Menuju konten utama

Kala CEO India Menguasai Ekonomi Dunia

Dunia bisnis global saat ini dipenuhi oleh para Chief Executive Officer (CEO) berdarah India. Mereka mengontrol perusahaan-perusahaan raksasa global seperti Google, Microsoft, Pepsi, dan Nokia. Kemunculan figur-figur ini bersamaan dengan naiknya posisi India sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru di dunia internasional.

Kala CEO India Menguasai Ekonomi Dunia
Sundar Pichai, keturunan India yang kini menjabat ceo google.com Robert Galbraith /reuters

tirto.id - Apa yang terlintas di benak kita saat berpikir tentang “orang India”? Apakah bayangan tentang tampannya Shahrukh Khan atau cantiknya Kajol?

Atau inspektur Vijay yang dengan gagahnya merangsek sendirian untuk membasmi penjahat, meninggalkan anak buahnya yang baru datang ke TKP 5 menit sebelum film usai?

Mungkin saat ini kita harus mengubah pandangan tersebut. Kita harus mulai mengisi ulang kepala kita dengan nama-nama seperti Sundar Pichai (CEO Google), Satya Nadella (CEO Microsoft), Indra Nooyi (CEO Pepsi), dan Ajay Banga (CEO MasterCard). Mereka adalah para pemimpin perusahaan raksasa dunia. Dan, ya, merekalah sebagian orang yang secara de facto menggerakkan perekonomian dunia saat ini.

Kemunculan figur-figur ini tidak hadir begitu saja bagai sulap. Mereka merupakan orang-orang yang telah lama bergelut di bidangnya masing-masing. Orang-orang ini juga dikenal meniti kariernya dari bawah.

Ajay Banga misalnya. CEO bergaji 15,5 juta dolar AS (pada 2015) ini mulai berkarir di Nestle pada 1981 di bagian marketing. Indra Nooyi – CEO Pepsi yang digelari Majalah Fortune edisi 2014 sebagai wanita terkuat ketiga dalam jagat bisnis global-- masuk ke perusahaan minuman tersebut pada 1994 setelah malang-melintang di Motorola dan Asea Brown Boveri.

CEO berdarah India yang namanya paling mencorong belakangan ini adalah Sundar Pichai (Google). Penyuka olahraga kriket berusia 44 tahun ini diangkat menjadi CEO Google pada 2015 lalu, setelah berkarir di raksasa teknologi itu sejak 2004. Pichai—orang di balik penciptaan Google Chrome dan pengembangan sistem operasi Android—sebelumnya bekerja di perusahaan produsen semikonduktor, Applied Materials.

Apa yang menyebabkan figur-figur berdarah India sukses menempati posisi-posisi prestisius ini?

Etos Kerja Keras nan Manusiawi

Orang-orang berdarah India, baik imigran maupun blasteran India-Amerika, memiliki karakteristik positif yang diakui di negara-negara yang menjadi basis dari perusahaan-perusahaan global. Mereka dianggap ulet, optimistis di saat-saat kritis, adaptif, kreatif, dan yang terpenting, memiliki pendekatan yang humanis dalam menjalankan perusahaan.

Optimisme orang India dalam menghadapi buruknya kondisi perekonomian dunia terangkum dalam survei yang dilakukan perusahaan akuntan publik PricewaterhouseCooper (PwC). Berdasarkan data 19th Annual Global CEO Survey (India report) yang dirilis 6 Maret 2016, terungkap bahwa 64 persen responden masih merasa optimistis terhadap kemampuan perusahaannya melalui masa-masa sulit. Sebagai perbandingan, masih dari survei yang sama, tingkat optimisme CEO global hanya menyentuh 35 persen.

Optimisme bukanlah satu-satunya senjata CEO India untuk berjaya. Mereka juga dikenal sebagai pribadi-pribadi yang jeli memanfaatkan sumber daya manusia, khususnya membangun suasana kerja yang kondusif. CEO asal India biasanya disukai oleh para bawahan sekaligus disegani para rival.

Berdasarkan riset oleh University of New Hampshire yang dikutip oleh Times edisi Agustus 2015, keberhasilan manajerial para CEO India disebut-sebut bersumber dari “perpaduan paradoks antara kerendahan hati yang tidak dibuat-buat serta komitmen profesional yang tinggi.”

“Anda harus berani memandang bawahan Anda dan bilang: 'Saya menghargaimu sebagai seorang pribadi. Saya tahu kamu punya kehidupan lain di luar perusahaan ini, dan saya akan menghargaimu sepanjang hidupmu, tidak hanya sebatas sebagai karyawan nomor 4.567,” tegas Indra Nooyi seperti dikutip dari Bloomberg edisi Februari 2014.

Komitmen akan profesionalisme ini muncul karena sebagian besar CEO ini benar-benar meniti kariernya dari bawah. Mereka juga aktif menumpuk pengalaman kerja dengan menempati beragam posisi. Kondisi-kondisi tersebut berhasil menempa mereka untuk memahami dinamika internal perusahaan sekaligus memetakan situasi eksternal dalam hubungannya dengan berbagai pemangku kepentingan.

CEO India dibesarkan dalam iklim ketimuran yang mementingkan harmoni, hubungan emosional yang kuat antar-pegawai dan model kepemimpinan partisipatif. Faktor ini merupakan salah satu kunci sukses mereka.

“Kepemimpinan tradisional ala India bisa membangun ikatan emosional antara atasan dan bawahan […] Keyakinan bahwa perusahaan benar-benar peduli kepada pekerjanya menumbuhkan kesetiaan kepada perusahaan yang lebih penting dari sekadar keuntungan finansial,” ungkap sebuah riset tentang kepemimpinan CEO India oleh St Gallen University Swiss yang dikutip dari Bloomberg.

Darah India tampaknya dianggap sebagai salah satu “tiket” untuk diterima dalam dunia bisnis internasional. Seorang pebisnis asal Pakistan, Fahad Khan, bahkan rela dianggap sebagai orang India. Padahal kedua negara ini memiliki latar belakang permusuhan yang sangat kental.

“Saya bangga dengan latar belakang Pakistan-Amerika saya. Saat saya pindah ke AS beberapa tahun lalu, saya sangat takut menerima perlakuan diskriminatif akibat agama, nama, dan asal saya. Saat ditanya tentang asal, saya selalu mengaku datang dari Lahore, tempat di mana saya lahir. Banyak orang mengira Lahore berada di India. Saya tidak pernah mengoreksi anggapan itu, karena label 'India' justru baik bagi bisnis saya,” ujar CEO One Public dan Tube Centrex itu kepada Business Insider edisi Januari 2015.

Pendidikan Adalah Kunci

Para CEO asal India juga memiliki modal lain untuk sukses di luar negerinya : kemampuan bahasa Inggris yang baik serta tingkat pendidikan yang tinggi. Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa sehari-hari di India, mengingat sejarah negara ini sebagai jajahan dari Inggris. Di sisi lain, India memiliki banyak institusi pendidikan tinggi yang relatif maju untuk ukuran Asia.

Ishan Tahoor dari Times berpendapat, kunci kesuksesan karier para pekerja asal India bersumber dari “pendidikan tinggi yang hyper-competitive (meskipun universitasnya terhitung peringkat menengah di dunia), yang diikuti oleh pendidikan tingkat master/doktor di AS, dan berlanjut dengan karir di Silicon Valley,”.

Ketersediaan institusi pendidikan yang berkualitas memang menjadi salah satu kunci keberhasilan utama para CEO ini. Sundar Pichai dari Google dan Arun Sarin (mantan CEO Vodafone) sama-sama menempuh bangku perkuliahan di Indian Institute of Technology (IITKGP) di Kharagpur. Selain mereka berdua, institut teknik yang diinisiasi oleh Jawaharlal Nehru ini juga melahirkan tokoh-tokoh seperti Rana Dutta (mantan CEO United Airlines) dan Arunabh Kumar (CEO The Viral Fever).

Institusi pendidikan lain yang juga cukup dominan peranannya adalah Indian Institute of Management (IIMA) di Ahmedabad. Kampus ini dirintis khusus oleh pemerintah India pada dekade '60an sebagai kawah candradimuka untuk menciptakan tenaga manajemen elit. Beberapa alumni terdepan dari IIMA antara lain Ajay Banga (CEO MasterCard) dan Ivan Menezes (CEO Diageo).

Satu fakta menarik yang patut dicatat adalah, kedua universitas di atas bahkan tidak termasuk ke dalam 100 besar universitas terbaik dunia. Dalam peringkat universitas versi Times Higher Education 2016, IITKGP Kharagpur hanya menempati peringkat di kisaran 401-500 secara global dan 51 di Asia. Sementara itu, di peringkat versi QS World University 2015, IITKGP Kharagpur menempati peringkat 286 dunia dan 51 di Asia. IIMA bahkan tidak tercantum dalam penilaian QS World University dan Times Higher Education.

Sebagai perbandingan, Universitas Indonesia menempati peringkat 601-800 dunia dan 181-190 Asia versi Times Higher Education. Dalam penilaian QS World University, Universitas Indonesia menempati posisi 358 dunia dan 67 di Asia.

Meskipun “hanya” menempuh pendidikan strata 1 di India, sebagian besar CEO asal India menempuh pendidikan tingkat master dan doktoral di universitas-universitas terkemuka di Amerika Serikat. Sundar Pichai merupakan pemegang gelar Master of Science dari Stanford University dan Master of Business Arts dari Universitas Pennsylvania. Indra Nooyi dari PepsiCo pun menuntaskan studi masternya di Yale School of Management. Keberhasilan para CEO ini dalam menembus standar tinggi dalam sistem pendidikan Amerika Serikat sangat berpengaruh terhadap jalur karir cemerlang dalam karir mereka selanjutnya.

Para warga India, khususnya yang tinggal di Amerika Serikat, terbukti memiliki kepedulian yang sangat tinggi atas pendidikan anak-anaknya. Mereka rela mengalokasikan dana yang sangat besar untuk menjamin putra-putri mereka mendapatkan pendidikan terbaik.

Penelitian oleh Massachusetts Mutual Life Insurance Company (MassMutual) pada 2014 menunjukkan, 25 persen dari keluarga India-Amerika mengalami kesulitan dalam menyisihkan pendapatan mereka untuk dua pos prioritas: membayar biaya pendidikan tinggi anaknya dan mempersiapkan dana pensiun untuk hari tua.

Sementara itu, Pew Research pada 19 Juni 2012 melansir laporan berjudul “The Rise of Asian American” tentang tingkat pendidikan para warga keturunan di AS. Hasilnya, warga India-Amerika tercatat sebagai masyarakat paling terdidik di AS dengan 80 persen di antara populasinya telah mengantongi ijazah perkuliahan baik di tingkat S1, S2, maupun S3. Hal ini sangat berkaitan dengan tingkat kemakmuran mereka, yang rata-rata berpenghasilan 65.000 dolar AS per tahun, jauh lebih besar dari penghasilan rata-rata rumah tangga AS yang sebesar 49.000 dolar.

Jadi, kapan kita bisa menemukan seorang Indonesia yang menjadi CEO Google atau Microsoft?

Baca juga artikel terkait HUMANIORA atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Humaniora
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti