tirto.id - Media sosial TikTok belum lama ini dibanjiri video seputar isu kesehatan saluran cerna. Dengan tagar #guttok, #guthealth dan #guthealing, para influencer dan pengguna TikTok lainnya mengunggah ribuan video berisi curhat seputar kesehatan saluran cerna dan aneka tips untuk memelihara kesehatan pencernaan.
Beberapa yang populer antara lain video tentang tips mengonsumsi jus lidah buaya (aloe vera), jus mentimun campur jahe, buah apel rebus, dan minyak kelapa. Video unggahan akun @oliveoilqueen yang membagikan kebiasaannya minum extra virgin olive oil setiap hari untuk memelihara pencernaan dan kesehatan kulit bahkan sudah ditonton lebih dari 3,5 juta kali dalam sebulan.
Di Amerika, meningkatnya animo masyarakat terhadap kesehatan saluran cerna disambut oleh Thorne, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang wellness berbasis sains. Perusahaan ini bahkan memberikan kesempatan kepada siapa saja yang berminat untuk melakukan tes kesehatan saluran cerna dengan cara mengirimkan sampel feses untuk diperiksa di laboratorium khusus.
Sebelum #guttok mencuat ke permukaan, kampanye tentang kepedulian pada kesehatan saluran cerna sebenarnya sudah sejak lama digaungkan oleh World Gastroenterology Organisation (WGO). Salah satunya dengan menetapkan tanggal 29 Mei sebagai Hari Kesehatan Pencernaan Sedunia (World Digestive Health Day), sejak tahun 2004. Upaya ini dilakukan untuk menyadarkan masyarakat mengenai betapa pentingnya peran saluran cerna yang sehat dalam kehidupan kita.
Sebabnya, bukan semata-mata memengaruhi proses penyerapan zat-zat nutrisi di dalam tubuh, para pakar yang tergabung dalam WGO menyatakan bahwa saluran cerna yang sehat juga punya andil penting dalam kelangsungan proses tubuh lainnya, mulai dari melancarkan rutinitas tidur dan bangun setiap hari, menguatkan sistem kekebalan tubuh, memelihara kesehatan mental, sampai meningkatkan kemampuan berpikir.
Tampaknya, ungkapan “you are what you eat” memang memiliki penjelasan yang lebih bermakna alih-alih sekadar slogan belaka.
‘Dunia Kecil’ di dalam Saluran Cerna
Mari berkenalan dengan ‘dunia kecil’ yang bisa ditemukan di dalam tubuh setiap orang. Tubuh manusia pada dasarnya merupakan ‘rumah’ bagi triliunan mikrobiota—terdiri atas bakteri, virus, dan jamur, yang letaknya tersebar mulai dari kulit, mulut, hidung, sampai usus. Sebagian besar atau sebanyak 80% dari populasi mikrobiota ini hidup di dalam usus dan saluran cerna.
Menurut dr. Saskia Aziza Nursyirwan, SpPD dari Divisi Gastroenterologi, Pankreatobilier dan Endoskopi Saluran Cerna, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, seperti dilansir situs Yayasan Gastroenterologi Indonesia (YGI), mikrobiota di dalam usus memiliki ‘tugas’ penting, yaitu mendukung proses penyerapan zat nutrisi di dalam tubuh, melindungi tubuh dari mikroorganisme penyebab penyakit, dan banyak fungsi lain yang menguntungkan bagi tubuh manusia.
Sama seperti tidak ada dua orang yang sama persis di dunia ini, komposisi dan jenis mikrobiota yang hidup di dalam tubuh setiap individu juga unik dan bisa berbeda-beda karena adanya perbedaan faktor lingkungan tempat tinggal, gaya hidup, dan asupan nutrisi. Bahkan komposisi mikrobiota usus juga berbeda pada bayi yang dilahirkan secara normal dengan bayi yang lahir melalui operasi sesar.
Agar bisa menjalankan fungsinya dengan baik dan mendatangkan keuntungan bagi tubuh manusia, komposisi mikrobiota usus perlu selalu dijaga keseimbangannya. Pasalnya, di dalam koloni mikrobiota tersebut ada jenis bakteri ‘baik’ yang menguntungkan bagi manusia, namun ada juga jenis bakteri ‘jahat’ yang bisa menyebabkan penyakit. Sudah tentu, tubuh dikatakan sehat apabila jumlah bakteri ‘baik’ di dalam tubuh lebih besar daripada bakteri ‘jahat’.
Keseimbangan komposisi koloni mikrobiota di dalam usus ini bisa terganggu akibat pola makan tidak seimbang, gaya hidup tidak sehat, dan stress berlebihan. Konsumsi antibiotika yang mengakibatkan terbunuhnya bakteri ‘baik’ bersama dengan bakteri ‘jahat’ juga bisa merusak keseimbangan mikrobiota usus. Gangguan pada keseimbangan komposisi mikrobiota usus inilah yang kemudian memicu munculnya berbagai masalah kesehatan pada tubuh manusia.
Komunikasi Dua Arah antara Otak dan Mikrobiota Saluran Cerna
Bukan hanya hidup di dunianya sendiri, mikrobiota di dalam saluran cerna bisa melakukan komunikasi dua arah dengan otak. Bentuk komunikasi ini terjadi melalui hubungan sistem saraf, endokrin, imun, dan humoral, yang dikenal dengan istilah gut-brain axis/sumbu otak-usus, seperti disebut dalam sebuah penelitian yang terbit di jurnal Developmental Psychobiology tahun 2019.
Dalam kondisi normal, mikrobiota usus akan menstimulasi saraf di saluran cerna (disebut saraf enterik) untuk kemudian mengirimkan sinyal pada saraf di otak guna mengatur produksi beberapa jenis hormon, enzim, dan neurotransmiter. Sebaliknya, saraf di otak juga bisa mengirimkan sinyal ke saraf enterik yang kemudian memengaruhi kondisi mikrobiota usus.
Dikutip dari situs YGI, komunikasi dua arah ini bisa terlihat pada proses produksi hormon serotonin dan dopamin—yang merupakan hormon pemicu munculnya perasaan senang. Kedua jenis hormon ini akan optimal produksinya apabila keseimbangan mikrobiota usus terpelihara. Karenanya, ketidakseimbangan komposisi mikrobiota usus bisa mengganggu produksi serotonin dan dopamin yang bisa berakibat negatif pada kondisi mood seseorang.
Contoh lainnya adalah pada proses produksi asetilkolin yang merupakan salah satu jenis neurotransmiter alias pembawa sinyal antar sel saraf. Bila keseimbangan mikrobiota usus terganggu, produksi asetilkolin juga akan terhambat. Hal ini bisa menjadi masalah besar karena di dalam tubuh kita asetilkolin berfungsi mengatur fungsi memori, atensi, dan koordinasi pada otak.
Alhasil, gangguan keseimbangan mikrobiota usus yang kemudian memunculkan hambatan pada proses produksi asetilkolin bisa mendatangkan konsekuensi lebih lanjut berupa gangguan pada kemampuan berpikir seseorang.
Sebaliknya, stimulasi yang terjadi di otak—misalnya perasaan gugup yang muncul setiap kali mendekati waktu deadline, juga bisa memicu rangsangan pada saraf enterik, yang selanjutnya mempengaruhi kerja mikrobiota usus dalam memproses makanan. Makanya, jangan heran bila perut sering terasa tidak nyaman ketika kita sedang menghadapi situasi yang menimbulkan tekanan/stres.
Makanan Tepat untuk Kesehatan Otak dan Mental
Kabar baiknya, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk memelihara keseimbangan mikrobiota usus dan kesehatan saluran cerna pada umumnya. Salah satunya, seperti yang disarankan oleh hasil penelitian yang dilakukan di Australia dan terbit di jurnal Nutrition tahun 2020 adalah dengan cara melakukan intervensi nutrisi pada konsumsi makanan sehari-hari.
Menurut hasil studi tersebut, keseimbangan komposisi dan keragaman jenis mikrobiota usus yang ditemukan dalam tubuh seseorang terkait dengan peningkatan kemampuan kognitif seseorang. Kemampuan kognitif yang dimaksud antara lain mencakup kekuatan memori visual dan spasial, pembelajaran verbal dan memori, reaksi emosi, serta aspek kewaspadaan dan perhatian.
Intervensi nutrisi yang dilakukan peneliti berupa pemberian makanan yang mengandung probiotik, prebiotik, dan sinbiotik terbukti memberikan hasil positif pada kemampuan kognitif. Yang disebut probiotik adalah bakteri hidup yang bisa mendatangkan manfaat bagi kesehatan. Prebiotik adalah jenis serat/karbohidrat yang tidak dapat dicerna tubuh tetapi mampu memberikan manfaat pada pertumbuhan mikrobiota usus. Sedangkan sinbiotik adalah kombinasi antara probiotik dan prebiotik.
Berdasarkan penelitian lain yang dilakukan di Polandia pada tahun 2017, asupan probiotik, prebiotik, maupun sinbiotik bisa diperoleh dari konsumsi makanan sehari-hari. Sebagai contoh, asupan probiotik bisa didapatkan dengan mengonsumsi yogurt, kefir, kombucha, kimchi, acar, dan aneka produk makanan lain yang mengalami proses fermentasi.
Sedangkan asupan prebiotik bisa didapat dengan mengonsumsi aneka jenis sayur dan buah-buahan. Bumbu dapur—seperti bawang putih, bawang merah, dan bawang Bombay, kacang-kacangan, serta biji-bijian seperti biji rami juga merupakan sumber prebiotik yang baik.
Sebuah hasil studi yang terbit di journal Cell tahun 2021 menyatakan bahwa konsumsi makanan hasil fermentasi yang dilakukan setiap hari selama kurun waktu 10 minggu terbukti mampu meningkatkan keragaman mikrobiota usus sekaligus menurunkan risiko inflamasi/peradangan di dalam saluran cerna. Sebagaimana diketahui, peradangan di dalam saluran cerna merupakan salah satu penyebab utama dari berbagai masalah kesehatan.
Selain intervensi nutrisi, perbaikan gaya hidup berupa olahraga rutin, cukup tidur dan istirahat, meninggalkan kebiasaan merokok, serta meningkatkan kemampuan mengelola stres dengan baik juga merupakan langkah penting yang perlu dilakukan untuk memelihara kesehatan saluran cerna. Yuk, mulai lakukan dari sekarang!
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi