tirto.id - Henrikh Mkhitaryan, gelandang Arsenal, memutuskan tak akan ikut bermain dalam laga final Liga Europa 2019, Kamis (30/5/19) mendatang. Meski dalam kondisi bugar, pemain asal Armenia itu tak berani mengambil risiko untuk tetap datang ke Baku, Azerbaijan, tempat digelarnya laga final, karena alasan keamanan. Ia mengambil keputusan tersebut setelah sempat berunding dengan keluarganya serta Arsenal.
“Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang kami miliki, kami harus mengambil keputusan sulit untukku, bahwa aku tidak akan tampil dalam laga final Liga Europa menghadapi Chelsea,” cuit Mkhitaryan.
Karena konflik berkepanjangan antara Armenia dan Azerbaijan, Mkhitaryan sebelumnya juga pernah dua kali mengambil keputusan serupa. Dalam pertandingan Liga Europa 2015, saat masih bermain untuk Dormund, ia tidak ikut melawat ke markas Gabala, salah satu klub Azerbaijan. Dan pada Oktober 2018, dalam ajang yang sama, ia juga urung tampil saat Arsenal berkunjung ke markas Qarabag, yang juga wakil dari Azerbaijan.
Dibandingkan dengan dua keputusan Mkhitaryan sebelumnya, keputusan Mkhitaryan kali ini jelas lebih memantik perhatian. Pasalnya, Arsenal akan berlaga di partai final, dan sebagaimana para pemain pada umumnya, Mkhitaryan pun ingin bermain di laga tersebut.
Namun, meski otoritas Azerbaijan telah memberikan izin kepada Mkhitaryan untuk datang ke Azerbaijan, pemain asal Armenia itu tetap tidak yakin dengan keamanannya.
Dari sana, Arsenal -- yang sebelumnya sudah meminta bantuan UEFA – pun hanya bisa pasrah dengan keadaan.
“Ini adalah berita buruk,” kata Unai Emery, pelatih Arsenal, 21 Mei 2019. “Tetapi, kami [Arsenal] tidak bisa melakukan apa pun. Ini adalah keputusan personal. Kami harus menghormati keputusannya... 100 persen.”
Keputusan Mkhitaryan Dapat Dimengerti
Konflik antara Armenia dan Azerbaijan memang sudah terjadi sejak satu abad silam. Namun, konflik antara kedua negara tersebut bisa dibilang mencapai puncak ketika Nagorno-Karabakh, yang secara de jure merupakan bagian dari Azerbaijan, memutuskan merdeka pada 1991. Nagorno-Karabakh memilih merdeka karena sebagian besar penghuninya beretnik Armenia.
Sayangnya, deklarasi kemerdekaan itu ternyata tidak dapat diterima oleh pemerintah Azerbaijan. Sejak saat itu, Nagorno-Karabakh dan Azerbaijan pun memilih saling angkat senjata. Setidaknya dari 1991 sampai 1994, The Times lantas menyebut bahwa “sudah ada 30.000 orang tewas di Nagorno-Karabakh karena perang”.
Yang menarik, meski kedua belah pihak sudah beberapa kali melakukan upaya damai, tapi konflik tersebut ternyata belum benar-benar tuntas sampai sekarang. Selain karena Azerbaijan masih melarang orang-orang Armenia pergi ke negaranya, mereka juga masih menyimpan kebencian terhadap orang-orang beretnik Armenia. Setidaknya, apa yang dilakukan Ramil Savarov, seorang perwira asal Azerbaijan, pada 2004 lalu bisa menjadi salah satu buktinya.
Saat itu, dalam sebuah program pelatihan bahasa Inggris di Hongaria yang digagas oleh NATO, Savarov secara diam-diam membunuh Gurgen Margayan, salah satu peserta pelatihan dari Armenia. Margaryan dibunuh saat sedang tertidur, dan Savarov mengatakan bahwa salah satu motif pembunuhan tersebut adalah perang yang terjadi Nagorno-Karabakh.
Yang mengerikan, Savarov ternyata merasa bangga setelah melakukan tindakan keji tersebut. “Aku menyesal karena ia adalah satu-satunya orang Armenia yang pernah aku bunuh,” tutur Savarov.
Selain itu, soal kasus yang menimpa Mkhitaryan, pernyataan Tahit Taghizadeh, Dubes Azerbaijan untuk Inggris, bisa menjadi contoh lain. Meski ia mengatakan bahwa Mkhitaryan akan aman selama berada di Baku, menurut Anoosh Chakelian, jurnalis News Statement, Tahit menyampaikan pernyataannya itu dengan nada mengancam.
“Pesan saya untuk Mkhitaryan adalah: Anda adalah seorang pesepakbola, Anda ingin bermain bola? Maka, pergilah ke Baku dan Anda akan aman saat berada di sana. Namun, jika Anda mempunyai misi yang berbeda, itu bisa jadi lain cerita.”
Dan untuk semua itu, Mkhitaryan jelas tak salah dalam mengambil keputusan.
Mengapa UEFA Memilih Baku?
UEFA jelas tidak memperkiran bahwa terpilihnya Baku sebagai tuan rumah laga final Liga Europa 2019 akan menciptakan banyak masalah. Selain kasus Mkhitaryan, kajadian yang dialami oleh suporter Chelsea dan Arsenal bisa menjadi contoh lain.
Untuk mendukung kedua timnya bertanding, suporter kedua klub tersebut harus terbang sejauh 4.000 km dari London ke Baku. Mengingat penerbangan dari London ke Baku hanya terjadi sehari sekali, mereka juga tidak akan bisa sampai ke sana dengan mudah.
Yang menarik, masalah yang dialami kedua tim ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ: untuk pertandingan di sebuah stadion berkapasitas 60 ribu penonton, jatah maksimal tiket penggemar Chelsea dan Arsenal masing-masing hanya mencapai 6 ribu tiket.
Dari sana, dilansir The Times, Arsenal lantas mempertanyakan keputusan UEFA: “Kami ingin memahami kriteria venue untuk laga final, juga bagaimana cara UEFA dalam mempertimbangkan persyaratan terhadap para pendukung... Pada masa depan, apa yang terjadi pada musim ini jelas tidak dapat diterima dan diulang.”
Dalam memilih venue final, UEFA mempunyai slogan “spread the game”. Setiap tahunnya, dengan pertimbangan bahwa UEFA dapat bersifat adil terhadap seluruh anggotanya, UEFA akan memindahkan tempat final Liga Europa dari satu negara ke negara lainnya. Asumsi mereka: jika klub-klub perwakilan dari sebuah negara yang dipilih menjadi tuan rumah gagal mencapai final, mereka setidaknya bisa ikut menikmati laga final.
Namun, dengan berbagai persoalan di atas, Baku tentu bukan pilihan masuk akal. Miguel Delaney, jurnalis Independent pun memberikan penjelasannya: “Pernyataan usang UEFA tentang ‘spread the game’ tidak akan menghapus kasus ini. Sepakbola barangkali dapat dimainkan di negara mana pun, tetapi para pemain juga harus bisa bermain di negara-negara tersebut. Maka, apa yang dilakukan UEFA adalah sesuatu yang kontradiktif.”
Pendapat Delaney tersebut jelas ada benarnya. Dan Anoosh Chakelian, yang tampak setuju dengan penjelasan Delaney tersebut, memberikan penilaiannya mengapa UEFA memilih bertindak seperti itu.
Menurut Anoosh, dengan kekayaan yang mereka miliki, Azerbaijan sedang getol-getolnya menghapus citra buruk mereka di mata dunia. Dengan senang hati mereka akan menghambur-hamburkan uang dan “Barat” tentu akan menyukainya. Maka, tak heran apabila UEFA kemudian rela menempatkan uang di atas keselamatan para pemain sepakbola.
Editor: Abdul Aziz