tirto.id - University of Technology Sydney (UTS) tengah mengkaji ulang kerjasama pendanaan penelitian bernilai $10 juta dengan CETC, perusahaan pencipta peralatan militer yang dimiliki pemerintah Cina. Langkah ini dilakukan karena menurut Four Corners, program investigasi yang disiarkan ABC, ada indikasi hasil-hasil riset UTS yang didanai CETC digunakan untuk melakukan aksi mata-mata terhadap muslim Uyghur di Xinjiang, Cina.
Sejak 2017, penguasa Cina melakukan aksi bersih-bersih muslim Uyghur dan salah satu alat yang digunakan ialah sebuah aplikasi komputer yang dibuat CETC. Masalahnya, atas kerjasama pendanaan, CETC menggenggam segala hak intelektual yang dihasilkan UTS. Dan aplikasi yang digunakan melacak Uyghur diduga tercipta atas bantuan kekayaan intelektual peneliti-peneliti UTS.
“Aplikasi ini dirancang untuk memperoleh informasi tentang Uyghur dan komunitas muslim lainnya. Kami tahu bahwa orang-orang itu [ditangkap] dan dikirim ke kamp pendidikan ulang politik berdasarkan informasi yang diperoleh melalui aplikasi,” sebut Elaine Pearson, Direktur Human Right Watch Australia, pihak yang juga terlibat menginvestigasi.
Dr. Darren Byer, peneliti Uyghur dari University of Washington, yakin bahwa aplikasi tersebut tak hanya digunakan mengawasi Uyghur, tetapi juga seantero negeri. “Saya pikir, tidak ada universitas di Australia yang ingin berkolaborasi dengan perusahaan Cina yang pada kenyataannya menciptakan alat yang digunakan untuk merepresi rakyat,” tegas Pearson.
Selain UTS, Curtin University melakukan langkah serupa. Salah seorang profesor mereka diketahui terlibat dalam penciptaan artificial intelligence yang memudahkan mengidentifikasi etnis seseorang.
Penciptaan teknologi yang digunakan pemerintah Cina mengawasi rakyatnya, khususnya muslim Uyghur, bukan hanya dibantu akademisi dari universitas Australia, tetapi juga Amerika Serikat. Laporan BuzzFeed menyebut Princeton University juga berada di balik penciptaan teknologi ini. Namun, yang lebih mengejutkan, ada pula institusi seperti Alaska Retirement Management Board, Massachusetts Institute of Technology, dan Rockefeller Foundation.
Dalam laporan itu, BuzzFeed menyebut bahwa beberapa teknologi mata-mata Cina dibuat oleh dua startup, yakni SenseTime dan Megvii. Kedua startup ini memperoleh gelontoran dana dari Princeton, juga institusi-institusi asal AS tersebut, melalui kerjasama yang disebut “limited partners.”
Dunia akademik Amerika, khususnya selepas Huawei disebut “musuh negara” melakukan langkah tinjau ulang serupa. Sebagaimana dilansir Los Angeles Times, universitas-universitas ternama AS, seperti University of California, Stanford University, dan Massachusetts Institute of Technology melakukan penangguhan kerjasama pendanaan dari Cina.
Padahal, Cina telah menggelontorkan banyak uang untuk mendanai penelitian pada universitas-universitas AS. Berkeley, misalnya. Dalam delapan tahun terakhir, kampus ini memperoleh dana tak kurang dari $9 juta dari Huawei saja.
“Kami peka terhadap kekhawatiran pemerintah federal tentang teknologi yang digunakan oleh negara yang dapat merugikan keamanan nasional AS,” sebut Stanford dalam pernyataannya.
Langkah penghentian kerjasama dengan Cina salah satunya dilakukan atas ancaman Kongres AS. Kongres mengancam akan menghentikan bantuan pada universitas yang menciptakan teknologi baru, tetapi menggunakan komponen yang diberikan Huawei.
Dunia Riset Cina yang Menggelora
Dalam ambisi menjadi penguasa dunia, Cina mencanangkan proyek bernama “Made in China 2025” pada 2015 lalu. Sasaran terbesar proyek ini ialah ingin menjauhkan Cina dari ketergantungan teknologi asing. Maka, sebagaimana dilansir South China Morning Post, pemerintah negeri tirai bambu itu menggelontorkan uang tak sedikit. Pada 2010, total dana yang disumbang pemerintah untuk riset dan pengembangan hanya berada di angka 0,893 persen dari PDB. Kini, jumlahnya melesat menjadi 2,5 persen dari PDB.
Jumlah peneliti Cina berkembang. Pada 2005, terdapat 850 peneliti per 1 juta penduduk Cina. Sepuluh tahun berlalu, jumlahnya menjadi 1.200 peneliti per 1 juta penduduk Cina.
Selain limpahan dana bagi penelitian dan pengembangan, Cina pun mengekspor putra-putrinya untuk terbang ke mancanegara menuntut ilmu. Kini, misalnya, terdapat lebih dari 400 ribu warga Cina yang belajar di kampus-kampus AS.
Hasilnya, sebagaimana dilansir National Geographic edisi Mei 2019, Cina menyumbang 24 persen total paper ilmiah dari segala bidang di seluruh dunia. Mengalahkan Jerman (16 persen), Perancis (12 persen), dan Jepang (6 persen).
Salah satu fokus riset Cina ialah artificial intelligence. Publikasi Quartz menyatakan terdapat 14.427 karya ilmiah tentang kecerdasan buatan yang diciptakan oleh peneliti-peneliti Cina. Angka tersebut jauh mengungguli AS. Di saat yang sama, peneliti AS hanya sanggup mempublikasikan 8.814 karya ilmiah terkait AI.
Sayangnya, gelontoran dana besar Cina bagi litbang terasa tak cukup bagi Tong Jinnan, profesor pada China University of Geoscience. Menurutnya, dana riset itu lebih fokus pada penelitian-penelitian di bidang terapan, bukan riset dasar.
“Dana untuk penelitian dasar sangat tidak memadai,” ungkap Jinnan. “Sejujurnya, gelontoran dana bagi litbang yang terfokus pada terapan hanya memberi penekanan pada hasil yang cepat. Tidak mungkin membuat terobosan jika kita tidak memberikan sumber daya yang cukup untuk penelitian dasar."
Menurut Jinnan, riset dasar sangat dihargai AS, tetapi kurang mendapat tempat bagi Cina.
Editor: Maulida Sri Handayani