tirto.id - Ratih Sukma teringat foto ayahnya yang turut serta dalam Aksi Bela Islam 212. Sang ayah berdiri di depan bendera Palestina yang turut dibawa massa aksi, berpose di depan kamera sambil meletakkan kedua tangan di pinggang. Sang ayah lalu memamerkan foto tersebut ke grup WhatsApp (WA) keluarga dan ditonton saudara-saudaranya, termasuk Ratih.
Ratih tak sepakat dengan sikap ayahnya. Menurutnya, Front Pembela Islam (FPI) telah sukses memobilisasi kemarahan massa atas ucapan Ahok soal Al Maidah, demi menggagalkan Ahok kembali menduduki kursi gubernur. Ayah Ratih adalah bagian dari massa yang dimobilisasi itu.
Sementara itu, Ratih berada di sisi seberang. Meski tak secara terang-terangan mendukung Ahok, ia mengaku lebih jernih dalam memandang insiden Al Maidah dan kaitannya dengan Pilkada. Konsekuensinya cukup berat. Selain harus menjadi “rival” sang ayah, ia juga berhadapan dengan mayoritas anggota keluarga yang juga anti-Ahok. Ratih hanya ditemani seorang saudara saja yang memiliki cara pandang kurang lebih serupa dengan dirinya.
Meski kerap berselisih, Ratih masih bisa memahami kerasnya sikap sang ayah karena ia tahu latar belakangnya. Sejak remaja, ayah Ratih aktif di sebuah organisasi keislaman. Semua pesan-pesan soal Ahok, keislaman, ia dapat dari grup WhatsApp beranggotakan teman-temannya di organisasi tersebut.
Pesan-pesan dari grup itu kemudian dikirim langsung ke grup WA keluarga, terutama, tentu saja tentang Ahok. Tepatnya: Ahok si penista agama. "Malas banget grup keluarga isinya jadi politik semua,” kata ibu satu anak itu kepada wartawan Tirto.
Ratih biasanya tak menanggapi kiriman-kiriman ayahnya. Namun, sesekali di grup obrolan itu ia juga membagikan artikel-artikel yang menurutnya bagus dan bisa memberikan pandangan yang lebih luas ketimbang prinsip “pokoknya gubernur Jakarta harus muslim dan Ahok harus dipenjara karena menistakan Islam.”
“Dia tak pernah komentar apa-apa," kata Ratih. "Tapi dia kadang juga komentar di postingan Facebook saya, dan kami berdebat di situ."
Penerjemah paruh-waktu itu pernah membagikan satu laporan di laman Facebooknya, tentang pasal penistaan agama yang sudah tak relevan, juga ihwal undang-undang blasphemy sudah tak berlaku di negara-negara Eropa. Lalu sang ayah berkomentar: pokoknya Ahok itu menista agama.
Ratih lalu mengutip ucapan Ali Sadikin di buku Imajinasi Kebudayaan yang bicara ofensif tentang ulama, saat ulama mengkritik kebijakannya. Intinya, Ali Sadikin dulu bicara lebih keras daripada Ahok, tapi karena Ahok Cina dan Kristen, tekanan untuk Ahok lebih keras.
Suasana yang keruh ini disiasati Ratih untuk tidak membahas politik saat pulang ke rumahnya. Untung anggota keluarga yang lain sama-sama paham jika mereka memiliki pandangan politik yang berbeda-beda. Salah satu kiat yang dijalani Ratih adalah berlama-lama di kantor agar saat pulang bisa langsung istirahat.
Tak cuma anti-Ahok, kebanyakan anggota keluarganya juga membenci Jokowi. Hingga sekarang, mereka menjadi pembenci buta atas apapun yang dilakukan Jokowi. Semuanya dipandang negatif dan tak ada hal yang benar di mata mereka. Lagi-lagi cara yang paling aman adalah tak usah bicara politik.
Pilpres AS Risak Hubungan Laki-Perempuan
Dampak serupa pernah terjadi juga di AS selama masa pemilihan presiden baru tahun 2016. Tensi politik yang begitu panas antara kubu Demokrat yang diwakili Hillary Clinton dan kubu Republikan yang diwakilkan Donald Trump terasa di banyak tempat, termasuk di rumah tangga orang-orang.
Riset Ipsos menunjukkan bahwa Pemilu Amerika Serikat 2016 memicu perpecahan yang mendalam antar pasangan yang sudah menikah. Riset itu melibatkan 1.249 orang dewasa yang telah menjalin hubungan setidaknya sejak 2012 dan ditanyai apakah kecenderungan politik pasangan dalam empat tahun terakhir.
Hasilnya menunjukkan bahwa divisi dengan tensi paling panas ada di wilayah domestik/rumah tangga. Penyebabnya: masing-masing pasangan memiliki keyakinan politik independen yang kuat. Hanya 1 dari 10 pendukung Hillary yang berpikir pasangannya akan memilih Trump. Sedangkan 1 dari 5 pendukung Trump berpikir pasangannya akan memilih Hillary. Laki-laki pendukung Trump adalah kelompok paling tak percaya diri bahwa pasangan perempuannya juga akan memilih Trump.
Sayang, Trump justru menjadikan isu keretakan rumah tangga ini sebagai bahan kampanyenya. Sebagaimana dikutip dari The Guardian, pada kunjungannya ke Virginia pada bulan Agustus 2016, dengan entengnya ia berujar “Jika istrimu marah padamu, katakan saja: Maafkan aku, Charlotte, aku sudah mantap untuk memilih Trump”.
Para pengamat politik sepakat bahwa pemilih Hillary dan Trump pada pilpres November lalu menunjukkan dikotomi persaingan antara laki-laki versus perempuan. Asumsi ini dikuatkan oleh hasil riset Pew Research yang menunjukkan pendukung perempuan Trump di hari pemilihan sebesar 42 persen, sedangkan Hillary 54 persen. Sementara itu pendukung laki-laki Trump di hari pemilihan sebesar 53 persen, sedangkan Hillary 41 persen.
Hasil ini tak terlalu mengejutkan mengingat rekam jejak Trump yang seksis selama 13 bulan berkampanye. Ditambah, ia memiliki rekam jejak kontroversial selama dulu membintangi serial Celebrity Apprentice. Salah satunya adalah komentar untuk salah seorang kontestan perempuan yang "akan bisa melihat wajah cantiknya jika ia bersimpuh" di hadapan Trump. Rekam jejak buruk ini akan terus diingat oleh para aktivis perempuan hingga Trump kini benar-benar menjadi Presiden AS terpilih.
Politik identitas yang panas karena dipenuhi sentimen agama dalam Pilkada maupun Pilpres, dalam pandangan Ratih adalah konsekuensi logis dari penerapan demokrasi dimana semua orang dijamin hak untuk bersuara dan mengeluarkan pemikiran-pemikirannya. Khusus untuk konteks Indonesia, meski negara ini sebenarnya sekuler, ia tak memungkiri jika Islam adalah agama mayoritas. Sejak reformasi, menurutnya, ada penguatan nilai Islam baik yang moderat maupun yang lebih keras.
“Ini juga sebenarnya bukan cuma soal efeknya pada hubungan antar-anggota keluarga, namun lebih luas lagi hingga tataran negara. [Efek di dalam] keluarga itu cuma kayak percikan air di pelimbahan,” pungkasnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani