tirto.id - “Tim Liga Premier terbaik yang pernah ada? Tim asal London Utara itu memang sedang paceklik gelar sekarang, tapi pencapaian yang pernah ditorehkannya bukanlah prestasi yang mudah ditandingi,” tulis analis olahraga Oli Platt dalam artikelnya di laman Goal.
Arsenal, tim yang dimaksud Platt itu, memang tampak tak punya saingan di musim 2003-2004. Di bawah asuhan Arsene Wenger, Arsenal kala itu berhasil menjalani 38 pertandingan Liga Premier tanpa sekali pun kalah. Lebih detail, Arsenal tercatat memenangkan 26 pertandingan dan imbang 12 kali. Maka tak berlebihan jika skuad itu dapat julukan The Invincibles.
Keperkasaan Arsenal kala itu tentu tidak tecipta dalam semalam. Ia adalah hasil dari proses panjang.
Ceritanya dimulai pada permulaan musim kompetisi 2001-2002. Setelah mengawali musim dengan kemenangan meyakinkan 4-1 atas Middlesbrough, Arsenal mengalahkan musuh bebuyutan Manchester United (MU) pada Mei dan menutup musim kompetisi di posisi teratas sekaligus merebut gelar juara Liga Premier Inggris. Gelar ini spesial karena ia mematahkan prestasi MU yang jadi kampiun tiga musim beruntun.
Hingga Mei di musim itu, Arsenal telah menyamai rekor tim Preston yang tidak pernah kalah dalam pertandingan tandang sepanjang musim. Wenger kemudian dengan yakin menyatakan Arsenal tengah bikin gebrakan untuk merajai persepakbolaan Inggris.
Wengermembuktikan ucapannya di awal musim 2002-2003. Beberapa perubahan drastis dibuat untuk membuat tim lebih solid dan seimbang. Kapten tim Tony Adams yang pensiun digantikan oleh Patrick Vieira, pemain tengah yang kuat dengan tinggi badan di atas rata-rata.
Pascal Cygan, pemain bertahan asal Perancis, juga didatangkan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Adams. Di lini tengah, ada tambahan gelandang kuat Kolo Touré. Terakhir, Arsenal punya Gilberto Silva—salah satu penggawa tim nasional Brazil yang menjuarai Piala Dunia 2002.
Pada pertandingan pertama musim itu, Arsenal melibas Birmingham City dengan skor 2-0 di kandang. Kemenangan atas Leeds United pada September menandai rekor Arsenal yang selalu mencetak gol dalam 47 pertandingan liga secara beruntun. Tak hanya itu, Arsenal juga menorehkan catatan 22 pertandingan tandang tanpa kekalahan.
Semua tampak baik-baik saja hingga 19 Oktober. Hari itu, Arsenal dijadwalkan berkunjung ke Goodison Park—markas klub Everton. Pertandingan baru berjalan 8 menit ketika Freddie Ljungberg membuka keunggulan Arsenal. Namun, di menit ke-22, Tomas Radzinski berhasil menyamakan kedudukan dengan memanfaatkan kemelut di depan gawang kiper Arsenal David Seaman.
Ada satu nama penting yang tak bisa dilupakan para pemain Arsenal dalam laga itu, Wayne Rooney. Penyerang itu baru berusia 17 tahun kurang lima hari ketika mencetak gol di menit akhir. Tim asuhan David Moyes itu pun sontak melonjak kegirangan. Gol dramatis ini membuat Arsenal akhirnya keok 2-1 dan mematahkan rekor tak terkalahkan mereka dalam 30 pertandingan.
Padahal, Arsenal tampil dengan formasi utamanya. Hanya penyerang anyar dari Belanda Dennis Bergkamp yang tak muncul di daftar pemain.
Usai menelan kekalahan itu, Arsenal pulang ke London dan keok lagi dihantam kekalahan 2-1 oleh tamunya Blackburn Rovers. Tapi tentu saja tim ini bukan tim ‘kacangan’ yang langsung hancur setelah ditempa dua kekalahan beruntun. Mereka langsung bangkit lagi dengan kemenangan tipis 1-0 atas Fulham, rival sekota. Musim itu berakhir dengan Manchester United yang kembali keluar sebagai pemuncak klasemen.
Kekuatan Baru
Meski gagal jadi juara di musim itu, kegemilangan Arsenal berlanjut di musim berikutnya.
Arsenal mengawali kompetisi 2003-2004 dengan kekuatan baru yang lebih segar. Penjaga gawang Jens Lehmann yang asli Jerman didatangkan dari Borussia Dortmund dengan mahar 1,5 juta Poundsterling. Skuad Arsenal juga makin mumpuni karena gelandang Patrick Vieira dan Robert Pires memperpanjangkan kontraknya.
Arsenal-nya Wenger kala itu tak bisa dipungkiri memang sangat Perancis. Thierry Henry, Patrick Vieira, Robert Pires, hingga Sylvain Wiltord adalah nama-nama pemain Prancis yang jadi andalan Arsenal di musim itu. Hal itu tentu saja bukan pilihan acak. Paling tidak, Wenger tahu betul kualitas dan gaya permainan mereka di lapangan.
Pada jendela transfer musim dingin 2004, Wenger menambah lagi daya serang Arsenal dengan mendatangkan José Antonio Reyes dari klub Spanyol Sevilla.
Meski begitu, Arsenal bukan satu-satunya tim yang berbenah. MU, sang rival, juga mendatangkan sejumlah nama beken ke skuadnya. Meski menjual David Beckham ke Real Madrid, MU mendatangkan penjaga gawang Tim Howard, juara Piala Dunia 2002 Kleberson, Eric Djemba-Djemba, dan David Bellion sebagai gantinya.
Gebrakan cukup besar juga dilakukan klub Chelsea yang diakuisisi oleh konglomerat Rusia Roman Abramovich. Nama-nama besar langsung mengisi skuad di Chelsea, di antaranya Juan Veron, Hernan Crespo, Adrian Mutu, Joe Cole, Glen Johnson, hingga Claude Makélélé.
Persaingan merebut gelar juara Liga Premier tentu sulit, tapi Wenger benar-benar menunjukkan kualitasnya sebagai manajer kawakan. Selain menemukan setelan yang pas dengan para pemain Perancis, dia mampu memadukan penyerang muda seperti José Reyes dan Nwankwo Kanu untuk disandingkan dengan Henry yang berada di puncak performanya.
Battle of Old Trafford
Pada 21 September, bentrok Arsenal kontra Manchester United tercatat dalam sejarah sepak bola Inggris sebagai Battle of Old Trafford.
Sore itu di Stadion Old Trafford, aksi saling jegal dan perebutan bola yang mengarah pada adu otot terjadi sejak menit-menit awal. Di level individu, pertandingan ini juga melibatkan “perang” antara dua kapten tim, Roy Keane dan Patrick Vieira. Terlebih, keduanya dikenal sama-sama punya karakter keras di lapangan.
Hal mengejutkan terjadi di menit ke-80. Setelah bermain imbang tanpa gol, Vieira dan Nistelrooy beradu fisik memperebutkan bola liar. Ketika jatuh tersungkur akibat adu fisik itu, Vieira bereaksi seakan hendak menendang Nistelrooy yang berdiri sangat dekat di belakangnya. Penyerang asal Belanda itu lantas menuntut wasit agar mengganjar Vieira dengan hukuman kartu.
Wasit rupanya sependapat dengan Nistelrooy. Vieira diganjar kartu merah dan seketika itu juga para pemain Arsenal mengerumuni wasit sambil protes. Nistelrooy sendiri harus menjaga jarak dari para pemain Arsenal yang terbakar emosi.
Menjelang detik-detik akhir pertandingan, Manchester United dapat kesempatan emas penalti usai pemain Arsenal melanggar Diego Forlan. Sayangnya, Nistelrooy yang mengambil tendangan penalti itu gagal.
Skor kacamata itu menyelamatkan rekor tak terkalahkan Arsenal. Tim berjuluk The Gunners itu pun berhasil mengakhiri musim 2003-2004 tanpa sekali pun kalah dan otomatis jadi juara Liga Premier.
Wenger dipuji karena racikan strateginya yang ciamik, sementara Thierry Henry mengukuhkan dirinya sebagai pencetak gol terbanyak dengan total 30 gol.
Rekor Patah karena Setan Merah
Arsenal tentu saja punya motivasi besar mempertahankan dan melanjutkan catatan rekornya di musim 2004-2005. Arsenal pun terbilang trengginas di sembilan laga awal musim itu. Di laga awal musim di kandang Everton, Arsenal berhasil menggilas tuan rumah dengan skor 4-1. Hingga 16 Oktober 2004, Arsenal tak terkalahkan dan hanya sekali bermain imbang kala menjamu Bolton Wanderers.
Malapetaka baru terjadi kala Arsenal harus berkunjung lagi ke Old Trafford. Pada 24 Oktober 2004—tepat hari ini 17 tahun lalu, MU sukses mengandaskan Arsenal dan mematahkan rekornya yang telah diukir sejak 7 Mei 2003.
Laga malam itu benar-benar menjadi momen spesial bagi Nistelrooy. Gol pembukanya di menit ke-73 dari titik penalti seakan mencabut ganjalan besar dalam karirnya. Setelah berhasil mengeksekusi penalti itu, dia bahkan meluapkan kegembiraan dengan berteriak penuh kebebasan sambil berlutut dan memejamkan mata. Pertandingan itu akhirnya ditutup oleh gol Wayne Rooney di menit ke-93. Arsenal takluk 2-0 dari Setan Merah.
Media-media Inggris menjuluki laga itu sebagai Battle of Buffet. Penamaan itu merujuk pada insiden lemparan sepotong pizza ke arah manajer legendaris Manchester United Sir Alex Ferguson. The Guardian bahkan menulis Ferguson bukan hanya dilempar pizza, tapi juga semangkuk sup.
Di tengah berbagai kisruh di dalam maupun luar lapangan, data statistik mencatat pertandingan itu sebagai tanda berakhirnya kegemilangan Arsenal. Secara total, Arsenal telah mengemas 49 kemenangan beruntun di Liga Inggris.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi