tirto.id - Pukul 8 pagi, massa berkerumun di sekitar Trisakti, juga di daerah tanah Abang dan Pasar Rumput. Sejam kemudian massa merangsek ke beberapa titik, di antaranya perempatan Roxy Mas. Tempo.co mencatat, pukul 12 terjadi pembakaran pertama di dekat kampus Trisakti. Sore, massa sudah menyebar ke Cengkareng dan Glodok.
Lalu, terjadilah peristiwa yang kemudian menjadi catatan kelam negeri ini: perusakan, pembakaran, serta penjarahan toko-toko di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, 13 Mei 1998. Belum lagi kekerasan secara umum dan kekerasan seksual terhadap etnis Tionghoa.
Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipimpin Marzuki Darusman, tercatat bahwa selain adanya massa aktif dan pasif, ada juga orang-orang yang berperan sebagai provokator.
“Kelompok inilah yang menggerakkan massa, dengan memancing keributan, memberikan tanda-tanda tertentu pada sasaran, melakukan pengrusakan awal, pembakaran, mendorong penjarahan,” demikian laporan TGPF.
Laporan itu juga mencatat provokator memancing massa dengan berbagai tindakan, di antaranya meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi. Lalu mereka mendorong massa untuk melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul penjarahan, dan juga pembakaran gedung.
Ujaran kebencian dari provokator, ditambah konteks ekonomi dan politik serta adanya pola sistematis yang menggerakkan kerusuhan, membuat kerusuhan terjadi secara massif dan secara khusus menyasar kelompok etnis Tionghoa.
Ujaran Kebencian lewat Medium Internet
Dengan ruang yang relatif terbatas, provokasi dengan kebencian pada masa itu bisa menghasilkan kerusuhan besar. Sekarang, meminjam istilah sosiolog Manuel Castells, ruang para penyebar kebencian tak terbatas ruang tempat (space of place), melainkan ruang aliran (space of flow).
Yang menjadi prasyarat berlipatnya luas ruang gerak para pembenci adalah, tentu saja, internet.
Jika di Rwanda dulu pernah terjadi perburuan suku Tutsi oleh suku Hutu yang diamplifikasi ujaran kebencian lewat radio, maka di zaman sekarang amplifier itu adalah internet. Khususnya media sosial, yang banyak orang mengaksesnya dengan mudah setiap waktu—setidaknya—dari telepon pintar.
Pada 30 Juli lalu, terjadi pembakaran dua vihara dan lima kelenteng di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Seperti diberitakan Tribunnews.com, kerusuhan ini berawal dari keluhan seorang ibu soal speaker mesjid di dekat rumahnya yang disetel dengan volume tinggi. Sebagian warga tak terima dengan keluhan itu sehingga perdebatan berujung ke kantor polisi.
Di situ sudah ada kerumunan masa. Dalam waktu hitungan jam, massa bertambah dan bergerak ke Vihara Juanda. Gerakan massa bertambah sehingga akhirnya ada dua vihara dan lima kelenteng terbakar.
Beberapa hari sejak kejadian itu, ada yang dijadikan tersangka tersebab ditengarai menyebarkan kebencian lewat akun Facebook-nya. AT, warga Jakarta, ditangkap setelah ia mengirim status yang menggiring kejadian Tanjung Balai diarahkan agar seperti kerusuhan 1998.
AT menulis, “Tanjung Balai Medan Rusuh 30 Juli 2016…!! 6 Vihara dibakar buat Saudara Muslimku semua mari rapatkan barisan… Kita buat Tragedi 98 terulang kembali.”
Polisi seperti diberitakan Antara, akan menjerat tersangka dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman paling lama 6 tahun penjara.
Penanggulangan
Selama ini, diketahui bahwa UU ITE cukup kontroversial. Dalam beberapa kasus, ia dipersepsikan mirip dengan undang-undang subversif peninggalan pemerintahan Hindia Belanda yang tiap waktu bisa menjadi pasal karet.
Tapi di sisi lain, pasal yang menghukum ujaran kebencian lewat internet diperlukan. Uni Eropa Mei lalu mengeluarkan kode perilaku atau semacam kode etik untuk memerangi ujaran kebencian. The Guardian melaporkan pembuatan kode itu melibatkan empat raksasa internet: Facebook, Twitter, YouTube, dan Microsoft. Intinya adalah perang terhadap rasisme dan xenophobia.
Kode itu juga mendorong media sosial agar lekas menanggulangi laporan konten yang mengarah pada kebencian, dalam waktu kurang dari 24 jam.
“Serangan teror belakangan ini mengingatkan kita soal kebutuhan urgen untuk mengatasi ujaran kebencian ilegal,” kata Vĕra Jourová, komisioner Uni Eropa untuk kesetaraan keadilan, konsumen, dan gender. “Media sosial sayangnya adalah salah satu alat yang digunakan oleh kelompok teroris untuk meradikalisasi anak muda dan alat yang digunakan rasis untuk menyebarkan kekerasan dan kebencian.”
Definisi ujaran kebencian dalam dokumen itu: “semua perilaku yang secara publik menghasut kekerasan atau kebencian yang diarahkan pada kelompok atau orang-orang atau seorang anggota dari kelompok tertentu, yang mengacu pada ras, warna kulit, agama, asal-usul etnik keturunan maupun bangsa.”
Jika melihat itu, provokasi-provokasi yang terjadi di Indonesia pada 1998 adalah ujaran kebencian. Juga yang terjadi di Tanjung Balai: seorang etnis Tionghoa terkait “konflik” kemudian persoalannya dinisbahkan pada seluruh anggota kelompok etnis dan agama yang bersangkutan. Demikian pula provokasi dalam status Facebook tersangka AT di Jakarta.
Selain digunakan Islamis dalam berbagai tingkatan, ujaran kebencian juga dilakukan oleh kelompok-kelompok anti-Islam. Huffingtonpost.com melaporkan grup advokasi muslim di Amerika Serikat, Muslim Advocates, mengingatkan bahwa ujaran kebencian di internet bisa memotivasi orang untuk melakukan kekerasan terhadap muslim.
“Ketika kamu mendapat komentar online yang mengancam dan itu tak terperiksa, orang-lorang kemudian berpikir itu adalah hal yang bisa diterima,” kata Madihha Ahussain, salah seorang pengacara kelompok itu.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Jika provokasi-provokasi yang ditengarai dilakukan AT dibiarkan tanpa kriminalisasi, semakin banyak orang yang akan menganggap itu hal yang wajar. Internet akan semakin dianggap sebagai padang untuk beternak kebencian.
Tapi, memproduksi perangkat hukum untuk menindak pelaku ujaran kebencian adalah satu hal. Ada perkara lain yang tak kalah penting bagi para pembuat dan penegak hukum: memisahkan ujaran kebencian dan kebebasan berpendapat sebagai dua fasa yang berbeda, sehingga kebebasan berpendapat tidak dikelirukan—dan dikriminalkan—sebagai ujaran kebencian.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti