Menuju konten utama

Karena Diplomat adalah Kita

Negara saat ini tidak lagi menjadi aktor paling berpengaruh dalam diplomasi kontemporer. Kapasitas negara dalam melakukan diplomasi seringkali terbatas. Untuk menyikapinya, masyarakat sipil dapat mengambil alih proses diplomasi tersebut.

Karena Diplomat adalah Kita
Menlu Retno Marsudi (kedua kiri) dan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kiri) menyambut empat anak buah kapal (ABK) berwarganegaraan Indonesia setibanya di lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (13/5). Antara foto/m agung rajasa.

tirto.id - Tahun 1957, Amerika Serikat berhasil menahan Rudolf Abel, seorang mata-mata kawakan Uni Soviet yang disebut-sebut sebagai mata-mata terbaiknya. Publik AS tentu saja menuntut Abel dihukum mati. Namun, James B. Donovan, seorang pengacara swasta yang ditunjuk untuk membela Abel, menolak tuntutan tersebut. Ia beranggapan bahwa suatu saat negaranya akan membutuhkan Abel untuk ditukar dengan warga negara AS yang ditangkap Soviet.

Asumsi Donovan ternyata sangat tepat. Lima tahun kemudian, pemerintah Uni Soviet menahan pilot pesawat mata-mata U2 yang mereka tembak jatuh, Francis Gary Powers. Donovan akhirnya menjadi negosiator yang mengurus pertukaran kedua tahanan itu.

Donovan adalah seorang pengacara swasta. Ia bukanlah aparatur negara, tetapi berhasil menembus kebekuan hubungan dua negara besar yang bermusuhan dan melancarkan negosiasi di antara keduanya. Apabila negara tak bisa lentur, maka peran negara bisa diambil alih oleh masyarakat sipil.

Peran figur non-negara seperti Donovan lazim disebut sebagai diplomasi “track two”. Istilah “track two” digunakan untuk membedakannya dengan jalur diplomasi melalui negara, yang lazim disebut “track one”.

Beragam Diplomasi “Track Two”

Diplomasi “track two” merupakan jenis diplomasi yang mengedepankan kapasitas seseorang dengan mengesampingkan profesi, jabatan publik atau afiliasi politiknya. Oleh sebab itu, diplomasi jalur ini bisa dilakukan oleh nyaris semua orang. Seorang atlet, pengacara, akademisi, bahkan artis sekalipun dapat menjadi duta bagi negaranya.

Dennis Rodman adalah salah satunya. Pada awal dekade tahun 90an, ia merupakan salah satu pebasket paling terkenal yang bermain di klub Chicago Bulls. Rodman juga dikenal sebagai pribadi yang kontroversial dengan rambut yang dicat warna-warni, wajah penuh tindik, dan kegemarannya memancing perkelahian di lapangan. Namun, semua catatan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keberhasilannya mengunjungi Korea Utara pada Februari 2013.

Rodman berhasil menembus ketatnya negara yang paling misterius itu. Ia bahkan bisa berbincang dengan sosok pemimpin paling misterius di dunia, Kim Jong-un! Mereka berdua saling berbicara tentang basket, film-film Holywood, sembari bersama-sama mendengarkan musik The Doors.

Kejadian yang tak kalah uniknya dialami oleh rombongan tenis meja Amerika Serikat pada 1971. Di tengah-tengah pelaksanaan Kejuaraan Dunia Tenis Meja di Nagoya, Jepang, mereka mendapatkan undangan untuk melawat ke Cina demi sebuah pertandingan persahabatan. Saat itu, suasana Perang Dingin masih terasa panas dan tidak ada satu pun misi diplomatik AS yang berhasil menjejakkan kakinya di tanah Cina sejak 1949. Lalu muncul lah satu momentum tak terduga. Rombongan tenis meja AS berhasil mendapatkan undangan untuk bertanding di Cina setelah salah satu atletnya terpaksa harus menumpang di bis kontingen Cina akibat tertinggal oleh kawan-kawannya.

Bagaimana kedua inisiatif diplomasi “track two” ini bisa berhasil?

Pertama, diplomasi Rodman dan rombongan tenis meja AS sama-sama tengah menjajaki basis-basis kesamaan (common ground) yang mereka miliki demi membangun kepercayaan (trust). Basis kesamaan ini, idealnya, justru dibentuk dari hal-hal yang selama ini dianggap remeh-temeh, tetapi bersifat universal. Rodman dan Kim Jong-un sama-sama cinta bola basket, sehingga mereka bisa nyambung dan melupakan identitas mereka sebagai warga dari dua negara yang bermusuhan. Tim tenis meja AS pun menawarkan kecintaan yang sama terhadap olahraga tersebut kepada kolega mereka di Cina.

Kedua, diplomasi Dennis Rodman dan rombongan tenis meja Amerika Serikat itu masih ada dalam tahapan penjajakan. Tidak ada kesepakatan apapun yang ingin dicapai dalam tahapan ini, karena masing-masing pihak hanya ingin menunjukkan niat baik semata. Dennis Rodman dengan tegas mengatakan bahwa kunjungannya tidak ada urusan dengan politik negara AS. Di sisi lain, rombongan tenis meja AS juga datang hanya untuk bermain dan berkompetisi di Cina.

Pertanyaan berikutnya: apakah diplomasi “track two” bisa digunakan dalam negosiasi yang sifatnya lebih genting?

Diplomasi “Track Two” dalam Pembebasan Sandera

Salah satu kasus paling rumit dan genting dalam diplomasi internasional adalah isu penyanderaan. Dalam kasus semacam ini, negara seringkali dihadapkan pada posisi yang pelik. Apabila negara bersikap keras, maka pihak penyandera bisa sewaktu-waktu membunuh para sandera atau menghentikan negosiasi. Di sisi lain, negara bisa dituduh terlalu lembek apabila terlalu berkompromi dengan penyandera. Semua ini terjadi di tengah-tengah jangka waktu yang biasanya sangat pendek.

Sempitnya ruang gerak yang dimiliki negara selanjutnya dapat diisi oleh negosiator sipil.

Sebut saja nama petinju paling terkenal di dunia, almarhum Muhammad Ali. Ia termasuk tokoh yang berperan dalam menolak Perang Vietnam atau memperjuangkan hak-hak sipil. Di tengah-tengah panasnya Perang Teluk pada era 1990-an, Ali juga pergi ke Baghdad untuk menemui Presiden Irak Saddam Husein yang saat itu menahan 15 warga negara Amerika Serikat.

Ali, yang saat itu sudah kesulitan berbicara akibat penyakit Parkinson, nekat terbang ke Baghdad di tengah-tengah peperangan dan cibiran dari masyarakat AS yang menudingnya hanya haus sensasi. Tetapi Ali memang tak pernah ingkar janji. Ia berhasil membebaskan kelima belas warga AS tanpa ada satu butir peluru pun yang jatuh atau sepeser pun tebusan yang dibayarkan. Ali hanya bermodalkan iktikad baik, nama besarnya sebagai petinju, dan statusnya sebagai salah satu figur Islam mazhab Sunni yang paling terkenal di seluruh dunia.

Contoh diplomasi “track two” lainnya terjadi saat pembebasan 14 warga negara Indonesia (WNI) yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf. Tim yang terlibat dalam pembebasan ini adalah tim Yayasan Sukma Bangsa dan tim yang dipimpin oleh Kivlan Zen.

Pada fase awal negosiasi, pemerintah Indonesia mengambil posisi cukup keras. Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sama-sama menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membayar tebusan. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bahkan sempat mengisyaratkan akan melancarkan operasi militer.

Semua berubah pascakegagalan operasi militer Filipina di Basilian. Dalam peristiwa itu, Abu Sayyaf bisa mendemonstrasikan kekuatannya dengan menewaskan 18 tentara Filipina. Mereka berada di atas angin setelah mampu mendikte perundingan. Kegagalan operasi militer Filipina di Basilian seketika mengubah langgam diplomasi Indonesia.

Pada titik ini, negara mengalami kebuntuan. Pilihan melakukan operasi militer menjadi langkah yang amat berisiko, sementara meminta bantuan pemerintah Filipina juga tidak mungkin, karena Abu Sayyaf jelas tidak akan mempercayai Filipina yang baru saja menyerang mereka di Basilian.

Kebuntuan negara berarti momentum bagi masyarakat sipil untuk mengambilalih. Inisiatif akhirnya berada di tim Yayasan Sukma Bangsa dan tim Kivlan Zen. Tim Yayasan Sukma Bangsa yang terdiri dari Rizal Panggabean, Ahmad Baedowi, dan Mayjen (Purn) Supiadin menjalin kontak dengan rekan-rekan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sering bekerja sama dengan kelompok-kelompok bersenjata di Mindanao. Sementara itu, tim Kivlan Zein memilih untuk mendekati Nur Misuari, mantan pimpinan Moro National Liberation Front yang cukup disegani di Mindanao.

Apa yang membedakan negosiasi kedua tim sipil ini dengan negara?

Pertama, kedua tim sipil ini masuk dari jaringan akar rumput, bukan diplomasi elitis ala negara yang langsung menyasar ke lembaga. “Saya ngaku ke mereka kalo saya itu dosen. Apa sih yang bisa dilakukan seorang dosen kepada Abu Sayyaf”, ujar Rizal Panggabean dari tim Sukma Bangsa kepada Tirto.id.

Kedua, tim negosiasi bisa lebih leluasa membuat penawaran kepada lawannya. Ini adalah persoalan kreativitas. Negosiasi, dalam taraf tertentu, adalah permasalahan imajinasi.

Rizal mengaku, Abu Sayyaf tidak hanya ingin uang tebusan saja. Para anggota gerilyawan yang terkenal buas ini ternyata juga memikirkan pendidikan anak-anaknya. Hal ini mendorong Yayasan Sukma Bangsa, yang memiliki sekolah di Aceh, untuk menawarkan beasiswa bagi anak-anak gerilyawan Abu Sayyaf.

Menawarkan beasiswa untuk ditukar dengan sandera adalah langkah yang hampir tidak mungkin terpikirkan oleh negara. Diplomasi negara memang seringkali kering dari imajinasi. Negara kerap merasa “gengsi” untuk melunakkan posisinya terhadap lawan negosiasi, karena takut dikira menunjukkan kelemahan. Oleh sebab itu, kita hampir selalu mendengar negara berkata: “kami tidak akan bernegosiasi dengan teroris!”.

Rizal menolak dengan keras prinsip ini. Ia menjelaskan, negosiasi adalah berhubungan dengan manusia, dan manusia tidak hanya terdiri dari satu dimensi. “Abu Sayyaf ini memang sadis, kejam, kerjanya potong kepala orang. Tapi itu tergantung kita melihatnya. Kita harus melihat mereka tidak sebagai teroris, tapi sebagai manusia yang bisa diajak bicara. Kita tidak bisa pakai pendekatan yang sama seperti militer,” paparnya.

WNI yang disandera Abu Sayyaf akhirnya dilepaskan berkat inisiatif warga sipil. Pada masa diplomasi telah melentur tetapi negara masih memadat, masyarakat sipil-lah yang bisa menembus kebuntuan ini. Karena diplomat adalah kita.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Politik
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti