghilang dari layar lebar. Itu jadi poin menarik bagi Irrfan.
“Dia tidak mengejar ketenaran,” ucap Irrfan.
Meski bermain dalam banyak film, bukan berarti Irrfan gemar menjadi mesin pencetak uang dan pemburu ketenaran. Jika ia menuruti seluruh tawaran bermain, ia punya kesempatan satu layar dengan aktor seperti Leonardo DiCaprio dan Russel Crowe dalam film Body of Lies (2008). Ia juga sempat ditawari Christopher Nolan bermain bersama McConaughey dan Anna Hathaway dalam film Interstellar (2014), tapi lagi-lagi ia menolak. Pada 2016, ia juga secara terbuka ingin dipanggil sebagai Irrfan daripada terkenal sebagai seorang "Khan." Terlalu banyak "Khan" yang menghiasi Bollywood.
Irrfan yang biasanya tampil santai bisa menjadi sangat selektif soal peran. Baginya, jika ada tawaran peran yang hanya memberi ketenaran dan uang tanpa peningkatan kemampuan akting, maka ia tak perlu mengejarnya.
“Aku sudah punya janji dengan film Shoojit Sircar dan tidak ada penyesalan apapun tentang itu. Piku adalah film penting dalam karierku,” kata Irrfan ketika menolak tawaran main dalam film The Martian (2015) untuk bermain dalam Piku (2015) seperti dilansir Hindustan Times.
Kendati sudah mendapat banyak tawaran dari Hollywood, Irrfan tak segan bolak-bolik India-AS untuk bermain dalam film Bollywood. Itu membuatnya lebih banyak kesempatan memuaskan dirinya dalam dunia seni peran.
Seperti yang pernah dikatakannya: “Tidak ada batasan umur dalam berakting. Dirimu sendirilah senjatamu.”
Benar belaka pernyataan Irrfan. Sebelum infeksi ginjal yang disebabkan tumor neuroendokrin mengantarkannya ke ajal, Irrfan masih terus melakoni pengambilan gambar untuk film terakhirnya, Angrezi Medium (2020).
Bagi Irrfan, ketenaran justru bisa menjadi momok yang menakutkan. Di akhir wawancara dengan Guardian pada 2013 lampau, Irrfan mengaku puas dengan hidupnya yang kala itu belum terlalu ramai oleh tawaran film Hollywood.
“Aku sudah kehilangan godaan yang bisa datang dari ketenaran. Suatu hari aku ingin hidup tanpa ketenaran. Sekarang, aku menikmati itu.”
Editor: Windu Jusuf