tirto.id - Nama-nama masyhur seperti Iwa K, Reza Artamevia, Raisa, atau Afgan, sering jadi magnet bagi sebuah festival untuk mendatangkan penonton. Namun di Flavs Festival 2022, ternyata ada banyak acara dan penampil lain yang jadi pusat perhatian penonton.
Di festival ini pula, Flavs membuktikan peran vitalnya, menjadi kawah candradimuka bagi para seniman-seniman muda di kancah hip-hop.
Sebelum Flavs Festival 2022 diadakan selama dua hari pada tanggal 10-11 September 2022, penyelenggara festival bersama Yacko sebagai Director of Program sudah bergerilya. Dimulai sejak bulan Mei, mereka berkeliling Indonesia, membuka telinga dan mata lebar-lebar guna mendapat bibit-bibit baru di kancah hip-hop dan selingkarnya: b-boys, beatbox, DJ, juga seniman grafiti.
Diuntungkan dengan kemajuan teknologi yang meniadakan jarak, pihak penyelenggara mengundang komunitas dari seluruh Indonesia untuk mengikuti seleksi secara virtual, untuk akhirnya memboyong peserta terpilih ke Jakarta untuk bertarung secara langsung.
“Yang membedakan Flavs Festival dengan festival-festival lain adalah adanya ajang battle, yang memang merupakan ranah dari hip hop, yaitu battle atau hustle. Namun lebih dari itu, kami memang punya tujuan untuk mencari dan melahirkan generasi baru dari hip hop,” ujar Yacko.
Dari sana, tidak hanya sukses menciptakan atmosfer yang chill dan fun, Flavs Festival juga menjadi wadah bagi banyak komunitas dan pelaku b-boy, beatbox, dan juga rap dari seluruh Indonesia untuk unjuk gigi. Pelaku ini bertarung di atas panggung, baik dengan gerakan, lirik, bunyi, atau nada, dengan satu tujuan: bertarung untuk menciutkan mental lawan, dan menjadi kawan setelahnya.
Panggung untuk Para Petarung
Menurut Yacko, festival yang sudah diadakan selama tiga kali ini pada akhirnya berhasil menghadirkan generasi baru yang sebenarnya sudah memiliki jam terbang di daerahnya masing-masing. Namun ketiadaan panggung besar yang mau menampilkan mereka, membuat banyak penampil ini belum pernah mencicipi manggung di depan ratusan, atau ribuan orang. Hal ini diakui beberapa peserta battle yang mengganggap Flavs Festival sebagai panggung besar pertama yang pernah mereka ikuti, terlepas dari pengalaman mereka di daerahnya masing-masing.
Maka di Flavs Festival 2022, para artis dari seluruh penjuru Indonesia ini bersiap habis-habisan demi penampilan yang memukau.
Salah satunya adalah Ibnu a.k.a Wainu (22) yang datang dari Medan dan berhasil maju ke semifinal “Beatbox Battle”. Di semifinal, lawannya tangguh: Rafly alias Hooka (23), beatboxer asal Lampung yang sudah menjajal panggung hingga tingkat Asia.
Bukan kali ini saja Rafly menjadi favorit dalam ajang battle beatbox. Sejak terjun ke kancah beatbox Indonesia pada 2011 silam, nyaris tak terhitung kemenangan yang ia raih. Ia dikenal fasih dalam design sound, lihai menggabungkan berbagai teknik beatbox, lantas menghasilkan bunyi ritmis berbagai instrumen musik. Kemampuannya ini memukau banyak orang: penonton, juri, juga lawan.
Di semifinal itu, Ibnu harus mengaku kalah.
“Kecewa sih dengan kekalahan ini. Tapi Rafly memang sudah punya ciri khas suaranya sendiri. Kemampuannya sudah terbukti di berbagai ajang beatbox,” ujar Ibnu.
Ia mengakui sempat gamang harus melawan Rafly. Padahal, di Medan, ia sudah cukup banyak memenangkan ajang beatbox. Mengasah mental di panggung dan lawan yang sudah punya jam terbang tinggi, menjadi pelajaran penting bagi Ibnu kali ini.
Memang ini adalah salah satu tujuan Flavs Festival. Yacko berharap para seniman hip-hop generasi baru ini, yang biasanya banyak melakukan aksi di kanal Youtube, dapat mengasah kemampuannya untuk tampil secara langsung di panggung besar.
Walau tidak memiliki klasifikasi pro/non-pro, battle dilakukan dengan penilaian seperti pada kategori rap battle profesional, dengan indikator word play, metafor, pemilihan kata, dan juga punch line. Sedangkan penilaian pada kategori beatbox dinilai dari originalitas, tempo, musikalitas, serta stage act.
“Yang paling penting adalah jangan sampai ada pelecehan. Battle nggak harus menyerang atau berkata tidak senonoh. Peserta bisa mengalahkan lawan dengan cara yang lebih keren,” tambah Yacko.
Di final, Rafly menghadapi beatboxer asal Situbondo, Given (21). Sebelumnya, Given mengalahkan Azzar alias Azzr (18), beatboxer asal Malang yang juga sudah banyak menjuarai turnamen beatbox di daerahnya. Meski kalah, Azzr mengaku senang bisa tampil dan berlaga di festival sebesar Flavs.
Given tampil bersemangat di final. Baginya, Rafly, dan juga para lawan lain yang ia hadapi, adalah sumber inspirasi, bukan hal yang perlu ditakuti. Menurutnya, bunyi-bunyi yang ia hasilkan lahir dari pengamatan terhadap lawan. Itu kenapa ia rajin mendokumentasikan penampilan lawan lewat telepon selulernya. Dari video itu, ia melakukan riset tentang kekuatan dan kelemahan lawan.
Yacko mengakui, kehadiran Rafly sebagai unggulan di ajang ini memiliki dua dampak. Ia bisa membuat lawannya patah semangat, atau justru membuat peserta bersemangat karena dapat melawan Rafly yang reputasinya sudah harum.
Sayang, gelora yang terlalu besar membuat Given tampil teledor dan membuatnya kandas.
“Saking semangatnya, emosi saya jadi tidak terjaga, sehingga saya kehilangan beat saya,” ujar Given.
Ajang ini menjadi latihan para peserta untuk menjadi lebih tangguh dari sebelumnya. Begitu juga bagi Rafly, tantangan berikutnya baginya menurut mayoritas peserta adalah bertarung tingkat di level internasional, atau bahkan menjadi juri di ajang di Indonesia.
Hormat pada Lawan
Dalam Rap Freestyle Battle, juri menganggap peserta kurang berani menggebrak lawan. Terlalu kalem. Sepertinya masih ada budaya sungkan di sana.
Meski begitu, beberapa kali ada punch line menonjok, dengan rima dan pilihan kata yang apik.
Sayangnya, ada beberapa lontaran kata yang menyinggung SARA di perempat final. Ini dilakukan oleh Yohanis a.k.a Parker (22) asal Sorong. Pada dasarnya, hampir semua peserta sempat melontarkan kata rasis, juga merendahkan fisik lawan. Namun menurut Parker, yang ia lakukan itu merupakan ketidaksengajaan.
Upaya untuk melumpuhkan mental lawan dengan teknik punch line dilakukan peserta dengan mengeluarkan seruan yang menggambarkan ketidakmampuan lawan dalam rap dan tidak layak berada di panggung battle. Isu terkait ketimpangan dalam birokrasi, politik, dan sosial juga muncul beberapa kali. Namun, gemuruh teriakan penonton terdengar lebih keras selalu terjadi pada setiap kata yang menyudutkan lawan dan dilakukan dengan rima dan pilihan kata yang mengena.
Di atas panggung, semua yang dipersiapkan bisa buyar seketika. Otak terus dipaksa berimprovisasi dengan cepat, mencari kata yang tepat. Ia juga harus mengikuti kata yang ditetapkan penyelenggara di layar. Belum lagi keharusan menjaga rima, dan juga nada. Gabungan semua tekanan itu bisa menghasilkan blunder yang sebenarnya tak diinginkan.
“Nggak ada niat untuk menang dengan merendahkan lawan. Battle ini memang keras. Kita nggak bisa menyusun kata-kata sebelumnya. Vitalitas di atas panggung saat nge-rap harus dijaga, salah satunya dengan menjaga rima selama battle. Jadi bisa jadi kita terjebak sama rimanya, dan kejadian kayak gue tadi yang sempat mengeluarkan kata rasisme,” ujar pria yang hobinya membaca kamus ini.
Ucapan Parker bukan hanya lip service semata. Setelah dinobatkan lolos ke final, ia turun panggung, mengejar lawannya, dan meminta maaf. Ia tidak hanya minta maaf pada lawan, tapi juga ke saudara lawan yang saat itu turut hadir. Mereka terlihat saling memahami, dan berpelukan. Respect adalah kata yang hampir selalu terlontar di panggung Downtown Cypher Stage, sebagai upaya penghormatan kepada lawan.
Gaya menantang ini juga terlihat dalam “B-Boy Battle”. Situasi pertarungan tidak hanya datang dari peserta tapi juga dari seruan penonton yang selalu terlihat memprovokasi satu sama lain. Peserta juga bisa saja maju bergaya menantang, dan berjarak hanya satu sentimeter dari muka lawan dengan muka garang. Namun pada akhirnya, setelah waktu battle berhenti, rangkulan dan kata respect pada lawan kembali hadir.
Sepertinya para petarung b-boy, beatbox, dan rap ini tahu bagaimana harus bersenang-senang, tanpa harus memaksa diri untuk menang. Saat Insthic tampil misalnya, secara bersama-sama, penonton yang masing-masing memiliki jagoannya sendiri bersinergi untuk melakukan moshing, berbarengan dengan seruan dan goyangan ala hip hop.
Dapat hadir di tengah-tengah komunitas yang mereka cintai, di lingkungan yang lebih besar, untuk kemudian berkenalan, bercengkrama, dan saling belajar, sepertinya cukup memuaskan bagi penonton, dan khususnya bagi petarung dari berbagai daerah. Di ajang ini, generasi muda hanya menuntut satu hak seperti yang diserukan Beastie Boys dalam salah satu liriknya, “You gotta fight for your right to party”
Editor: Nuran Wibisono