tirto.id - Infrastruktur adalah isu yang menjadi jantung kepresidenan Jokowi dan beserta kampanyenya dalam Pilpres 2019. Di sejumlah liputan media, Jokowi sering tampil dengan helm putih sebagai presiden yang selalu menyempatkan diri untuk memeriksa dan meresmikan proyek infrastruktur di seluruh Indonesia. Jokowi mengaku telah berhasil membangun 947 km jalan tol, 3.432 km jalan raya, 39 km jembatan, 10 bandara, 19 pelabuhan, dan 17 bendungan hanya dalam periode empat tahun.
Dalam pidatonya di debat Pilpres kedua, Jokowi mengklaim bahwa dana desa yang ia salurkan telah menghasilkan 191.000 km jalan desa dan 58.000 unit irigasi dalam tiga tahun terakhir. Ia yakin pembangunan infrastruktur secara masif akan memajukan perekonomian Indonesia.
Yang dilakukan Jokowi tak perlu dibantah. Ekonom pembangunan akan sepandangan bahwa membangun infrastruktur akan meningkatkan mobilitas, mengurangi biaya logistik, dan mendorong perekonomian inklusif. Mahzab Keynesian juga akan mendukung belanja pemerintah untuk infrastruktur karena kebijakan fiskal yang demikian akan menstimulasi pertumbuhan. Dan semua akan setuju bahwa Indonesia perlu membangun infrastruktur secara cepat untuk menebus ketertinggalan.
Menurut Laporan Global Competitiveness Report 2018 dari World Economic Forum, infrastruktur Indonesia mendapatkan nilai 67 dari 100, dengan kinerja buruk terutama pada indikator seperti konektivitas jalan, kualitas jalan, kepadatan kereta api, dan konektivitas pengiriman via kapal. Indonesia bertengger di peringkat 71 dari 140 negara yang diteliti, di bawah India (63), Thailand (60), Malaysia (32), Cina (29), dan Singapura (1).
Di luar semangat menggebu Jokowi, saya berpendapat ada masalah dalam realisasi proyek pembangunan infrastruktur Indonesia. Mayoritas kebijakan infrastruktur Jokowi dikerjakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Meski BUMN telah terbukti cepat memberikan hasil, ketergantungan yang berlebihan pada BUMN dapat “meminggirkan” perusahaan swasta dan mendorong keluar (crowd out) investasi swasta di industri konstruksi dalam negeri. Akibatnya, persaingan antar kontraktor pun surut dan jumlah sumber daya yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur dibatasi. Kelak hal ini dapat merugikan perekonomian Indonesia.
Sayangnya, di saat isu infrastruktur menjadi topik yang terus dibicarakan sepanjang kampanye, kubu Prabowo-Sandi tidak juga menawarkan strategi alternatif yang realistis dalam rangka menarik investasi swasta dan mengatasi defisit infrastruktur di Indonesia.
BUMN: Alat yang Berguna
Paling tidak ada dua alasan praktis yang bisa menjelaskan mengapa Jokowi memilih BUMN untuk mengerjakan proyek infrastruktur. Pertama, penunjukan BUMN lebih cepat dibandingkan proses tender dengan sektor swasta. Dalam kasus jalan tol, misalnya, suatu proyek perlu melalui beberapa tahapan sebelum konstruksi dimulai: penentuan lokasi, studi kelayakan, pengadaan, pembebasan lahan, dan sebagainya. Salah satu tahapannya, yaitu pengadaan proyek, mengharuskan beberapa perusahaan berpartisipasi dan memberi penawaran harga untuk spesifikasi yang diminta. Proses ini dapat memakan waktu berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Jika tidak ada penawaran yang lolos di babak awal, tak mustahil proses tendernya diulang. Sementara itu, penugasan BUMN hanya membutuhkan surat dari Presiden yang berupa peraturan presiden.
Alasan kedua, pemerintah lebih punya kontrol terhadap BUMN dibandingkan perusahaan swasta. Meskipun direksi BUMN mendapat otonomi manajerial dan keputusannya kerap dipengaruhi oleh kondisi pasar, BUMN secara de facto adalah bagian dari pemerintah. Presiden, melalui Menteri BUMN, menunjuk dewan komisaris dan dewan direksi perusahaan.
Penunjukan yang demikian seringkali dipandang politis. Pada periode pertama menjabat, Jokowi menunjuk orang-orang yang tampaknya memiliki koneksi politik dengan dirinya sebagai komisaris BUMN, termasuk mantan penasihat dan Menteri Bappenas Andrinof Chaniago (Angkasa Pura 1), Hironimus Hilapok (Adhi Karya), Fadjroel Rachman (Adhi Karya), dan Imas Aan Ubudiah (Wijaya Karya). Dengan pengawasan langsung Dewan Komisaris atas manajemen senior di BUMN, bisa dibilang kebijakan dan keputusan strategis perusahaan pun sangat dipengaruhi atau sebagian (jika tak semuanya) dirancang oleh orang-orang kepercayaan Presiden.
Kontrol yang lebih besar terhadap strategi perusahaan juga menguntungkan Jokowi manakala proyek infrastruktur yang ditawarkan memiliki tingkat kelayakan atau tingkat pengembalian yang tidak pasti. Salah satu contohnya adalah Light Rapid Transit (LRT) di Palembang, Sumatera Selatan (yang sempat dikritik oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla karena sepi penumpang).
Pada 2015 dan 2016, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menunjuk langsung BUMN Waskita Karya sebagai kontraktor pembangunan LRT tersebut dengan mandat selesai Juni 2018, tepat sebelum perhelatan Asian Games tahun lalu. Perusahaan swasta jelas tidak akan tertarik dengan proyek seperti ini, sedangkan BUMN dalam kasus LRT justru memandangnya sebagai perintah untuk dilaksanakan.
Kontras dengan preferensi Jokowi terhadap BUMN, Bappenas sebetulnya telah berupaya meningkatkan partisipasi perusahaan swasta dalam pembangunan infrastruktur domestik. Hal ini diimplementasikan melalui skema-skema seperti Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA). Melalui KPBU, pemerintah bersama dengan sektor swasta berbagi risiko dan imbal hasil. Sementara PINA adalah skema pembiayaan yang sepenuhnya ditanggung oleh sektor swasta di mana pemerintah memberikan dukungan kebijakan.
Sayangnya, hingga hari ini partisipasi sektor swasta masih minim. Tahun lalu, Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro mengumumkan kebutuhan investasi Indonesia selama 2015-2019 yang mencapai angka US$359 miliar (PDF). Dari total jumlah tersebut, APBN dan BUMN masing-masing hanya dapat menanggung sekitar 41% dan 22%. Dengan kata lain, sisanya yakni sebesar US$131 miliar membutuhkan sumber pembiayaan swasta.
Upaya pemerintah ini tidak mendapat sambutan dari sektor swasta. Pada akhir 2017, Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Rosan Roeslani menyoal dominasi BUMN di proyek infrastruktur domestik: “Di banyak kesempatan, Pak Presiden, saya sampaikan, berikan kesempatan pertama pada pengusaha nasional, kalau enggak mampu, baru BUMN”. Senada dengan Rosan, Andri Rukman Karumpa, Sekretaris Jenderal Badan Pimpinan Pusat Gapensi, berharap perusahaan konstruksi swasta diberi peran lebih besar, terutama di level lokal. “Jadi ada sinergi. Jangan BUMN bersinergi dengan anak BUMN, tapi dengan swasta. Itu harapan kami,” kata Andri. Tahun ini, GAPENSI mencatat sejumlah kontraktor lokal skala kecil terpaksa gulung tikar karena tekanan pasar.
Tampaknya untuk saat ini, prioritas pemerintah adalah kecepatan penyelesaian proyek—suatu keunggulan yang dimiliki BUMN. Pada November 2017, Menteri BUMN Rini Soemarno mengakui bahwa pemerintah masih memilih BUMN untuk mengambil proyek yang perlu diselesaikan dengan cepat. Secara terbuka ia menyatakan kemampuannya untuk “menekan” BUMN demi tercapainya target. Rini juga mengingatkan, “...Karena negara bisa dengan mudah mencopot dirutnya kok. Presiden dengan mudah mencopot dirutnya.” Dengan keberpihakan yang seperti ini, tak mengherankan jika kemudian partisipasi sektor swasta tidak tumbuh.
Mengecilkan Investasi Swasta?
Sikap agresif Jokowi dalam pembangunan infrastruktur dapat berdampak negatif. Sebagaimana diakui oleh KADIN dan GAPENSI, dominasi BUMN mendorong sektor swasta ke luar pasar konstruksi domestik. Tanpa partisipasi sektor swasta yang sehat, hanya ada sejumlah kecil perusahaan milik negara yang bersaing mengerjakan proyek-proyek potensial. Bisa jadi ada beberapa perusahaan swasta yang bertahan di pasar—kemungkinan besar yang modalnya besar atau koneksi politiknya kuat.
Dinamika pasar semacam ini tidak akan mendukung terciptanya persaingan usaha yang sehat ataupun tata kelola perusahaan yang baik. Perusahaan tak lagi memiliki insentif untuk meningkatkan kualitas atau menurunkan harga—toh mereka tetap akan mendapatkan jatah proyek.
Situasi mungkin lebih buruk apabila proyek dengan potensi untung yang menggiurkan diserahkan kepada BUMN. Investasi seperti listrik, bandara, jalan tol, dan pelabuhan relatif menguntungkan, walaupun membutuhkan waktu lama untuk mencapai titik impas. Dalam proyek semacam itu, idealnya pemerintah berperan sebagai regulator pasar, bukan sebagai produsen. Namun, yang ditemukan di Indonesia justru menunjukkan hal yang berlawanan. Dengan dukungan pemerintah, BUMN tetap saja berperan utama dalam proyek-proyek jalan tol, bandara, dan pelabuhan di Jawa.
Akibatnya, kontraktor swasta hanya mendapat pilihan proyek yang lebih terbatas plus tingkat pengembalian yang kurang menjanjikan. Dengan keterbatasan anggaran pemerintah, semakin banyak yang dialokasikan untuk proyek komersial, semakin sedikit yang tersedia untuk infrastruktur sosial seperti fasilitas sekolah, kesehatan, dan pertanian. Bappenas mungkin sangat memahami trade-off ini. Namun, perintah Jokowi-lah yang akhirnya akan menentukan.
Akhirnya, dengan begitu banyak proyek yang harus dikerjakan, BUMN akan membutuhkan uang tambahan untuk membiayai operasi mereka. Dana biasanya berasal dari pinjaman baik yang dilakukan langsung oleh perusahaan atau melalui anggaran negara untuk kemudian disalurkan sebagai suntikan modal. Secara teoritis, ketika BUMN meminjam sejumlah besar uang dari lembaga keuangan untuk investasi infrastruktur, permintaan akan dana pinjaman meningkat.
Di sisi lain, jumlah dana yang tersedia relatif sama, sehingga kompetisi yang tercipta akan meningkatkan suku bunga. Hal ini akan menahan perusahaan-perusahaan swasta dari meminjam uang modal atau operasional—dengan kata lain, crowding out investasi swasta dalam jangka panjang. Tidak hanya menghilangkan potensi pembagian risiko antara pemerintah dan sektor swasta, hal ini juga dapat mengurangi sumber daya yang tersedia untuk mendukung investasi infrastruktur, dan pada gilirannya akan mengurangi output nasional.
Penjelasan ini tidak lantas memaknai keterlibatan sektor swasta sebagai obat mujarab untuk semua masalah. Proyek Jalan Tol Bogor–Ciawi–Sukabumi (Bocimi) adalah salah satu contoh yang memperlihatkan kegagalan perusahaan swasta dalam menyelesaikan proyek meskipun hak konsesi telah lama diberikan. Pemerintah telah memberikan hak konsesi pada 1997, namun proyek tersebut baru efektif mulai dikerjakan pada 2015 saat Jokowi menunjuk BUMN. Risiko korupsi juga tidak serta-merta menghilang ketika proyek diambil alih oleh perusahaan swasta. Pada 2018 saja, sejumlah kepala daerah tersandung kasus korupsi yang berkaitan dengan proyek infrastruktur.
Kubu Seberang Punya Rencana?
Kubu Prabowo-Sandi sering mengkritisi pendekatan Jokowi dalam membangun infrastruktur melalui BUMN. Dalam wawancara ekslusif dengan New Mandala, Sandiaga Uno mendukung partisipasi sektor swasta yang lebih besar dalam pengembangan infrastruktur, bahkan oleh perusahaan asing.
Persoalannya, visi Sandi dan Prabowo masih belum jelas di tataran praktik. Dalam wawancara terpisah, Suhendra Ratuprawiranegara, juru bicara infrastruktur Prabowo-Sandi dan mantan staf khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan, menjelaskan bahwa evaluasi menyeluruh atas kerangka peraturan yang ada adalah salah satu rencana utama yang akan dilakukan Prabowo-Sandi dalam 100 hari pertama pemerintahan jika terpilih: “...tentu akan mengevaluasi regulasi-regulasi yang menghambat program pembangunan infastruktur. Harus dibuat skema yang jelas antara kerjasama Pemerintah- BUMN-Swasta”. Akan tetapi, ketika ditanya peraturan mana dari era Jokowi akan dilanjutkan, direvisi, atau dihapus oleh Prabowo-Sandi, Suhendra tidak mampu menyebutkannya secara spesifik.
Di sinilah persoalannya menjadi rumit. Dengan memiliki lebih banyak pemain swasta di pasar, Sandiaga dan Prabowo bermaksud menambah dana untuk infrastruktur dari yang dicakup oleh APBN dan BUMN. Hal itu terdengar seperti rencana yang baik. Tapi mampu atau tidak mereka mewujudkannya akan tergantung pada detail implementasinya. Insentif dan dukungan pemerintah apa yang harus disediakan agar perusahaan swasta mau masuk ke pasar domestik? Apa yang harus dilakukan untuk mendorong persaingan sehat dan menghindari praktik kartel antar-kontraktor besar? Pengawasan seperti apa yang harus diterapkan agar pengerjaan infrastruktur oleh sektor swasta tidak melibatkan patronase politik dan menjadi ladang subur korupsi?
Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab, terlebih melihat latar belakang ekonomi politik kandidat. Selama kepentingan bisnis tertentu—baik negara atau swasta—masih mendikte penerapan kebijakan infrastruktur, sulit mengharapkan terciptanya kompetisi yang sehat antar-pemain di pasar infrastruktur dalam negeri.
Masalah yang Belum Ditangani
Infrastruktur mengubah kehidupan masyarakat. Hal ini berlaku di pulau-pulau terpencil di Indonesia timur dan desa-desa kecil di Kalimantan, sama halnya seperti di kawasan bisnis di Jakarta. Namun, pembangunan infrastruktur yang dikelola dengan buruk dapat pula menjadi beban bagi masyarakat. Kelak siapa pun yang memenangkan Pilpres akan menghadapi kompleksitas yang sama. Siapa pun yang menang, semua masalah di atas harus diatasi dengan hati-hati, terutama jika tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi jadi sasaran.
Pada akhirnya, pertanyaan yang relevan soal infrastruktur bukanlah apakah perlu membangun, tetapi bagaimana membangun dan bagaimana membiayainya sehingga dana publik bisa disalurkan di tempat yang tepat.
-----------------
Sebelum diterjemahkan oleh Levriana Yustriani, tulisan ini terbit dalam bahasa Inggris di New Mandala dengan judul "Building a better infrastructure policy after Indonesia’s elections". Penulisnya, Aichiro Suryo Prabowo, adalah seorang ekonom yang mengajar di Universitas Indonesia, Depok. Selama Pemilu 2019, ia menjadi New Mandala Indonesia Correspondent Fellow yang menulis isu kebijakan infrastruktur.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.