Menuju konten utama

Kasus Pencoretan Bendera Merah Putih Tak Perlu Dibesarkan

Komisi III menilai kasus pencoretan bendera Merah Putih tak perlu dibesarkan-besarkan oleh Polri karena hanya akan memecah belah umat.

Kasus Pencoretan Bendera Merah Putih Tak Perlu Dibesarkan
Ribuan massa dari Front Pembela Islam (FPI) menggelar aksi di depan mabes Polri di Jl. Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin, (16/1). Mereka menuntut agar Kapolri Jendral Tito Karnavian mencopot Irjen Pol Anton Charliyan dari jabatannya sebagai Kapolda Jawa Barat. Tirto.ID/Andrey Gromico

tirto.id - Beberapa anggota Komisi III dari fraksi PKB dan PAN menganggap bahwa kasus tulisan Arab pada bendera Merah Putih pada demo Front Pembela Islam (FPI) 16 Januari lalu tak perlu dibesar-besarkan.

“Saya menganggap pelayanan kasus-kasus serupa pada lain-lain waktu itu bisa ditangani lebih soft atau polisi memiliki satu sistem media yang canggih yang bisa memberi perimbangan, karena teman-teman, terutama tentu yang berbeda (pendapat), polisi ini terlalu berlebihan dalam menangani beberapa kasus,” ujar Abdul Kadir Karding dari PKB pada rapat dengan Kapolri, di Ruang Rapat Komisi III DPR, Rabu (22/2/2017).

Menurutnya polisi memang memiliki bukti dan data yang cukup untuk menangani kasus itu, terutama kasus corat-coret bendera Indonesia, tapi harusnya polisi tidak berlebihan dalam menyikapi kasus tersebut dengan mengeksposnya secara berlebihan. Karding melihat bahwa apa yang dilakukan oleh massa pendemo FPI ini tidak bermaksud untuk merendahkan bendera negara sama sekali.

“Saya juga setuju pada Tifatul [Tifatul Sembiring dari PKS] ya, bendera yang ditulis lailahhaillallah itu tidak ada maksud untuk melanggar, kecuali untuk memuliakan tindakan mereka, ‘lagi jihad nih’, saking Indonesia-nya mereka menulis lailahhaillallah,” lanjut Karding.

Jakarta, menurut Karding, hampir membuat negara Indonesia menjadi terpecah belah karena Pilkada putaran pertama. Karena itu, dia berharap banyak bahwa polisi harus pintar memilah kasus-kasus yang terjadi di tengah situasi politik yang memanas.

"Selaku anggota Komisi III yang cinta NKRI dan cinta kepolisian, saya berpandangan bahwa image kepolisian jadi persepsi di dunia modern ini harus dijaga, harus dibangun. Karena image dengan eskalasi sosial media dan media mainstream yang luar biasa, kami sulit menyatakan, bahwa ini benar kepolisian atau bukan,” pungkasnya.

Di rapat yang sama, Daeng Muhammad dari fraksi PAN (Partai Amanat Nasional) juga mendukung pernyataan dari Karding. Menurut Daeng, banyaknya demo yang terjadi di masyarakat diakibatkan oleh keresahan masyarakat yang menuntut keadilan. Karena itu ia menganggap tulisan pada bendera Indonesia merupakan salah satu bentuk kesungguhan masyarakat.

“Saya juga meyakini juga bahwa ini adalah bentuk cinta, tapi kalau dipersoalkan juga, bagaimana dengan yang kasus lain yang juga bendera ditulisi tapi ga diusut?” sesalnya.

Menanggapi hal ini, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengaku bahwa kasus ini memang tidak menjadi besar karena hanya ditangani setelah viral di sosial media. Pihaknya telah melakukan penyelidikan dan tersangka memang tidak memiliki motif untuk merendahkan bendera negara, tapi hanya faktor euforia saja.

"Tersangka sudah kami lepaskan, sudah lama sekali itu," katanya.

Sebelumnya pendemo berinisial NF sudah diamankan pada 16 Januari 2017 silam bersama dengan bendera yang dicorat-coret dengan tulisan Arab dan dan silang pedang berwarna hitam, serta sepeda motor yang digunakan saat demo FPI di depan Mabes Polri. Mereka mendesak Propam Polri untuk melakukan investigasi mengenai kerusuhan antara FPI dan LSM GMBI di Bandung, Jawa Barat, pada pekan sebelumnya. Selain itu mereka menuntut Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Anton Charliyan dicopot dari jabatannya.

Baca juga artikel terkait KASUS BENDERA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Agung DH