tirto.id - Olimpiade selalu jadi ladang kisah inspiratif. Selama 16 hari, kita tidak hanya dibuat terpukau, tapi juga terkesima oleh kisah-kisah kemenangan dan latar belakang para atlet. Dari yang dulu miskin dan tidak mampu membeli peralatan olahraga atau membayar biaya pendaftaran kompetisi, kebangkitan usai cedera berat, hingga tidak diunggulkan tapi ternyata melaju jauh di cabang masing-masing.
Kita suka kisah para underdog. Ia membuat kita meyakini bahwa hari ini dan hari-hari berikutnya masih pantas dijalani sekuat hati. Dalam konteks Winter Olympics 'Olimpiade Musim Dingin', kisah para underdog ini hadir dalam diri atlet-atlet yang datang dari tanah di mana matahari bersinar sepanjang tahun; di mana salju kadang hanya bisa ditemukan di puncak-puncak tertinggi—para olympian dari negara tropis.
Salju dan es barangkali jadi hal pertama yang terlintas di kepala kita, orang-orang tropis, saat mendengar Olimpiade Musim Dingin. Lebih jauh lagi, cabang olahraga (cabor) seperti snowboarding, ski, dan mungkin yang paling 'akrab' karena sarananya tersedia, figure skating atau juga disebut ice skating.
Pada gelaran terakhir, Olimpiade Pyeongchang 2018, sebanyak 15 cabor dipertandingkan dan melibatkan 2.922 atlet dari 92 negara. Sebagian di antaranya sampai ke mata kita, orang-orang tropis, berkat klip-klip yang tersebar di internet. Dari sana kita melihat betapa anehnya curling atau betapa mengerikannya berseluncur tanpa kendali penuh di atas es melalui cabor seperti luge dan bobsleigh (bobsled).
Olimpiade Musim Dingin telah digelar sejak nyaris seabad silam, tepatnya pada musim dingin 1924 di Chamonix, Prancis. Ia dimainkan empat tahun sekali, berjarak dua tahun dengan Olimpiade Musim Panas, yang saat naskah ini ditulis tengah berlangsung di Tokyo.
Pentas olahraga ini salah satunya terinspirasi dari Nordic Games. Norwegia, salah satu negara Nordik, mencatatkan prestasi terbaik pada Olimpiade Musim Dingin. Orang-orang dari utara Eropa itu delapan kali menjadi juara umum sekaligus memuncaki klasemen total medali, mengungguli negara-negara besar dengan tradisi olahraga musim dingin yang kuat seperti AS, Jerman, dan Kanada.
Kendati demikian, Olimpiade Musim Dingin tidaklah eksklusif untuk negara-negara dengan empat musim. Situs Olimpiade mencatat, hingga Olimpiade Pyeongchang 2018, terdapat 37 negara tropis yang telah berpartisipasi, tersebar dari Amerika, Afrika, hingga Asia-Pasifik.
Cukup mudah membayangkan orang-orang Bolivia atau Peru menemukan satu-dua cabor di mana mereka bisa bersaing karena negara mereka dilalui Pegunungan Andes. Lantas bagaimana dengan negara tropis yang termasuk beriklim semi-gurun seperti Eritrea dan Nigeria, atau negara macam Fiji dan Tonga di tengah Samudra Pasifik sana? Bagaimana mungkin mereka bisa mengirimkan atlet untuk berlaga?
Bukan Soal Geografi, tapi Attitude
"Es? Es!" tanya Sanka Coffie, penuh kesangsian.
Dia mungkin menganggap teriknya matahari Jamaika sudah bikin Derice Bannock gila karena kawan baiknya itu melontarkan ide untuk membentuk tim nasional bobsled Jamaika. Mana ada salju dan es alami di Tanah Rastafari?
Tanpa trek es, Sanka, Derice, dan dua rekan lain kemudian berlatih dengan gerobak yang diluncurkan di atas tebing pasir dan rumput, dengan latar pohon kelapa dan pantai yang hangat.
Bobsled, dalam satu tarikan napas, adalah cabang olahraga di mana tiga driver dan satu brakeman berlari secepat tenaga mendorong kereta luncur bak kepunyaan Sinterklas untuk lantas menaikinya bersama dan meluncur dengan kecepatan tinggi di trek es yang meliuk laiknya roller coaster, kadang menuju garis finis, kadang menuju cedera parah atau bahkan kematian.
Kisah para underdog di tim bobsled Jamaika itu didramatisasi ke dalam film produksi Walt Disney, Cool Runnings (1993). Timnas Jamaika tiba dengan mengenakan pakaian warna-warni di Calgary, Kanada, yang kelabu dan membeku. Pada film itu, orang-orang tropis digambarkan sebagai pembawa warna-warna cerah; agen kehangatan. Penggambaran lainnya lebih komikal. Rambut gimbal Sanka Coffie patah saat ia dikurung dalam peti es dalam rangka membiasakan diri dengan musim dingin.
Film itu menjadi simbol kehadiran orang-orang tropis di Olimpiade Musim Dingin. Ia menginspirasi orang-orang dari daerah panas.
Ato Boldon, pemenang empat medali Olimpiade asal Trinidad dan Tobago, mengamini pengaruh Cool Runnings. Ia menyatakan, "Saya pikir semakin banyak orang-orang melihat atlet yang mirip dengan mereka atau datang dari negara yang mereka kenal, bersaing, dan tampil bagus di pertandingan Olimpiade Musim Dingin. Itu menjadi semacam membuka pintu."
Itu baru soal membuka pintu. Di balik pintu itu, ada jalan yang teramat terjal bagi orang-orang tropis. Katakanlah kau bisa rutin berlatih figure skating di rink yang bisa ditemukan di Taman Anggrek atau Bintaro. Tapi demi berlaga pada ajang kualifikasi, kau masih harus menanggung biaya tinggi serta perjalanan panjang demi mencapai lokasi pertandingan—yang hampir pasti dilaksanakan di negeri-negeri belahan utara. Tambahkan dengan faktor pemberat lain seperti iklim yang kontras dan kompetitor yang sudah terbiasa dengan itu.
Dalam kasus timas bobsled Jamaika, mereka harus merekam dan menjual lagu reggae mereka sendiri serta menjajakan merchandise demi biaya latihan dan ongkos perjalanan. Ketika jumlah uang sudah terpenuhi dan berhasil lolos kualifikasi, mereka masih dihadapkan pada drama lain tatkala Komite Olimpiade alias IOC tidak mengizinkan mereka tampil.
Sebenarnya ada cara lain. Misalnya tinggal di negeri utara seperti Arturo Kinch. Pria asal Kosta Rika ini tadinya bercita-cita menjadi pesepak bola dan bahkan sempat mendapatkan beasiswa sepak bola di Colorado, AS. Di sana untuk pertama kalinya ia menjajal ski, olahraga yang kelak justru mengantarnya menuju Olimpiade Musim Dingin 1980 di Lake Placid, New York.
Kisah Jazmine Fenlator lain lagi. Awalnya ia adalah driver tim bobsled AS pada Olimpiade Musim Dingin 2014, tapi dua tahun kemudian membela Jamaika, negara asal ayahnya. Dalam siniar The Podium, ia menyebutkan kendala lain yang dihadapi negara-negara tropis (yang umumnya tak begitu makmur) dalam persiapan menuju Olimpiade Musim Dingin. Di negara besar seperti AS, katanya, tim bobsled butuh uang untuk membayar sesi-sesi fisioterapi dan memperbarui perlengkapan teknologi yang canggih. Sementara di Jamaika, tim bobsled butuh uang untuk makan.
Menanti Medali Pertama
Pada debut di Olimpiade Musim Dingin 1988, kereta tim bobsled Jamaika terbalik di trek. Meski tidak berhasil finis, kehadiran mereka sudah diapresiasi tinggi dan menjadi favorit para fan. Kita memang suka kisah underdog.
Selain tim seperti Jamaika yang telah menjadi partisipan langganan, kehadiran negara tropis terus bertambah. Pada Olimpiade PyeongChang 2018, negara tropis debutan tak hanya diwakili Ekuador, Eritrea, dan Nigeria, tapi juga dua tetangga Indonesia yakni Malaysia dan Singapura.
Indonesia sendiri belum pernah tampil di Olimpiade Musim Dingin. Kiprah salah satu negeri tropis dengan populasi terbanyak ini, pada pentas olahraga musim dingin, baru sampai Asian Winter Games 2017 di Sapporo, Jepang. Ketika itu Indonesia mengirimkan atlet untuk figure skating, speed skating, dan hoki es.
Mungkin kelewat muluk jika berharap para atlet di Indonesia di Olimpiade Musim Dingin bakal mampu menyamai pencapaian Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang meraih emas pada Olimpiade Musim Panas terkini. Lolos aja dulu... Toh, dengan segala aral dan situasi yang tak berpihak, mampu tampil saja sebetulnya sudah merupakan pencapaian luar biasa.
Ketimbang bermimpi terlalu tinggi meraih medali, "Saya lebih ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa Anda dapat melakukan sesuatu ketika Anda mulai dari nol hingga lolos ke Olimpiade dalam enam tahun," kata Kwame Nkrumah-Acheampong. Atlet asal Ghana ini baru pindah ke Britania Raya pada 2000, belajar ski, dan sudah berani mengincar tempat di Olimpiade Turin 2006 kendati baru berhasil lolos empat tahun berselang ke Olimpiade Vancouver.
Olimpiade Musim Dingin berikutnya bakal digelar di Beijing, Cina, pada Februari 2022. Itu berarti tepat setengah abad sejak kehadiran pertama atlet dari negeri tropis pada kompetisi ini, yakni ketika Filipina mengirimkan dua atlet pada nomor alpine skiing. Sepanjang itu, belum ada medali yang didapat atlet negara tropis.
Ada perjuangan amat berat bahkan hanya untuk mencapai lokasi kualifikasi dan bersaing. Ada latihan berat olahraga musim dingin di bawah teriknya matahari; di atas tanah yang tak bersalju. Ada rambut gimbal yang patah karena membeku. Maka satu saja medali di Beijing kelak, atau Olimpiade Musim Dingin berikutnya, sudah berarti kemenangan untuk negara-negara tropis.
Editor: Rio Apinino