tirto.id - Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Arkand Bodhana Zeshaprajna mengusulkan Indonesia ganti nama jadi Nusantara. Doktor dari University of Metaphysics International Los Angeles, California, itu, beralasan dilihat dari sisi metafisika nama Indonesia tidak memberi energi positif terhadap bangsa ini.
“Beda dengan Nusantara yang tidak mengandung angka merah sehingga bisa membuat kehidupan orang-orang di dalamnya semakin baik,” katanya.
Lepas dari pernyataan Arkand, upaya mengubah nama demi nasib yang lebih baik bukanlah perkara baru dalam tradisi masyarakat dunia. Di Indonesia, saat seorang anak sakit-sakitan, misalnya, tak jarang ibu-bapaknya memilih jalan mengganti nama agar si anak hidup lebih sehat di kemudian hari. Di belahan dunia lain, atas nama nasionalisme, pemerintah Ceylon mengubah sebutan negaranya menjadi Sri Lanka (yang terasa sangat Tamil) agar lepas dari bayang-bayang kolonialisme Inggris.
Sementara saat menjabat sebagai presiden, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (nama kecilnya adalah Abdurrahman Ad-Dakhil) merestui keinginan sejumlah kalangan yang—atas pertimbangan historis—menghendaki nama Irian Jaya kembali jadi Papua.
Apa pun motif yang mendasarinya, contoh-contoh di atas menunjukkan: nama adalah urusan pertama yang dipercaya dapat mendatangkan kebaikan sekaligus menumbuhkan kebanggaan. Karena itu, tak jarang perubahan nama di sejumlah daerah kerap diikuti ritual-ritual tertentu, misalnya membuat bubur putih dan bubur merah.
“Nama memperlihatkan waktu, tempat, suasana, peristiwa, status sosial, sejarah, dan tradisi. Nama menjelaskan produk masyarakat yang merujuk pada budaya, nilai, cita-cita, harapan, hingga doa,” kata Daniela Cavallaro dalam Critical and Cultural Theory: Thematic Version (2011).
Dalam bisnis pun persoalan nama alias merek (brand) juga tak bisa dipandang sebelah mata. Michael Dula, dalam tulisannya di laman Branding Business, mengungkap bahwa perusahaan berevolusi dan berubah sesuai dengan dinamika pasar, termasuk logo atau merek. “Logo maupun merek perusahaan harus relevan dengan strategi perkembangan bisnis,” tulis Dula.
Jawara industri semen tanah air, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, belum lama ini juga melakukan rebranding. Dengan merek baru SIG, mereka bertransformasi dari perusahaan persemenan menjadi perusahaan penyedia solusi bahan bangunan.
“Perseroan ingin menjadi yang terdepan dalam memberikan solusi bahan bangunan yang inovatif, terbaru dan bernilai di kancah regional,” kata Direktur Utama SIG Hendi Prio Santoso. Hendi menekankan, solusi yang diciptakan tidak hanya memenuhi harapan stakeholder, tapi sekaligus menjadi pendorong bagi tumbuhnya industri bahan bangunan yang berkelanjutan.
“SIG berkomitmen menjadi bagian dari penciptaan sustainable living, tidak hanya dengan mengadopsi inovasi yang dapat membantu pengurangan dampak lingkungan dan konservasi sumber daya dalam dalam proses produksinya, tapi juga dengan mengubah gaya hidup masyarakat,” sambung Hendi.
Disinggung soal makna sustainable living, Hendi menerangkan hal itu mengacu pada gaya hidup yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan demi meningkatkan kualitas kehidupan di masa mendatang. “Secara praktik, sustainable living dilakukan dengan menggunakan sumber daya secara bertanggung jawab. Salah satunya dengan memilih dan menggunakan produk bahan bangunan yang memperhatikan keberlanjutan.”
Untuk diketahui, industri bahan bangunan (building materials)—dilihat dari bahan atau materialnya—terdiri atas beberapa segmen, antara lain: semen (meliputi semen, beton, agregate), logam (baja, besi, aluminium), dan keramik (kaca, plastik, cat). SIG akan fokus dalam menyediakan berbagai bahan bangunan berbahan baku semen, baik itu berbagai varian beton, mortar (atau semen siap pakai), maupun produk–produk turunan lainnya yang sedang dikembangkan (antara lain, bata ringan, prefabricated product dan modular house).
Selain produk, SIG mengintegrasikan berbagai layanan terkait dengan kebutuhan pembangunan, seperti kebutuhan akan design (arsitek) dan builder (kontraktor) dalam platform jaringan yang berbasis online: Sobat Bangun. Platform ini diharapkan dapat menjadi solusi yang memudahkan stakeholder dalam memenuhi kebutuhan bahan bangunan.
Sebagai sebuah industri, sektor building materials tak bisa dilepaskan dari sektor lainnya, salah satunya dengan sektor konstruksi. Di mata SIG, tantangan demi tantangan di industri konstruksi adalah salah satu trigger untuk mengembangkan solusi dan produk.
“Salah satu contohnya adalah permasalahan construction waste yang besar akibat pemakaian produk dan teknologi konstruksi kurang efisien. Selain mengakibatkan biaya proyek yang semakin meningkat, pola konstruksi yang kurang tepat dapat menambah waktu proyek, hal yang tentunya menambah biaya tenaga kerja proyek,” kata Direktur Pemasaran dan Supply Chain SIG Adi Munandir.
Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi menyebut gebrakan baru SIG di industri konstruksi adalah suatu keniscayaan. Pasalnya, di era Revolusi 4.0 ini, perusahaan demi perusahaan mapan yang tak bisa menyesuaikan diri dengan situasi zaman dan pasar pelan-pelan bertumbangan.
“Dari beberapa perusahaan BUMN yang kami perhatikan, SIG menjadi perusahaan paling baik dalam menghadapi perubahan,” kata Budi, di sela gelaran launching Rebranding Semen Indonesia, Selasa (11/2).
Budi juga berharap ke depannya produk-produk SIG bisa digunakan sebagai komponen utama dalam membangun perumahan rakyat, gedung-gedung, serta bangunan monumental di Indonesia.
Harapan Budi besar kemungkinan bakal terwujud, sepanjang SIG konsisten mewujudkan visinya: menjadi penyedia solusi bahan bangunan terdepan di regional dengan menyediakan berbagai produk dan layanan yang lengkap dan berkualitas.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis