tirto.id - Beredar isu penemuan babi ngepet di Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Depok, Jawa Barat beberapa hari lalu. Babi itu ditangkap oleh warga yang sedang dalam keadaan telanjang, sebagaimana diperintahkan ustaz setempat.
Dosen sosiologi perkotaan dar Universitas Indonesia Daisy Indira Yasmine mengatakan bahwa kasus ini menunjukkan bagaimana sebaran informasi yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya tetap bisa mudah dipercaya bahkan oleh masyarakat perkotaan. Informasi itu gampang diyakini ketika didapat dari jejaring sosial yang solid dan tak berupaya memverifikasi terlebih dahulu.
“Karena hal tersebut yang ngomong tetangga sebelah, lebih mudah dipercaya, kenal satu sama lain, [warga] ikut meramaikan isu tanpa peduli benar atau enggak [informasinya],” kata perempuan yang akrab disapa Debby tersebut kepada reporter Tirto, Kamis (29/4/2021) sore.
Isu itu bahkan lebih mudah dipercaya ketika yang menyebarkan informasi tersebut adalah tokoh agama yang memiliki posisi tinggi di dalam struktur sosial baik masyarakat perkotaan atau pedesaan. “Apalagi ustaz, dengan posisi tertentu lebih kuat lagi. Tokoh yang menyebarkan itu tingkat kepercayaan orang lebih tinggi dibanding warga biasa. Dia panutan. Apa yang diomongi pasti akan manut,” kata dia.
Dalam konteks babi ngepet Depok, ustaz yang saat ini jadi tersangka itulah sumber informasinya.
“Benar atau tidaknya, itu nomor dua. Yang penting mengikuti. Itu yang membangkitkan kesadaran bersama. Dia bilang ya atau tidak, semua jadi percaya. Kekuatan jaringan sosial di masyarakat. Verifikasi kebenaran itu jadi nomor dua. Yang pertama dari mana sources informasi itu berasal,” kata dia.
Debby mengatakan beragam urban legend seperti babi ngepet atau tuyul kerap kali muncul dalam masyarakat perkotaan untuk dua tujuan: sebagai hiburan dan pengalihan isu tertentu.“Sering kali terjadi isu babi ngepet dan tuyul itu muncul karena untuk mengalihkan isu pencurian, tindak kejahatan, misalnya. Isu itu jadi membikin pelaku bisa lolos. Disebarkanlah urban legend ini. Isunya teralihkan. Mengejar babi lebih ramai ketimbang mengejar pencuri,” katanya.
Babi kecil berwarna hitam itu akhirnya ditangkap dan dibunuh. Sebelumnya, sang ustaz sempat membuat pengumuman untuk keluarga si babi ngepet agar datang menjemput. Nyawa si babi berakhir di tangan ustaz dan kelompoknya.
Tak hanya itu, seorang ibu juga sempat mengeluarkan tudingan kepada tetangga rumahnya yang terlihat tak pernah keluar rumah bekerja namun memiliki uang banyak. Ia menuding ada andil babi ngepet dan pesugihan yang dilakukan tetangganya. Belakangan, tetangganya klarifikasi dan si ibu meminta maaf.
Polisi akhirnya campur tangan dan membuat kasus ini menjadi terang setelah mereka meminta keterangan tujuh warga, Adi Firmanto (46), Heri Sunarya (61), Iwan Kurniawan (44), Nurhamid (54), Adam Ibrahim (44), Hamdani (66), dan Suhanda (61). Berdasarkan pemeriksaan, Adam, ustaz setempat, menjadi tersangka.
Ia diduga menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dan sengaja menerbitkan keonaran. Tak ada babi ngepet, yang ada adalah babi yang dituding babi ngepet.
“Berdasarkan pengakuan AI, babi tersebut dibeli secara daring melalui komunitas kucing Depok sebesar Rp900 ribu, dengan ongkos kirim Rp200 ribu,” ujar Kasubag Humas Polres Metro Depok Kompol Supriyadi ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Kamis. Pembeli babi adalah Adam dan uang didapat dari Adi.
Adam nekat berbohong dan menipu dengan bermaksud menjadi terkenal serta pengikut majelis taklimnya bertambah.
Tak ada saksi mata yang mengetahui apalagi melihat manusia berubah menjadi babi. “Hanya berdasarkan cerita dari AI,” ucap Supriyadi. Beberapa orang hanya melihat seekor babi berada di sekitar kandang sebelah rumah Adam. Mereka menunggu di belakang rumah itu dan boleh menangkap babi berdasarkan aba-aba Adam via pesan WhatsApp. Babi tersebut akhirnya ditangkap pada 27 April sekira pukul 00.00.
Adam resmi menjadi tersangka berdasarkan dengan Pasal 14 ayat (1) dan/atau ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Dia terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara. Sementara enam orang lainnya berstatus sebagai saksi dan masih menjalani pemeriksaan lanjutan.
Menyiksa Binatang
Praktik penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap babi hitam itu pun disorot aktivis perlindungan hewan. “Tindakan main hakim sendiri tidak sesuai dengan hukum indonesia,” kata aktivis Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Adhy Hane lewat keterangan tertulis yang diterima wartawan Tirto, Kamis siang.
Terkait kepercayaan sebagian warga sendiri terkait babi ngepet, dia menceritakan sebuah pengalaman: suatu ketika organisasinya pernah mengamankan seekor anjing di Bekasi yang juga disangka babi ngepet (ya, anjing yang disangka babi). “Sampai sekarang baik-baik saja di JAAN,” katanya.
Menurutnya perlu ada edukasi agar mitos dan takhayul seperti babi ngepet tak lagi mendapatkan tempat di kepala masyarakat. Apalagi, isu itu muncul akibat ulah dari segelintir provokator.
Penulis: Haris Prabowo & Adi Briantika
Editor: Rio Apinino